Revolusi Mental Korupsi
Yonky Karman ;
Pengajar di Sekolah Tinggi
Teologi Jakarta
|
KOMPAS, 18 April
2016
Korupsi di Indonesia
tidak ada matinya, bahkan modusnya kian canggih. Memang tidak ada negara
bebas korupsi, tetapi Indonesia bermasalah dengan mental korupsi.
Mental itu telah
merusak kinerja penegak hukum, sekaligus menyempurnakan kerusakan negara
akibat korupsi. Institusi penegak hukum konvensional sudah mengalami
pembusukan sehingga penindakan atas kasus korupsi tidak menimbulkan efek
jera. Yang terjaring dalam operasi tangkap tangan hanya sedang apes. Jauh
lebih banyak yang aman menikmati hasil korupsi. Rata-rata, vonis kasus
korupsi sepanjang 2015 pun terendah dalam tiga tahun terakhir, dengan 68
vonis bebas (28 vonis bebas pada 2014 dan 16 pada 2013).
Tahun 1970-an, Bung
Hatta melontarkan sinyalemen budaya korupsi di Indonesia. Namun, dalam
seminar bertajuk "Membangun Indonesia Baru", yang diselenggarakan
Ikatan Alumni Universitas Islam Indonesia (8/11/ 2012), Mahfud MD sebagai
ketua alumni mengingatkan untuk tidak begitu saja percaya omongan Hatta.
Korupsi bukan budaya warisan nenek moyang dan baru membudaya pada era
pemerintahan Soeharto. Hatta hanya melihat korupsi pada waktu itu sebagai
ancaman bagi perkembangan bangsa.
Kultur feodal
Hatta tak salah dengan
budaya korupsi dalam arti ditunjang akar kultural. Semua bangsa pernah hidup
dalam kultur feodal. Namun, bangsa-bangsa di negara maju mengalami
transformasi kultural melalui revolusi mental dan meritokrasi. Kenaikan pangkat
dari prestasi kerja, bukan karena kedekatan dengan atasan. Penambahan harta
jelas asal- usulnya. Pejabat pun menolak pemberian yang tidak jelas
(gratifikasi). Berbeda dari negara maju, Indonesia memelihara kultur feodal
masuk ke birokrasi dengan alasan bagian dari identitas bangsa. Atasan pantas
dilayani bawahan dalam arti bawahan tidak boleh mengoreksi korupsi atasan.
Sebagai kompensasi, atasan membiarkan korupsi bawahan.
Maka, korupsi kita
bukan lagi soal oknum karena modusnya dalam semangat kebersamaan, berjenjang,
lintas sektoral, bahkan antara yang diawasi dan yang mengawasi. Fungsi
pengawasan secara konvensional tidak efektif mencegah korupsi. Korupsi
berjemaah, begitu istilahnya, sama sekali tidak ada hubungan dengan agama,
tetapi sindiran halus untuk bangsa religius.
Dalam kultur feodal,
pejabat merasa pantas dilayani rakyat. Hormat dari rakyat dimaknai dengan
upeti. Rakyat tidak memperoleh layanan publik berkualitas karena tidak
membayar pungutan liar (pungli) ataupun uang pelicin. Penegak hukum lebih
berperilaku sebagai penguasa hukum. Salah satu penyebab kemacetan di Jakarta
adalah ulah pengemudi angkutan umum yang merasa bebas mengabaikan rambu-rambu
lalu lintas karena telah dikenai pungli.
Semasa dijajah VOC,
bangsa Indonesia sudah hidup dalam alam korupsi yang akhirnya membuat
perusahaan dagang Belanda itu bangkrut. Meski penjajahan Jepang amat singkat,
fasisme menyempurnakan kerusakan fisik dan mentalitas bangsa. Kita siap
merdeka (dengan mati sebagai alternatif), tetapi tidak siap membangun.
Koentjaraningrat dalam
Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan menyatakan, mentalitas menerabas dan
tidak suka bertanggung jawab sebagai akibat terlalu lamanya masa dekolonisasi
(penjebolan norma-norma lama). Orang kita pandai mengambil jalan pintas
meskipun membuat kacau. Kita berani berbuat salah, tetapi tidak berani
mengakuinya. Tersangka kasus korupsi berbelit-belit dalam keterangan dan
tiba-tiba sering sakit ketika hendak diperiksa.
Mentalitas proyek
Korupsi kita dilakukan
dengan leluasa karena terlindung birokrasi dan undang-undang. Pada era
Soeharto, korupsi terpusat dan terstruktur. Pasca Soeharto, korupsi tetap
terstruktur, tetapi terdesentralisasi. Dengan penguatan unsur parpol (legislative-heavy), semua elemen
partai mengambil bagian dalam praktik korupsi. Salah satu jalan mendapat uang
dengan mudah adalah menjadi politisi.
Eksekutif menyusun
anggaran dan kebijakan, dalam semangat kongkalikong dengan legislatif.
Legislatif belajar dari eksekutif dengan mentalitas proyeknya. Eksekutif menutup
sebelah mata terhadap legislatif yang terlibat dalam bisnis proyek
pemerintah. Legislatif juga menutup sebelah mata terhadap potensi inefisiensi
uang negara dan kebijakan pembangunan tak berkualitas. Yang lebih parah,
peraturan daerah disusun dengan menyerap aspirasi pengusaha. Dalam proyek
reklamasi Teluk Jakarta, negara sepintas tidak dirugikan, malah untung.
Itulah yang membuat pemprov bersikeras meneruskan proyek itu dan mengabaikan
banyak pertimbangan non-ekonomis. Ada risiko kerusakan lingkungan yang
semakin masif dan tak bisa pulih. Masyarakat pesisir semakin miskin karena
kehilangan mata pencarian tradisional.
Seharusnya, pemerintah
meningkatkan keterampilan nelayan tradisional dan memperkuat daya tawar hasil
tangkapan mereka. Fluktuasi harga hasil tangkapan mereka hanya dinikmati
tengkulak dan pengusaha, bukan oleh mereka. Nasib mereka akan sama seperti
petani desa yang setelah tanpa tanah bekerja serabutan di kota. Alih-alih
menyerap aspirasi masyarakat yang berjuang untuk hidup, wakil rakyat
menyuarakan kepentingan investor dan memperjuangkan nilai tambah kaum
berpunya.
Dengan dalih
penyerapan aspirasi dan pembangunan daerah, anggota DPR kongkalikong dengan
pejabat daerah dan pihak swasta untuk mendapat proyek yang dibiayai APBN.
Itulah yang terjadi dalam proyek pengadaan pembangkit listrik mikrohidro di
Kabupaten Deiyai, Papua.
Dalam persidangan di
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, terdakwa yang tadinya seorang
anggota DPR mengaku menerima jatah proyek pemerintah beserta imbalannya adalah
praktik lazim anggota sampai pimpinan DPR. Pengakuan itu pun dibenarkan
direktur jenderal kementerian yang menangani infrastruktur. Mental proyek
sudah menjadi budaya elite politisi.
Tanpa revolusi mental,
pemberantasan korupsi akan selalu tertinggal dengan kecepatan dan
metamorfosis korupsi. Meski ditakuti koruptor, KPK memiliki jangkauan
terbatas. Bahkan, ada perlawanan balik dan berhasil dalam bentuk praperadilan
untuk kasus korupsi. Upaya pelemahan KPK selalu datang dari politisi dan
penguasa yang terganggu. Beberapa kali gerakan masyarakat sipil harus membela
langsung komisi antirasuah itu.
Revolusi mental harus
dimulai dari atas dan dibuat terstruktur. Harus ada sanksi serius bagi
pejabat yang tidak melaporkan dengan benar penghasilan dan kekayaannya.
Dokumen Panama telah membuat perdana menteri mengundurkan diri dan protes
warga di mana-mana, tetapi di Indonesia meski sudah tersebut tidak ada
kegaduhan politik. Terkait korupsi, penguasa kita dikuasai budaya permisif.
Presiden sebagai
kepala negara dapat memanggil petinggi kehakiman, kejaksaan, dan kepolisian.
Para petinggi itu perlu mendengar langsung dari kepala negara seberapa
darurat dan seriusnya korupsi hendak diberantas. Harus ada sanksi untuk
penegak hukum dan hakim yang membuat koruptor dihukum ringan. Sebaliknya,
harus ada promosi atau insentif untuk penegak hukum yang konsisten
memberantas korupsi tanpa pandang bulu. Akhirnya, agama sebagai bagian dari
kultur bangsa seharusnya bisa menjadi bagian untuk mengikis akar kultural
korupsi. Namun, energi keberagamaan kita lebih terarah kepada ortodoksi dan
kesalehan lahiriah. Jarang khotbah yang memuliakan manusia yang hidup sesuai
dengan gajinya dan menjauhi praktik korupsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar