Desa dan Demokrasi Digital
Budiman Sudjatmiko ;
Anggota DPR Fraksi PDI
Perjuangan; Ketua Dewan Pembina
Perkumpulan Asosiasi Perangkat Desa Seluruh Indonesia (Apdesi)
|
KOMPAS, 20 April
2016
Dunia senantiasa bergerak. Satu-satunya yang tetap hanyalah
perubahan itu sendiri. Demikian juga dengan tatanan demokrasi global saat
ini. Ia mememasuki fase kegamangan yang ditandai oleh dua fenomena global
yang hadir bersamaan di depan mata kita saat ini.
Fenomena yang pertama adalah gejala krisis demokrasi. Gejala ini
terjadi di hampir semua negara, tak
terkecuali negara-negara dengan tradisi demokrasi kuat sekalipun.
Sejumlah indikator demokrasi saat ini menunjukkan tren menurun.
Ia meliputi partisipasi pemilu, jumlah keanggotaan partai politik, jumlah
keanggotaan organisasi sosial tradisional, hingga tingkat kepercayaan publik
pada elite politik.
Saat ini, rata-rata jumlah anggota partai politik di 27 negara di Eropa hanya
tinggal 4,7 persen dari keseluruhan pemilih (Biezen dan Poguntke, 2014). Perlahan-lahan
institusi konvensional demokrasi mulai kehilangan legitimasi publik.
Fenomena kedua adalah merebaknya aksi-aksi politik baru, seperti
protes, pendudukan, peretasan, boikot, dengan bersenjatakan internet dan
media sosial. Publik semakin rajin memanfaatkan teknologi informasi untuk
menerobos kebekuan saluran demokrasi konvensional.
Secara historis, fase kegamangan biasanya menandai awal dari
gelombang baru demokrasi. Ia ditandai dengan gagapnya institusi demokrasi
konvensional, yang dibangun di era demokrasi sebelumnya, dalam mengimbangi
perubahan sosial masyarakat.
Kita sudah melewati tiga gelombang demokrasi (Huntington, 1991).
Semua perubahan tersebut berhubungan erat dengan inovasi teknologi yang
mengubah cara masyarakat dalam mengakses informasi. Mesin informasi masyarakat dalam gelombang demokrasi
pertama (1800-1926) adalah surat kabar. Radio memicu gelombang demokrasi
kedua pada 1826-1960. Televisi selanjutnya memicu terjadinya gelombang
demokrasi ketiga pada 1960-1992.
Saat ini kita memasuki gelombang demokrasi digital. Internet
menjadi mesin informasi yang dominan saat ini. Gelombang baru tersebut akan
memaksa institusi demokrasi konvensional untuk berubah mengikuti zaman. Jika
institusi demokrasi konvensional gagal berevolusi, mereka hanya akan berakhir
menjadi lembaran sejarah.
Informasi,
aspirasi, dan kolaborasi
Periode kegamangan ini dapat dilihat sebagai momen kritis.
Perubahan-perubahan politik terjadi dengan cepat dan sukar terprediksi.
Intitusi dan pelaku politik "dipaksa" untuk belajar dan beradaptasi
dengan cepat untuk mengimbangi perubahan yang sedang berlangsung.
Momen kritis ini juga dapat dilihat sebagai kesempatan. Ia
adalah saat yang tepat untuk melahirkan inovasi-inovasi politik baru, guna
mendorong proses demokrasi menjadi lebih substansial. Namun, hal ini hanya
mungkin terjadi jika kita melihat dengan visi yang tepat.
Saat ini beragam inovasi politik digital bermunculan di
mana-mana. Internet menjadi media bagi pemerintah untuk menjelaskan
aktivitasnya secara transparan. Partai politik mulai terbuka terhadap
aspirasi publik di luar jalur konvensional. Elite politik juga mulai
memanfaatkan media sosial untuk berkomunikasi
secara langsung dengan masyarakat.
Pada era demokrasi digital, internet menjadi medium yang tepat
untuk menghubungkan kembali pemerintah dan rakyat, partai dan publik
pemilihnya, hingga elite politik dan konstituennya. Namun, sejatinya, hal ini
bukanlah yang utama. Fondasi demokrasi digital justru terletak pada
konektivitas antarwarga.
Demokrasi digital seharusnya bukan hanya soal representasi,
partisipasi maupun akses langsung terhadap pembuat kebijakan. Faktor utama
dalam demokrasi digital justru terletak pada persoalan kolaborasi.
Kolaborasi merupakan efek yang muncul dari pertemuan dan perbincangan
antarwarga. Internet dan teknologi informasi menjadi medium yang sangat
efektif untuk menghubungkan warga dalam ruang digital yang nyaris tidak
memiliki batasan spasial.
Penulis memandang kolaborasi adalah inti dari proses demokrasi.
Secara formal, kolaborasi dapat melahirkan organisasi aspirasi, yang memiliki
kekuatan penekan bagi para pengambil kebijakan. Kolaborasi juga dapat
melahirkan bentuk-bentuk informal, seperti komunitas-komunitas masyarakat
berbasis ide, kepentingan, maupun hobi. Komunitas kolektif ini nantinya akan
menghasilkan solusi-solusi praktis terhadap berbagai persoalan warga
sehari-hari.
Sebagian problem politik warga sehari-hari tersebut mungkin
tidak berkaitan langsung dengan persoalan politik nasional. Ia meliputi pembahasan mengenai cara
memulai bisnis baru, panduan mencari sekolah, dan lain sebagainya. Persoalan
ini mungkin terlalu sederhana untuk menjadi isu nasional. Namun, ia juga
terlalu rumit untuk diselesaikan sendiri.
Inilah kekuatan utama demokrasi digital. Ia menyediakan ruang
publik bagi warga negara untuk dapat berkolaborasi untuk membahas berbagai
persoalan dengan level permasalahan yang berbeda-beda dengan melampaui
hambatan spasial.
Demokrasi berbasis kolaborasi akan menghasilkan masyarakat sipil
yang kritis dan tangguh. Masyarakat akan semakin paham akan haknya sebagai
warga negara. Mereka juga menjadi lebih mandiri dan tidak membebankan seluruh
persoalan sehari-harinya ke negara.
Desa sebagai
lokus demokrasi
Jika masa depan demokrasi digital adalah kolaborasi, lalu dari
mana kita harus memulainya? Kita harus
memulainya dari desa.
Desa menyediakan fondasi kultural bagi demokrasi berbasis
kolaborasi. Semangat kegotong- royongan, sebagai ekspresi kolaborasi, masih
relatif tertanam kuat di desa-desa di berbagai penjuru Nusantara. Hal ini
dapat penulis lihat dan rasakan setelah berkunjung ke berbagai wilayah di
Indonesia.
Desa adalah lokus demokrasi, tempat berdiam "DNA"
demokrasi Indonesia masa depan. Untuk itu investasi publik untuk pengembangan
demokrasi harus diarahkan ke desa. Intervensi teknologi langsung ke basis
kultural demokrasi ini akan memperkuat semangat kolaborasi warga yang sudah
ada. Pada akhirnya ia akan mendorong desa menjadi lebih berdaya, baik secara
politik maupun ekonomi.
Undang-Undang Desa adalah titik nol dari revolusi demokrasi di
desa. Dana desa dan badan usaha milik desa (Bumdes) akan memberikan peluang
untuk mengakumulasi kapital dan
menggerakkan roda perekonomiannya.
Pemanfaatan teknologi informasi dalam jaringan perdagangan dan
kolaborasi antardesa akan mendorong ekonomi desa, sehingga dapat tumbuh lebih
besar dan cepat.
Pertumbuhan ekonomi desa berarti kesejahteraan bagi warga desa.
Pertumbuhan dan pemerataan di desa cenderung akan berjalan dengan kecepatan
yang relatif sama. Hal ini terjadi karena jarak fisik dan kultural yang
relatif dekat.
Jika Bumdes adalah mesin pertumbuhan ekonomi, pemerintahan desa
adalah mesin pemerataannya. Semangat kolaborasi masyarakat, yang
dipersenjatai oleh teknologi informasi
dan peraturan perundangan, diharapkan dapat menjaga kesinambungan dan
keseimbangan antarkedua mesin tersebut.
Pada akhirnya ia akan mengantarkan kita menuju "Indonesia
tumbuh bersama". ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar