Perdamaian Dunia tidak Bisa Dibangun Sendiri
Alek Karci Kurniawan ;
Analis Hukum Internasional
FH Universitas Andalas, Padang
|
MEDIA INDONESIA,
30 Maret 2016
KALI ini, Lahore berdarah. Aksi teror menumpahkannya di libur
Paskah. Sedikitnya, dari pembantaian di hari Paskah itu, menewaskan 72 orang
dan 300 lainnya luka-luka.
Aksi teror tersebut menambah panjang daftar tragedi kemanusiaan
yang mengatasnamakan agama dan ideologi. Sebagaimana bom di Brussels, Belgia,
sepekan sebelumnya, bom di Ankara, Turki, serta serangan teror Jumat malam
mencekam di Paris, Prancis, itu bersumbu pada jaringan terorisme yang berakar
dari radikalisme--yang sayangnya--telah menggantung jiwa pelakunya (sebelum
meledakkan diri).
Akar radikalisme
Radikal sebenarnya tak selamanya begal. Jika dilihat asalnya,
penggunaan kata 'radikal' pertama kali dipakai dalam gerakan politik yang
emansipatif. Pada abad pertengahan, gerakan radikal di Parlemen Inggris ialah
cikal bakal yang membentuk Partai Liberal. Tujuan mereka ialah mencapai
reformasi sistem pemilu. Musababnya, pada periode pemilihan umum sebelumnya,
hak suara dibatasi untuk pemilik properti saja. Bahkan, 'kursi' pun bisa
dibeli atau dikuasai para tuan tanah. Barang tentu, banyak suara di daerah
yang tidak terwakili, jadilah ketidakpuasan dengan ketidakadilan
menginspirasi nenek moyang orang-orang radikal yang kemudian dikenal sebagai radical whig.
Radikalisme bukan muncul dengan begitu saja. Kelahirannya
dibidani rasa ketidakadilan dan kekecewaan akibat tata sosioekonomi dan
sosiopolitik, yang sifatnya diskualitatif, dislokasi sosial-ekonomis, dan
deprivasi sosiopolitis, laksana sejarah menarasikan.
Namun, radikalisme bisa pula menjadi faktor kriminogen. Manakala
ide, cita, dan nilai yang diyakini dijelmakan melalui cara-cara kekerasan
yang tak keruan. Seperti aksi teror Islamic
States (IS) yang menjejali Eropa, bahkan sampai ke Sarinah, Jakarta, menyerang
sipil tak berbedil.
Para elite dunia juga tak kalah lompongnya. Seolah-olah harimau
kecil yang mereka susui itu tak terjinjing lagi telinganya. Makin merebaknya
aksi teror menunjukkan upaya internasional dalam perang melawan teror perlu
ditinjau kembali.
Musabab penanggulangan radikalisme tidak cukup hanya dengan
upaya kriminalisasi dalam kebijakan penal dan aksi-aksi brutal, tapi perlu
upaya lain yang bersifat nonpenal (di luar jalur hukum). Seperti halnya
dengan menangani faktor kondusif, maksudnya urusan yang dapat menimbulkan
kejahatan, baik itu pendidikan, pemberdayaan ekonomi, periuk nasi, pendekatan
moral berkasih-kasih, penuh cinta, maupun pelbagai aspek potensial lainnya.
Supaya massa aksi teroris tak bertambah lagi dan berlipat ganda,
dunia dapat belajar banyak dari peraih Nobel Perdamaian 2015: Kuartet Dialog
Nasional Tunisia. Inilah organisasi masyarakat sipil di Tunisia yang berhasil
meraih prestasi mendorong dialog politik dan demokrasi pluralistik di negara
Afrika Utara—pascarevolusi melati yang memicu Musim Semi Arab. Kiprah mereka
dalam mewujudkan perdamaian telah memikat hati Komite Nobel Norwegia untuk
beralih dari nama-nama besar yang juga punya kontribusi pada perdamaian dunia
seperti Kanselir Jerman Angela Merkel dan pemimpin umat Katolik dunia Paus
Fransiskus.
Musim Semi Arab atau dikenal dengan The Arab Spring, berawal dari Tunisia pada 2010 dan 2011. Kepakan
sayap kupu-kupunya kemudian dengan cepat membadai di Afrika Utara dan di
Timur Tengah. Pergerakan yang menularkan semangat perubahan besar di
belantara jazirah padang pasir itu, awalnya dipicu saat seorang pedagang kaki
lima membakar dirinya sebagai bentuk protes terhadap kepemimpinan Presiden
Tunisia Zine El Abidine Ben Ali yang berkuasa bak diktator.
Selain itu, ada juga pertentangan antara kelompok Islami dan
kelompok sekuler yang mewarnai latar belakang sosial politik di Tunisia.
Radikalisme yang ada di tiap kelompok, sempat menjadi ancaman bagi masyarakat
Tunisia, seperti halnya negara lain di Afrika Utara dan Timur Tengah.
Tahun-tahun diwarnai teror beruntun yang menewaskan banyak warga sipil dan
sebagian besar wisatawan.
Prinsip dialog
Di tengah perjuangan untuk demokrasi dan hak asasi manusia pada
suatu titik telah mengalami kemunduran, Tunisia telah menunjukkan transisi
demokrasi yang didasarkan pada semangat kedamaian. Kuartet Dialog Nasional di
Tunisia membangun suatu dialog yang beranjak dari pemahaman bersama, bahwa no one can build peace alone. Prinsip
gerakan mereka ialah dialog.
Gerakan ini ditopang dari segenap elemen masyarakat Tunisia.
Mereka ialah Serikat Buruh Umum, Konferensi Industri, Perdagangan dan
Kerajinan, Liga Hak Asasi Manusia, dan Organisasi Pengacara Tunisia. Oleh
karena itu, jadilah transisi di Tunisia menunjukkan lembaga-lembaga
masyarakat sipil dan organisasi dapat memainkan peran penting dalam
demokratisasi suatu negara. Kuartet berhasil merancang dan mewujudkan sebuah
alternatif proses perdamaian politik, ketika negara itu berada di ambang
perang saudara.
Proses seperti itu, bahkan dalam keadaan sulit, dapat
menciptakan pemilihan umum yang bebas dan transisi damai rezim pemerintahan.
Dialog sebagai sarana yang berperan penting dalam memungkinkan Tunisia dalam
waktu beberapa tahun membangun sistem pemerintahan yang konstitusional.
Pembentukan dialog itu telah menampung hak-hak dasar bagi
seluruh penduduk, terlepas dari jenis kelamin, paham politik, atau keyakinan
agama. Ya, begitulah cara terbijak untuk memahami subjek sedalam-dalamnya.
Sudahilah menebar kebencian. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar