Demokrasi tanpa Toleransi
Musdah Mulia ;
Ketua Umum ICRP (Indonesian
Conference on Religions for Peace)
|
MEDIA INDONESIA,
06 April 2016
KITA bangga Indonesia
dianggap berhasil menjadi sebuah negara demokrasi karena sejak 1999 mampu
melalui tiga pemilu demokratis yang relatif damai. Sayangnya, dalam
perkembangan kemudian terlihat noda-noda intoleransi dalam bangunan demokrasi
kita. Tidak salah jika disimpulkan, negara gagal menegakkan prinsip
toleransi, salah satu komponen mendasar dalam penegakan HAM yang menjadi
pilar utama demokrasi.
Berbagai survei
mengafirmasi keresahan umum di kalangan masyarakat tentang meningkatnya tren
intoleransi sosial. Sejumlah kasus intoleransi dibiarkan berlalu tanpa
penyelesaian hukum yang tegas.
Beberapa di antaranya
peristiwa kekerasan di antara kelompok masyarakat terkait isu agama dan suku
dalam pilkada, isu LGBT, dan sejumlah persoalan terkait hambatan melaksanakan
keyakinan agama yang ramai dibicarakan. Belum lagi kehadiran perda-perda
bernuansa agama di berbagai wilayah yang penyebarannya begitu cepat bak
cendawan di musim hujan. Kita nyaris kehilangan kepercayaan pada pemerintahan
Presiden Jokowi karena setelah dua tahun memerintah belum tampak upaya-upaya
konkret mengikis semua bentuk intoleransi yang sangat menodai wajah demokrasi
kita.
Bukan hanya negara,
masyarakat pun gagal dalam melindungi dan menegakkan semangat toleransi dan
pluralisme sebagai basis demokrasi yang sehat. Modal sosial dan tingkat
dukungan terhadap toleransi, khususnya terkait kebebasan beragama kita,
relatif rendah. Beberapa survei mengungkapkan, masyarakat diliputi pandangan
yang abu-abu terhadap perlindungan kebebasan beragama dan permisif terhadap
penggunaan kekerasan. Pada level personal, masyarakat enggan untuk hidup
bertetangga dengan orang yang berbeda agama. Enggan memberikan kepada
tetangga atau orang yang berbeda agama tersebut untuk menjalankan ibadahnya
secara terbuka (dalam bentuk rumah ibadah).
Padahal kita semua
tahu, dalam konteks Indonesia yang multiagama, prinsip toleransi dan
kebebasan beragama tidak hanya mempunyai landasan pijak dalam konstitusi dan
undang-undang nasional, tapi juga berakar kuat dalam tradisi berbagai agama
dan kepercayaan yang sudah hidup ribuan tahun di Nusantara.
Hal ini menunjukkan
bahwa tingkat toleransi beragama kita masih sangat rendah. Fatalnya,
kecenderungan ini terlihat di kelompok masyarakat dalam semua kategori
pendidikan. Bahkan, dalam hubungannya dengan afiliasi terhadap partai
politik, pendukung partai nasionalis dan partai Islam juga tidak menunjukkan
perbedaan berarti. Artinya, ideologi partai khususnya nasional, gagal
beresonansi dengan pemilihnya. Walau negara tetap merupakan pihak yang paling
bertanggung jawab untuk melindungi prinsip-prinsip negara demokrasi ideal,
termasuk dalam monopoli kekerasan, persepsi masyarakat tentang pluralisme
juga penting.
Penegakan konstitusi
Catatan paling kentara
mengenai intoleransi dan kekerasan keagamaan di Indonesia di era
pemerintahan Presiden Jokowi ialah keengganan pemerintah untuk melakukan
sesuatu demi menegakkan konstitusi (government
inaction). Pemerintah gagal mengambil langkah-langkah memadai untuk
menangkal diskriminasi, restriksi, dan penyerangan atas Ahmadiyah, Syiah, dan
kelompok minoritas lainnya. Selain itu, pemerintah pun tak mampu menahan
inisiatif pemerintahan daerah untuk melarang, bahkan mencegah vandalisme atas
fasilitas-fasilitas kelompok minoritas tersebut (contoh kasus Pesantren Waria
di Yogya dan lainnya).
Pemerintah juga tidak
mengambil langkah konkret mengukuhkan keputusan Mahkamah Agung yang
melegalkan pembukaan ulang GKI Yasmin.
Ada tiga faktor yang
mengharuskan isu intoleransi menjadi perhatian bersama. Pertama, jumlah
kekerasaan dan tindakan diskriminatif, terutama atas nama agama kepada mereka
yang berbeda agama semakin meningkat. Simak laporan berbagai institusi
pemerhati toleransi dan perdamaian, seperti ICRP (Indonesian Conference on Religions for Peace), Setara Institute,
Wahid Institute, dan Maarif Institute. Kedua, mayoritas publik Indonesia
menilai bahwa presiden, politikus, dan polisi kurang maksimal dalam
melindungi konstitusi.
Mayoritas publik tidak
puas dengan kinerja presiden, politikus, dan polisi dalam menjaga kebebasan
warga negara dalam menjalankan keyakinannya. Ketiga, sikap intoleransi publik
cenderung semakin menguat. Sikap intoleransi sangat rawan memicu kekerasan
primordial yang membuat kekerasan massal mudah meledak.
Hukum tampak tumpul
dan ditaklukkan intoleransi, terutama ketika berhadapan dengan aksi-aksi
kekerasan kolektif (berjemaah). Negara seperti dikalahkan kekerasan. Pelaku
kekerasan lebih sering tidak diproses secara hukum, sementara korban justru
dikriminalisasi. Ini terjadi, baik dalam kasus Ahmadiyah, GKI Yasmin, maupun
Syiah.
Indonesia terlalu
penting untuk diserahkan dan dipertaruhkan sepenuhnya kepada pemerintah dan
politisi. Masyarakat perlu segera mengambil sikap. Ketika isu intoleransi
diskriminasi masih diabaikan, mereka dituntut untuk lebih banyak
berkontribusi.
Masyarakat pun harus
lebih aktif mencegah timbulnya sikap intoleransi. Jangan sampai
kelompok-kelompok intoleran yang justru lebih terorganisasi berhasil
menggiring pemikiran masyarakat menjadi intoleran. Selama ini, masyarakat
yang mendukung toleransi lebih mengambil sikap diam, terciptalah kelompok mayoritas
yang diam (silent majority) dan
sikap ini merupakan bencana dalam kehidupan demokrasi.
Silent majority tidak akan akan terwujud jika masyarakat
benar-benar sudah matang dalam berdemokrasi. Kematangan itu, antara lain
terlihat pada sikap percaya diri yang kuat (self confidence) setiap penganut atau kelompok agama berdasarkan
komitmen dan keyakinan kuat pada agama masing-masing. Sebaliknya, ketiadaan
rasa percaya diri melahirkan sikap kerdil, ketakutan dan penuh prejudice.
Namun, harapan yang
lebih besar tertuju pada negara. Negara harus tegas menegakkan hukum ketika
kekerasan terjadi. Pancasila dan konstitusi adalah acuan utama. Para penegak
hukum harus berani bersikap netral dan adil meski bertentangan dengan
kepentingan mayoritas. Kedua sikap ini terbangun hanya jika mereka memahami
secara utuh ajaran agamanya, dan juga memiliki komitmen kuat pada nilai-nilai
kebangsaan dan keindonesiaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar