Fikih Anti Terorisme
Fajar Riza Ul Haq ;
Direktur Eksekutif Maarif
Institute;
Sekretaris Majelis Hukum dan HAM
PP Muhammadiyah
|
KOMPAS, 07 Mei 2016
Tiga hari sebelum
otopsi jenazah Siyono dilakukan PP Muhammadiyah bersama Komnas HAM, penulis
bertemu dan mendapat konfirmasi dari Ketua PW Muhammadiyah Jawa Tengah bahwa
warga asal Klaten itu tidak dikenal di Muhammadiyah.
Lalu, kenapa
Muhammadiyah membela seseorang yang diduga bagian dari jaringan terorisme?
Langkah pembelaan yang sangat tak populis mengingat pemerintah sedang gencar
memaksimalkan agenda pemberantasan terorisme setelah serangan teror di Jalan
MH Thamrin, Jakarta Pusat, Januari lalu. Risikonya, tak sedikit kalangan
salah memahami posisi dan kepentingan Muhammadiyah. Tidak terkecuali
kepolisian. Nada sumbang pun tak terhindari.
”Selain untuk merawat nilai-nilai kemanusiaan, kami
berkepentingan agar hukum ditegakkan. Muhammadiyah memandang kasus ini harus
diungkap. Hukum harus ditegakkan. Muhammadiyah (sendiri) sudah lama memandang
terorisme dan kekerasan atas nama agama merupakan sesuatu yang merusak
kehidupan,” begitu jawab Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir dalam
satu wawancara dengan wartawan.
Tampaknya,
perkembangan advokasi Muhammadiyah terhadap kasus ini mendorong Panitia
Khusus (Pansus) RUU Anti Terorisme melakukan perubahan fokus pada rancangan
yang diajukan pemerintah tersebut. Kini, Pansus RUU Anti Terorisme lebih
memandang urgen untuk memperkuat aspek perlindungan dan penegakan hak asasi
manusia terduga teroris dan korban. Penekanan aspek ini akan disertai
pembatasan kewenangan aparat penegak hukum dalam menindak terorisme (Kompas,
21/4).
Pada sisi lain,
peristiwa teror Thamrin dan kasus kematian Siyono semakin memperkuat
relevansi proposal penyusunan Fikih Anti Terorisme yang digagas Maarif
Institute sejak Desember silam. Rangkaian diskusi kelompok terfokus pun sudah
dilakukan pada akhir Februari dan Maret lalu dengan melibatkan ulama dan para
pakar lintas disiplin yang menekuni kajian terorisme. Puncaknya adalah
perhelatan ”Halaqoh Penyusunan Buku
Fikih Antiterorisme” pada 3-5 Mei 2016 di Semarang, hasil kolaborasi
Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah dan Maarif Institute. Haedar Nashir
dan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan
hadir dalam pembukaan pertemuan selama tiga hari tersebut.
Proposal ini bertujuan merumuskan perspektif Islam
Indonesia mengenai persoalan terorisme dan pelbagai isu turunannya dalam
rangka memastikan terpenuhinya maqashid
syariat (tujuan puncak syariah) dan hak asasi manusia dengan berangkat
dari tantangan terorisme di Indonesia dan dinamika globalnya.
Arah kerjanya akan mencakup pembacaan ulang secara kritis
definisi terorisme dalam perspektif Islam, menggali pandangan Al Quran dan
hadis mengenai terorisme dengan menyegarkan kembali pandangan para ulama
serta pengkajian kembali konsep-konsep kunci keagamaan yang selama ini
disalahpahami dan disalahgunakan oleh kelompok-kelompok berideologi teror,
seperti irhab (teror), takfir (sesat), qital (perang), unuf
(kekerasan), bughat (pemberontak),
baiat, hijrah, dan khilafah. Fikih Anti Terorisme merupakan kesinambungan dan
pengembangan dari diskursus Fikih Kebinekaan yang telah digulirkan
pertengahan 2015.
Al Quran dan terorisme
Pada dasarnya, istilah
”terorisme” tidak ditemukan di dalam Al Quran, bahkan dalam kosakata bahasa
Arab sekalipun. Isu terorisme merupakan produk zaman modern karena tidak ada
sarjana Muslim klasik yang pernah mendefinisikan apa itu terorisme, ungkap
Kutb Mustafa Sano. Namun, para ahli tafsir dan hukum Islam modern berpendapat
bahwa kata ”irhab” dalam Al Quran memiliki makna yang memperlihatkan banyak
persamaan dengan konsepsi terorisme dalam kamus politik Barat. Kitab suci ini
menyebut kata irhab dalam 12 tempat, begitu menurut Abdullah bin Mahfud bin
Bayah. Mayoritas makna irhab dalam ayat-ayat itu merujuk pada pengertian yang
identik dengan rasa ketakutan dan teror/ancaman.
Definisi hukum
terorisme dalam pandangan resmi organisasi di dunia Islam baru dirumuskan
pada 1998 oleh Konvensi Arab untuk Pemberantasan Terorisme. Konvensi ini
merumuskan terorisme adalah segala bentuk
ancaman atau aksi kekerasan, apa pun motif dan tujuannya, yang muncul sebagai
upaya untuk mencapai agenda kriminal individu atau kolektif. Definisi
berikutnya dikemukakan Islamic Research
Academy pada 2001, yaitu tindakan mengancam keamanan dan menghancurkan
kepentingan publik, martabat manusia, dan esensi kehidupan sehingga memicu
tindakan agresi dan mengakibatkan kerusakan di muka bumi (Amin, 2014: 32).
El Sayid Amin percaya
bahwa proyek mengkaji terorisme dalam perspektif Islam harus berangkat dari
analisis teks-teks yang membedah konsep irhab (teror), quwwah (kekuatan),
’aduuw (musuh), khususnya dalam kandungan Surat Al Anfal: 60. Penting sekali meluruskan makna kata-kata kunci itu
sesuai konteks dan semangat awalnya guna mematikan justifikasi aksi terorisme
atas nama perintah Al Quran, seperti klaim Al Qaedah, Boko Haram, dan Negara
Islam di Irak dan Suriah (NIIS).
Berdasarkan
penelusuran Amin, pemahaman ekstrem
Sayyid Qutb terhadap sejumlah konsep kunci tersebut telah berkontribusi besar
pada disalahpahaminya ayat-ayat jihad oleh kelompok-kelompok berideologi
teror. Ada penyimpangan. Akibatnya, mereka percaya telah diberi otoritas
untuk membunuh dan melakukan kerusakan terhadap orang yang berkeyakinan
berbeda.
Para penganut ”Teologi
Maut” itu—istilah yang dipakai Buya Syafii—mengabaikan prinsip dasar Al
Quran, yaitu mengambil nyawa manusia dengan cara-cara melanggar hukum dan
tidak adil merupakan bentuk utama kerusakan seperti diingatkan firman Tuhan, Q.S.
17: 33: ”Dan, janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah, melainkan
dengan suatu yang benar”. Dalam memahami ayat ini, ahli tafsir klasik Al-Razi berpandangan,
tindakan merampas hak hidup seseorang tanpa ada sebab yang adil merupakan
dosa terbesar setelah menyekutukan Tuhan.
Konsekuensi hukum dan moral
Pendapat keras penulis
Tafsir Mafatih al-Ghaib ini mencerminkan tingginya pemuliaan Islam terhadap
keberlangsungan kehidupan dan hak hidup manusia. Dalam bahasa Al Quran, satu
nyawa manusia setara dengan alam semesta. Adanya unsur kesengajaan
menghilangkan nyawa, baik dilakukan negara maupun kelompok, dan melakukan
kerusakan (fasad) merupakan dua
ciri mendasar yang melekat pada tindakan yang disebut terorisme dalam
kacamata Al Quran.
Dalam perspektif ini,
ada beberapa konsekuensi hukum dan moral dalam proses penegakan hukum
terhadap kasus terorisme. Pertama, negara tidak mempunyai hak untuk
menghilangkan nyawa warganya karena tuduhan terorisme sampai ada proses hukum
yang adil dan transparan membuktikannya. Kedua, negara berpotensi terjerumus
menjadi pelaku teror itu sendiri jika bertindak di luar hukum dan merendahkan
nilai-nilai kemanusiaan. Ketiga, orang beriman yang nyata-nyata terlibat
terorisme, apalagi secara sengaja menghilangkan nyawa manusia, telah
melakukan kejahatan serius dan perbuatan dosa besar wajib dihukum secara
setimpal dan adil sesuai hukum negara. Lebih dari itu, dia telah menistakan
dirinya karena melakukan perbuatan terkutuk, setingkat di bawah menyekutukan
Tuhan.
Akhirnya, prakarsa
penyusunan Fikih Anti Terorisme merupakan upaya dari masyarakat sipil
mendialogkan dan memproduksi pemahaman kritis atas diskursus terorisme agar
tetap dalam koridor menjunjung tinggi hak asasi, keadilan, dan memuliakan
kemanusiaan. Pancasila telah lama memerintah kita untuk mengimami keadilan
dalam proses bernegara. Negara mesti hadir membentangkan payung kepastian dan
keadilan hukum untuk siapa pun. Merawat partisipasi masyarakat dan budaya
dialog konstruktif dengan penyelenggara negara merupakan kunci untuk
memastikan negara tetap bermakmum kepada Pancasila. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar