Pusat Logistik Berikat
Adhi S Lukman ;
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia
(GAPMMI);
Anggota Pokja Ahli Dewan
Ketahanan Pangan (DKP) Indonesia
|
KOMPAS, 02 April
2016
Banyak cara untuk meningkatkan daya saing industri Indonesia
agar memenangi persaingan di Masyarakat Ekonomi ASEAN. Salah satunya adalah
dengan mengamankan rantai pasok bahan baku yang selama ini masih banyak
diimpor.
Bisa dibayangkan betapa rentannya industri nasional karena
sekitar 70 persen bahan baku masih mengandalkan pasokan dari luar negeri.
Kalau bicara industri makanan-minuman, gula mentah dan terigu 100 persen
impor; kedelai, susu, dan basis sayur/buah sekitar 70 persen impor; dan masih
banyak lagi yang bisa dijadikan contoh. Bahan kemasan plastik dan kaleng juga
lebih dari 50 persen mengandalkan impor.
Kesulitan impor sudah bisa dibayangkan karena harus transaksi
dengan pemasok di pasar global, di mana pemesanan/kontrak barang, pengiriman,
proses perdagangan, bea cukai, dan lain- lain pasti membutuhkan waktu minimal
3-4 bulan sampai barang tiba di Indonesia. Ini berakibat biaya sangat tinggi,
termasuk bunga pinjaman bank yang dihitung sejak L/C dibuka atau bahkan
sebagian harus membayar di muka. Apalagi bunga bank di Indonesia nomor dua tertinggi
di ASEAN setelah Myanmar. Kalau rata-rata bunga bank di ASEAN 4-8 persen,
bunga bank di Indonesia mencapai 13 persen. Ditambah pengaturan perdagangan
dalam negeri yang belum mapan, bisa mengakibatkan industri harus mencari
barang di pasar spot setelah mendapatkan izin, yang pasti harga akan lebih
mahal.
Tidak heran bila Global
Food Security Index (GFSI) Indonesia tahun 2015 masih bertengger di
peringkat 73 dari 108 negara (The
Economist), atau peringkat 6 di ASEAN. Padahal, Singapura sebagai negara
yang tidak memiliki sumber daya alam memadai bisa menduduki peringkat 2
setelah Amerika Serikat.
Kunci sukses Singapura
Pada suatu kesempatan acara di Singapura tahun 2015, Menteri
Perdagangan Singapura memaparkan beberapa kunci sukses keberhasilannya bisa
menduduki GFSI peringkat kedua. Antara lain diversifikasi sumber daya pangan
dengan menggandeng lebih dari 160 negara pemasok, mengefisienkan rantai
pasok, menjadikan Singapura pusat logistik dunia dengan menyediakan
sarana/prasarana logistik yang memadai serta fasilitas umum dan keuangan yang
aman serta baik. Sebagai negara kecil yang memberikan fasilitas perdagangan
bebas, Singapura bisa diibaratkan suatu kawasan berikat.
Masih teringat pada pelajaran sejarah, bagaimana strategi
memenangi perang, di mana salah satunya adalah mengamankan logistik pangan
sendiri atau mengganggu logistik musuh. Tidak ada gunanya memiliki tentara
dan peralatan banyak tanpa didukung logistik pangan yang baik. Masih relevan
dengan strategi perang, betapa pentingnya pengamanan logistik dalam memenangi
persaingan di pasar global saat ini, seperti banyak negara besar
menerapkannya sebagai strategi geopolitik menguasai dunia.
Mencontoh keberhasilan Singapura dan menjawab tantangan yang ada
di Indonesia, seharusnya Indonesia mengembangkan pusat logistik berikat (PLB)
untuk bahan baku industri. Kolaborasi semua pemangku kepentingan harus
diakomodasi sebagai rantai pasok yang utuh.
Dengan dibangunnya PLB, akan didapat berbagai keuntungan antara
lain: pemasok/pemilik barang bisa melakukan bongkar muat di PLB secara cepat
dan efisien tanpa harus melalui prosedur bea cukai atau perdagangan lainnya
(mengurangi dwelling time).
Dengan tersedianya barang di PLB, pemasok bisa lebih meyakinkan
pembeli akan mutu dan jumlahnya, dan akhirnya bisa mendapatkan pembeli yang
lebih banyak; ada jaminan ketersediaan barang bagi industri pengguna karena
barang sudah tersedia dekat di area Indonesia, sekaligus mengantisipasi bila
pengaturan perdagangan (kuota dan lain lain) dikeluarkan mendadak oleh pemerintah.
Industri pengguna bisa dengan cepat mendapatkan pasokan bahan baku, menghemat
waktu proses pesanan, dan biaya bunga bank.
Pusat logistik ASEAN
Pengawasan barang oleh petugas di Indonesia juga bisa dilakukan
lebih baik, terjamin, dan tidak terburu-buru, di mana pemeriksaan bisa
disiapkan lebih awal dan bisa dieksekusi pada saat barang dipesan/dikeluarkan
dari PLB. Manfaat yang lebih besar lagi, PLB bisa menjadi pusat logistik
ASEAN dengan memanfaatkan posisi geografis.
PLB bisa dibangun dengan mempertimbangkan antara lain: area di
mana kebutuhan terbanyak; pertimbangan geografis dan ketersediaan
sarana/prasarana; kesiapan aparat; mudah dijangkau baik oleh pemasok maupun
pemakai.
Bisa saja PLB dibangun di pelabuhan laut, pelabuhan darat (dry
port) atau juga dimungkinkan di area industri pengguna. Semua itu tergantung
dari kesiapan sistem maupun aparat pengawas.
Semoga PLB menjadi salah satu pendorong daya saing Indonesia,
menjadi daya tarik investor serta mendukung Nawacita Kabinet Kerja di bidang
ekonomi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar