Perang terhadap Eksploitasi Anak
Kurniawan Adi Santoso ;
Guru SDN Sidorejo, Sidoarjo, Jatim;
Pengasuh Baca-Tulis untuk Anak di
Gubuk Literasi Sidorejo, Sidoarjo
|
MEDIA INDONESIA,
29 Maret 2016
ANAK merupakan investasi paling berharga bagi keberlangsungan
negara kita tercinta ini di masa mendatang. Namun sayangnya, di negeri ini
masih subur praktik eksploitasi terhadap anak. Pekan lalu, Polres Jakarta
Selatan menahan empat orang yang diduga mempekerjakan 18 anak di bawah umur
menjadi pengamen, pengemis, dan joki 3 in 1 (Media Indonesia, 27/3/2016). Hal
ini menggugah kesadaran kita bahwa perang terhadap eksploitasi anak harus
terus dilakukan. Memutus rantai eksploitasi anak sesungguhnya merupakan PR
bagi kita semua.
Eksploitasi terhadap anak atau mempekerjakan anak dengan tujuan
ingin meraih keuntungan merupakan tindakan tidak terpuji dan melanggar
undang-undang sebab itu telah merampas hak-hak anak, seperti mendapatkan
kasih sayang dari orangtua, pendidikan yang layak, dan sarana bermain yang
sesuai dengan usianya. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, Pasal 18 dijelaskan bahwa anak seharusnya memperoleh hak
hidup, tumbuh dan berkembang, serta wajib mendapat perlindungan dari
eksploitasi (baik ekonomi maupun seksual).
Terungkapnya kasus tersebut seharusnya menjadi momentum untuk
menuntaskan persoalan eksploitasi anak sebab jumlah anak yang menjadi pekerja
di negeri ini masih banyak. Berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI), hingga 2015 masih ada lebih dari 1,7 juta anak Indonesia
yang menjadi pekerja. Bahkan, 400 ribu di antaranya terpaksa bekerja untuk
pekerjaan yang buruk dan berbahaya, seperti perbudakan, pelacuran,
pornografi, perjudian, pelibatan pada narkoba, dan lainnya. Hal ini
membuktikan keberpihakan atau penghargaan terhadap hak asasi pada anak masih
minim, bahkan belum diakui masyarakat kita. Permasalahannya sekarang,
bagaimana memutus rantai eksploitasi anak tersebut?
Masih terjadinya eksploitasi anak merupakan pangkal utamanya
berawal dari faktor ekonomi, terutama ekonomi keluarga yang menengah ke
bawah. Tingkat kebutuhan yang tinggi, sementara pemasukan yang tidak sepadan
menuntut/memaksa seorang anak membantu orangtuanya mencukupi kebutuhan
keluarga.
Orangtua yang di latar belakangi motif ekonomi tersebut akhirnya
memobilisasi anak-anaknya sebagai pekerja untuk membantu ekonomi keluarga.
Pada titik inilah munculnya kecenderungan anak-anak berubah peran dari
‘sekadar membantu’ menjadi ‘pencari nafkah utama’. Selain itu, kemiskinan yang
lekat dengan golongan lapisan bawah oleh sebagian besar masyarakat kita
dijadikan sebagai sebuah alasan pembenaran terhadap praktik-praktik
mempekerjakan anak dalam usaha untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarga.
Di samping itu pula masih ada semacam pola asuh dalam keluarga
bahwa anak harus menuruti kemauan orangtua. Hal ini membuat anak dalam posisi
tidak berdaya dan menjadikan anak menuruti kemauan orangtua untuk
dipekerjakan pada orang lain. Anak memang berkewajiban patuh pada orangtua,
tetapi ia sebagai manusia juga memiliki hak. Anak tidak berkewajiban bekerja
dalam ranah mencari nafkah bagi keluarga. Justru orangtualah yang
berkewajiban untuk menafkahi dan memastikan anak memperoleh hak-haknya,
bertumbuh, dan berkembang sesuai usianya.
Anak-anak yang dipaksa dipekerjakan akan mengalami gangguan pada
tugas perkembangannya. Anak akan kekurangan kasih sayang orangtuanya karena
lebih disibukkan pada aktivitas bekerja. Anak juga terampas hak-haknya. Yang
paling terasa oleh anak ialah kehilangan pendidikan atau haknya untuk belajar
memperoleh ilmu sebanyak-banyaknya. Anak menjadi putus sekolah.
Hal tersebut mengakibatkan mudah terjadinya penyimpangan
perilaku pada anak yang tidak sesuai dengan norma di masyarakat. Anak
kesulitan membedakan antara yang benar dan yang salah, serta sulit membaur
dengan masyarakat. Pada akhirnya, negara kita akan mengalami krisis generasi
unggul.
Permasalahan eksploitasi anak tak boleh kita biarkan
terus-menerus terjadi. Peran serta semua pihak sangat dibutuhkan untuk memutus
rantai praktik eksploitasi anak, baik secara kelembagaan maupun perseorangan,
dari mulai keluarga sendiri, sekolah, masyarakat, sampai pemerintah sehingga
terbentuk sinergi untuk menghentikan praktik eksploitasi anak. Pertama,
pemerintah perlu lebih gencar melakukan sosialisasi perlindungan anak,
terutama masyarakat berpendidikan dan bertaraf ekonomi rendah agar tidak
terbujuk iming-iming yang justru akan menjerumuskan anak.
Penegak hukum perlu lebih memperketat daerah-daerah yang
mempekerjakan anak dan memutus gerak pelaku eksploitasi anak. Tidak hanya
itu, aparat penegak hukum perlu menindak secara tegas para pengeksploitasi
anak meski itu orangtuanya sendiri. Hal ini untuk memberi pembelajaran dan
pemahaman pada orangtua akan bahaya eksploitasi anak, di samping memberi efek
jera.
Kedua, mewujudkan gerakan Kampung Ramah Anak (KRA). Sudah
waktunya model KRA ini senantiasa dibudayakan, dipupuk, dan terus
dikembangkan. Eksistensinya pun harus bersinergi dengan pendidikan formal di
sekolah dan peran serta masyarakat setempat. Kita tentu menyadari, sebagus
apa pun konsep apabila tidak didukung komitmen para pelaku, akan terkendala
pada implementasinya.
Dengan KRA ini, bakal mengedukasi orangtua sebagai lingkungan
masyarakat terkecil untuk bisa memahami hakikat pendidikan ramah anak melalui
pola pengasuhan di dalam keluarga. Budaya memperhatikan anak yang kini
semakin tergerus zaman perlu dibangun kembali. Orangtua perlu memastikan
anaknya secara inklusif dalam lingkungan yang aman secara fisik, melindungi
secara emosional, dan menjaga psikologisnya. Hal ini tentu akan berkorelasi
positif dalam menghilangkan berbagai tindakan kekerasan dan pelanggaran hak
anak serta sebagai upaya solutif problem dekadensi moral anak.
Ketiga, peran lembaga pendidikan, seperti sekolah lebih sensitif
terhadap perkembangan anak didiknya dan peduli pada anak yang seharusnya
bersekolah, tetapi justru dipaksa untuk bekerja. Sekolah bisa mendesain
kurikulum kewirausahaan untuk anak-anak yang terindikasi jadi korban
eksploitasi. Dengan program kewirausahaan, akan mendidik kreativitas dan
inovatif anak sehingga menemukan peluang dan perbaikan hidup.
Akhir kata, sangat tidak tepat bila usia anak yang sewajarnya
mengalami pertumbuhan dan perkembangan mengenal sesuatu yang baru malah
dipekerjakan layaknya seperti orang dewasa. Anak seyogianya mendapatkan
kebebasan menjalani dunia anak serta dilindungi hak-haknya. Sudah saatnya
negeri ini bebas dari eksploitasi anak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar