Transformasi Perpajakan
Irwan Wisanggeni ;
Dosen Trisakti School of
Management
|
KOMPAS, 18 April
2016
Dengan semakin
menipisnya sumber daya alam berupa minyak dan gas bumi yang dimiliki
Indonesia, penerimaan negara semakin hanya bergantung pada penerimaan pajak.
Sekitar 75 persen penerimaan negara saat ini ditunjang oleh penerimaan pajak,
di samping penerimaan lain, seperti penerimaan negara bukan pajak, termasuk
dari laba BUMN dan hibah luar negeri.
Namun, wajah
perpajakan Indonesia mengalami banyak sekali persoalan, dan kondisi ini sudah
ada selama bertahun-tahun. Semua masalahnya bermuara di seputar penerimaan
pajak saja tanpa dilihat akar penyebabnya.
Disinyalir, pada
kondisi perpajakan sekarang, ada 2.000 perusahaan berkategori penanaman modal
asing (PMA) yang sama sekali tidak membayar pajak dalam kurun waktu sepuluh
tahun terakhir. Seharusnya potensi pajak mereka Rp 25 miliar per perusahaan per tahun.
Kemudian ada modus
penggelapan pajak yang dilakukan dengan cara mendirikan suatu badan dengan
tujuan khusus special purpose vehicle
(SPV) di salah satu negara mitra atau dengan berbagai cara lain sebagai suatu aliran dana atas
penghasilan yang diperoleh dari negara mitra lain.
Biasanya, negara
bertarif pajak rendah atau negara yang membebaskan pajak menjadi tujuan
pembuangan laba perusahaan yang berdomisili di Indonesia. Seperti Kepulauan
Virgin Britania Raya, sebagai tax haven
country atau daerah pajak bertarif sangat rendah. Ada 2.000 SPV yang
terkait dengan ribuan nama orang Indonesia. Tentu uang tersebut disimpan
sebagai aset yang tidak dilaporkan dalam surat pemberitahuan pajak tahunan
(SPT) di Indonesia.
Hal ini terbukti
dengan beredarnya Dokumen Panama (Panama
Papers) milik firma hukum Mossack Fonseca yang bocor ke publik, yang di
dalamnya berisi informasi sejak 39 tahun silam hingga awal 2015 mengenai
adanya 140 nama politisi, termasuk di dalamnya 12 pemimpin negara,
selebritas, dan bintang olahraga, yang diduga terlibat praktik skandal
keuangan rahasia, termasuk di dalamnya para pengusaha dan pejabat Indonesia.
Perubahan besar
Pemerintah, khususnya
dirjen pajak, perlu menyikapi ini dengan membuat terobosan agar kondisi ini
bisa diatasi sehingga aset yang ada di luar negeri milik orang Indonesia
dapat kembali ke Tanah Air dan menjadi modal untuk menggerakkan roda
perekonomian. Caranya, termasuk dengan melakukan pengampunan pajak (tax amnesty), yang saat ini ramai di
bicarakan, atau dengan menurunkan tarif pajak.
Dengan tarif pajak
yang ideal, kita dapat memberikan dorongan kepada investor untuk tidak
melarikan laba dan hartanya ke luar negeri. Terkait tarif pajak, teori Laffer
(2004:1) menjelaskan bahwa terdapat hubungan antara tarif pajak dan
penerimaan negara dari pajak.
Laffer menyatakan
dalam teorinya bahwa pada tingkat tarif sebesar nol persen, pemerintah tidak
mendapatkan penerimaan yang bersumber dari pajak. Demikian pula halnya jika
tarif pajak 100 persen, pemerintah tidak akan mendapatkan penerimaan pajak.
Jadi, dari teori ini menjelaskan kepada kita bahwa diperlukan tarif pajak
yang ideal sehingga dapat memberikan kontribusi peningkatan penerimaan pajak.
Bandingkan dengan
tarif pajak di negara-negara tetangga kita. Contohnya, Singapura mengenakan pajak 25 persen
(badan) dan 20 persen (orang pribadi), Malaysia 25 persen (badan) dan 26
persen (orang pribadi), Thailand 23 persen (badan) dan 37 persen (orang
pribadi), Brunei 21 persen (badan) dan nol persen (orang pribadi), Vietnam 25
persen (badan) dan 35 persen (orang pribadi), Filipina 30 persen (badan) dan
32 persen (orang pribadi), serta Kamboja 20 persen (badan) dan 20 persen
(orang pribadi).
Negara-negara tersebut
bisa menjadi acuan dalam membuat kebijakan tarif pajak di Indonesia.
Karena tarif pajak
sangat memengaruhi penerimaan pajak secara nasional, semestinya kita tak
memberikan ruang kepada para pebisnis untuk melarikan laba dan hartanya ke
negara yang bertarif pajak lebih kecil daripada Indonesia atau negara tax haven (bebas pajak).
Selain itu, perlu ada
perubahan terhadap Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang bertarif 10 persen, dengan menghapusnya dan
digantikan dengan Pajak Penjualan (PPn) dengan tarif 2 persen atau 3 persen dan tentunya bersifat final.
Hal ini, karena selama ini PPN dikenakan kepada pemakai barang dan jasa
(user), sedangkan pengusaha tidak dikenai PPN karena mereka dapat mengkreditkan (mengurangi) dengan PPN
yang sudah mereka bayar saat membeli barang.
Jika dengan pajak
penjualan yang bersifat final, akan terjadi keadilan pajak, semua pengguna
barang dan jasa dikenai pajak penjualan saat membeli barang tanpa bisa
mengkreditkan (bersifat final).
Penurunan tarif pajak
dan pengampunan pajak adalah langkah yang perlu dilakukan pemerintah saat ini
guna memberikan angin segar, tetapi upaya itu pun belum menjamin para
pengusaha membawa uangnya ke Tanah Air. Minimal pemerintah sudah berupaya
dengan berbagai cara untuk membuat perubahan besar bagi sistem perpajakan
Indonesia.
Dunia perpajakan
Indonesia memang sudah mengenal istilah reformasi perpajakan yang telah
dilakukan pada 1983, dengan payung hukum ketetapan MPR Nomor II/MPR/1983
tertanggal 9 Maret 1983 pada Bab III huruf D butir ke-13. Namun, Indonesia
belum mengenal transformasi perpajakan yang memberikan perubahan besar pada
wajah perpajakan kita. Atas dasar itu, diperlukan transformasi perpajakan
Indonesia.
Tahun 2016, target
penerimaan pajak dipatok sebesar Rp 1.368 triliun, angka yang sangat
signifikan. Jika strategi penerimaan pajak hanya mengandalkan cara-cara lama,
akan sulit mencapai target yang dicanangkan, baik tahun ini maupun
tahun-tahun ke depan.
Diperlukan grand strategy untuk dapat mencapai
target penerimaan pajak, tentunya strategi yang dibuat harus mengandung unsur
kebaruan dan dapat mendorong perekonomian secara makro. Tanpa strategi yang
jitu, rasanya sulit untuk mencapai target penerimaan pajak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar