Pendeponiran Mantan Pemimpin KPK
Aradila Caesar Ifmaini Idris ;
Divisi Hukum dan Monitoring
Peradilan
Indonesia Corruption Watch
|
KOMPAS, 06 April
2016
Pada 4 Maret 2016,
Jaksa Agung HM Prasetyo mengumumkan keputusan untuk mengesampingkan perkara
dua mantan pemimpin KPK, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto. Meskipun
dinilai terlambat, keputusan ini merupakan pilihan paling tepat melihat
kondisi politik dan penegakan hukum saat itu. Keluarnya keputusan
mengesampingkan perkara demi kepentingan umum (deponir) merupakan wujud
kemenangan atas segala tindakan kesewenang-wenangan yang telah terjadi.
Meski demikian,
keputusan mengesampingkan perkara demi kepentingan umum bukan tanpa pro dan
kontra. Diskursus mengenai keputusan tersebut masih menjadi topik panas yang
terus diperdebatkan banyak kalangan.
Bagi kubu kontra,
unsur kepentingan umum tidak dapat dijelaskan. Selain itu, status keduanya
yang bukan lagi pemimpin KPK juga tak akan mengganggu kerja pemberantasan
korupsi jika keduanya diadili. Upaya perlawanan atas keputusan deponir muncul
lewat gugatan yang telah diterima PN Jakarta Selatan.
Salah alamat
Dalam kacamata hukum
pidana, sudah tentu gugatan itu salah alamat. Tidak ada upaya hukum bagi
keputusan deponir selain dari pembatalan keputusan itu oleh Jaksa Agung
sendiri. Keberadaan deponir sangat berbeda dengan penghentian perkara yang
diatur oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Penghentian penuntutan
yang terdapat dalam KUHAP memiliki upaya hukum, yaitu upaya praperadilan
sebagaimana diatur dalam Pasal 77 Huruf a yang mengatakan, pengadilan negeri
berwenang untuk memeriksa dan memutuskan sesuai dengan ketentuan yang diatur
dalam undang-undang ini tentang sah atau tidaknya penangkapan, penahanan,
penghentian penyidikan, atau penghentian penuntutan.
Namun, tidak demikian
dengan deponir atau pengesampingan perkara demi kepentingan umum karena dalam
penjelasan Pasal 77 KUHAP dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan penghentian
penuntutan tidak termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang
menjadi wewenang Jaksa Agung. Artinya, penyampingan perkara demi kepentingan
umum tidak bisa diajukan praperadilan karena penghentian penuntutan
sebagaimana yang dimaksud Pasal 77 KUHAP merupakan penghentian penuntutan
karena alasan teknis, bukan karena kebijakan Jaksa Agung.
Jika berkaca pada
pengaturan dalam hukum Belanda, para pihak yang merasa keberatan atau
dirugikan atas keluarnya keputusan deponir perkara pidana dapat meminta
pengadilan untuk tetap memproses penuntutan atau pemeriksaan persidangan. Hal
ini berbeda dengan Indonesia karena pengaturan soal upaya hukum atas
keputusan deponir Jaksa Agung tidak diatur secara spesifik. Dengan demikian,
keputusan deponir di Indonesia merupakan keputusan yang bersifat final dan
mengikat.
Kepentingan umum
Dalam kasus yang
menjerat kedua mantan pimpinan KPK, keputusan deponir diambil dengan terlebih
dahulu meminta saran dan pendapat dari cabang kekuasaan negara lain. Jaksa
Agung telah berkonsultasi dan meminta pendapat dari Mahkamah Agung dan
Kepolisian RI.
Mahkamah Agung dan
Kepolisian RI telah menyerahkan sepenuhnya keputusan itu kepada Jaksa Agung.
Hal serupa dilakukan Jaksa Agung kepada DPR. Meski rencana itu ditolak, DPR
tetap mengakui kewenangan mengesampingkan perkara demi kepentingan umum
sebagai pelaksanaan asas oportunitas yang hanya dimiliki Jaksa Agung.
Selain saran dan
pendapat lembaga negara lain, keputusan Jaksa Agung atas deponir perkara
Abraham Samad dan Bambang Widjojanto juga atas beberapa pertimbangan utama.
Pertama, pemberantasan
korupsi pada hakikatnya merupakan kepentingan umum, apalagi korupsi telah
berkembang begitu masif dan telah merampas bukan hanya hak ekonomi, tetapi
juga hak sosial dan politik masyarakat. Karena itu, meneruskan perkara
Abraham Samad dan Bambang Widjojanto yang dikenal sebagai pegiat anti korupsi
pasti akan melemahkan semangat dan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Tidak ada bukti
Kedua, keputusan
deponir diambil berdasarkan berbagai pertimbangan Perhimpunan Advokat
Indonesia (Peradi), Komnas HAM, dan Ombudsman RI. Ketiga lembaga itu
mempersoalkan upaya penegakan hukum dalam kasus Bambang Widjojanto.
Peradi, Komnas HAM,
ataupun Ombudsman menyimpulkan tidak ditemukan fakta dan bukti pelanggaran
etik advokat yang dilakukan Bambang Widjojanto, sebaliknya ada diskriminasi
serta pelanggaran atas fairness and due
process of law (penyalahgunaan kewenangan) dalam pemeriksaan Bambang
Widjojanto.
Ketiga, ada sejumlah
tuntutan rasa keadilan yang tumbuh di masyarakat yang menilai bahwa perkara
itu tidak layak diajukan ke pengadilan. Keduanya merupakan figur pemimpin KPK
yang sedang mengusut kasus dugaan korupsi yang dilakukan salah satu jenderal
polisi. Maka, kasus yang menyeret keduanya dinilai publik sebagai upaya
kriminalisasi atau serangan balik bagi pemberantasan korupsi.
Perlu diingat, dasar
dari pelaksanaan pengesampingan perkara adalah hukum acara pidana yang
menganut asas oportunitas. Artinya, bilamana suatu perkara pidana dilimpahkan
ke persidangan dan diperkirakan akan
menimbulkan guncangan, atau dengan persidangan perkara tersebut akan
menimbulkan akibat negatif di masyarakat.
Dalam kasus Abraham
Samad dan Bambang Widjojanto, diteruskannya proses penuntutan hingga
persidangan akan mendegradasi moral serta semangat pemberantasan korupsi.
Lebih jauh lagi, hal ini akan menjadi catatan hitam upaya pemberantasan
korupsi di Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar