Air dalam Wahana Kebudayaan
Riki Dhamparan Putra ;
Menulis puisi, artikel budaya dan sastra; Beberapa tulisan pernah
tersiar di beberapa surat kabar; Kini tinggal di Jakarta
|
KOMPAS, 02 April
2016
Pengetahuan dasar saya tentang air sebagai wahana kebudayaan
berasal dari dua sumber, yakni ilmu agama dan ilmu bahasa. Sumber pertama
tentang air wudhu yang saya pelajari kira-kira dua tahun menjelang masuk
sekolah dasar. Kata guru mengaji saya ada dua jenis air. Keduanya suci,
tetapi membawa sifat berlainan. Ada air suci yang mensucikan, ada air suci
yang tidak mensucikan. Yang pertama contohnya air dari mata air dan air
hujan. Itu boleh digunakan untuk berwudhu. Jenis berikutnya ada air laut, air
kelapa, air enau. Itu semua suci, tetapi tidak dapat membersihkan.
Sumber kedua, ilmu peribahasa, mulai diajarkan tatkala kelas
empat SD. Dalam peribahasa, air tidak dipahami dari segi unsur materialnya,
melainkan sebagai perumpamaan pribadi manusia dan sifat-sifatnya. Air beriak
tanda tak dalam, air tenang menghanyutkan, kata Bu Guru menasihati
murid-muridnya agar jangan suka pamer kepandaian. Air juga melarang kami
bergosip melalui ungkapan: jangan menapik air di dulang. Banyak lagi kiasan
lain, seperti misalnya pandai berminyak air, bagai minyak dan air, gila-gila
air, sambil menyelam minum air. Semua itu menjadi penanda kedekatan bahasa
Indonesia dengan air.
Dari lingkup terdekat ini, yakni tubuh (saat kena air wudhu) dan
jiwa (saat tersindir peribahasa), saya pun mulai menjelajah hakikat air ke
semesta yang lebih luas di luar diri saya. Suatu hari, akibat terlalu sering
menonton film laga, saya ingin sekali menjadi orang sakti. Ingin kebal
parang, ingin kebal api. Nasib baik, seorang dukun di mudik kampung bersedia
mengajar saya ilmu itu. Diceritakannya asal besi itu air, asal api itu air.
Kalau saya mengetahui asal besi, asal api, katanya saya dapat mematahkan
golok dengan tangan, tak terbakar oleh api.
Singkat kisah, saya mencoba ilmu yang ia ajarkan. Hasilnya
sungguh luar biasa, daging lengan saya sobek karena memancungnya dengan
parang dan jangat saya terbakar karena membiarkan api lampu damar
menjilatinya. Inyik saya yang mengetahui hal itu marah tak terkira. Dicarinya
dukun yang mengajar saya itu, hingga si dukun memohon-mohon ampun karena pori-porinya
mengeluarkan darah selama beberapa hari tak henti-henti. Kata orang, ia
"tersapa". Namun syukurlah, ia sembuh setelah Inyik saya
memaafkannya.
Ternyata, setelah kejadian itu, air mulai mengenalkan hakikatnya
kepada saya pelan-pelan. Mungkin karena dianggap pikiran saya telah rusak
akibat mempelajari ilmu besi dan tahan api itu, saya dimandikan selama tujuh
hari.
Setiap parak siang sebelum burung-burung bangun, saya dibawa
oleh Inyik saya ke lubuk dangkal yang tak jauh dari pondoknya. Di lubuk itu, seluruh
tubuh saya dibenamkan selama kira-kira sepuluh tarikan napas, diangkat, lalu
dibenamkan kembali hingga tiga kali berulang-ulang. Di rumah, selama tujuh
hari itu saya umpama seorang raja. Bantal saya tak boleh sama dengan orang
lain, piring makan saya, gelas minum saya. Ada pantangan antara lain pantang
berjalan di bawah tali jemuran, tikar tidur saya harus baru walaupun hanya
pandan.
Melukat
Belakangan, saya menyadari bahwa itu adalah prosesi melukat
menurut istilah Melayu. Namun, di kampung saya itu disebut mandi dan
menghanyut. Kesucian hati dan ketulusan doa orang yang melukat kita menjadi
prasyarat kesuksesan prosesi ini. Syarat pokok lainnya adalah izin ibu dan
keluarga kita.
Faktanya, ada pertalian nyata antara air dan pikiran (di kampung
saya disebut pangana) yang tak dapat diterangkan dengan penjelasan akademis.
Pada saya, kesadaran atas pertalian itu telah membuat pangana itu memasuki
fase barunya. Ia mulai mampu melihat keadaan yang "menghijab
sumangeknya", umpama ia melihat sebuah biduk yang dibebani oleh sepuluh
jenis penumpang gelap yang disebut kizib, kitman, khianat, baladu, riya,
sama'ah, takabur, hasad, loba, toma'ah.
Tumbuh hasrat untuk mengosongkan perahu itu. Sebab, kata
inyiknya, penumpang sejati perahu itu aslinya terdiri dari sepuluh perkara:
siddiq, amanah, tablig, fatonah, khusyu', tawadlu', rida, sabar, pangasih,
panyayang. Tugas si pengayuh perahu adalah menemukannya. Namun, di manakah
mereka? Dengan kekuatan apa si pangana akan menemuinya? Sebab, si pangana
tiba-tiba merasa sendirian di laut luas yang belum pernah dilihatnya. Laut
yang anginnya keras ombaknya cabuh/pulaunya jauh tempat berlabuh.
Ia tiada kekuatan, tiada ilmu, tiada pemandu untuk mengusir
penumpang-penumpang gelap itu. Ia merasa tak punya suluh, tak punya navigator
yang akan memandunya menemukan penumpang-penumpang sejati itu. Dalam keadaan
demikian, terkenanglah ia pada sebait nazam:
Kaji tarekat nan dipintak
Untuk sembahyang petang
dan pagi
Awak lata amalan tidak
Bagaimana akan pulang ke
negeri
Maka tiada cara lain yang bisa diperbuat kecuali memasrahkan
dirinya. Ia bersimpuh dan beristighfar. Hingga suatu kali ia melihat biduk
itu pergi dengan satu bait dari "Madah Kelana".
Alun membawa bidukku
pelahan
Dalam kesunyian malam
waktu
Tidak berpawang tidak
berkawan
Entah kemana aku tak tahu
("Dibawa
Gelombang", Sanusi Pane)
Umur saya belum 17 tahun ketika puisi di atas mulai mengisi
ruang kosong di dalam pangana saya. Ia menjelma menjadi teman kesunyian,
menjadi kesukaan. Pelan-pelan, setahap demi setahap, hakikat air yang saya
cari-cari mulai tampak wujudnya dalam kesukaan saya pada kata-kata itu.
Sepanjang siang, sepanjang malam, saya melelahkan diri dengan menulis munajat
yang sunyi sepi rasanya. Seakan tiada kegembiraan lain selain berhasil menuliskan
satu bait saja.
Sebagian dari munajat malam-malam itu saya kirimkan dan telah
dimuat di koran-koran Singgalang, Semangat,dan Canang yang terbit di kota
Padang. Sekali waktu bahkan saya menulis tujuh naskah prosa liris untuk
dipentaskan dalam musim Sandiwara Liburan di kampung saya. Saya menjadi
terkenal walaupun honor yang dijanjikan panitia untuk penulisan naskah
sandiwara itu dikorupsi oleh bendahara karang taruna desa saya. Namun, saya
tidak memedulikannya.
Selama satu tahun, saya telah berhasil menulis lebih dari
seratus puisi. Satu dari buku tulis yang berisi puisi-puisi itu kelak akan
saya bawa ke Bali, untuk menemui takdirnya tercoret-coret oleh gaya editing
para penyair senior di Sanggar Minum Kopi Bali. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar