Kawin Anak di Abad Kedua Kartini
Lies Marcoes ;
Direktur Rumah Kitab
|
KOMPAS, 20 April
2016
Kartini bukan pelaku kawin anak, tetapi ia mengkritik keras
kebiasaan itu. Kepada Nona EH Zeehandelaar, 25 Mei 1899, Kartini menuliskan: " ...Mengenai pernikahan (anak-anak) itu sendiri, aduh, azab
sengsara adalah ungkapan yang terlampau halus untuk menggambarkannya!"
Nyatanya, memasuki abad kedua dari perjuangan Kartini, praktik
itu belum juga sirna. Padahal,
pendidikan yang diperjuangkannya berhasil meningkatkan partisipasi perempuan.
Mengapa modernisasi, capaian pendidikan perempuan, dan industrialisasi gagal
untuk mengendalikan praktik kawin anak?
Minggu ini, lembaga riset dan advokasi, Rumah Kitab, meluncurkan
14 buku hasil penelitian di sembilan
daerah di Indonesia. Studi ini mencari tahu mengapa praktik jahiliah
perkawinan anak ini tetap berlangsung.
Data menunjukkan, satu dari lima perempuan Indonesia kawin di bawah
umur; dua per tiga dari perkawinan anak
itu kandas dan bercerai.
Secara absolut Indonesia masuk
ke dalam sepuluh negara dengan praktik kawin anak tertinggi di dunia.
Penelitian Rumah Kitab itu mencatat, kawin anak kebanyakan
terjadi akibat kehamilan yang tidak dikehendaki, dijodohkan, desakan orangtua
dengan tujuan untuk mengurangi beban, orangtua khawatir dengan pergaulan
anak, anak sudah tidak sekolah atau menganggur, dipaksa kawin akibat
perkosaan, serta dikawinkan atas permintaan pemimpin kelompok keagamaan
orangtuanya serupa kasus "Syekh Puji".
Empat temuan
Ada empat temuan pokok dari penelitian ini.
Pertama, praktik ini terkait dengan perubahan ruang hidup dan
sosio ekologis lingkungan. Terjadinya pergeseran kepemilikan tanah atau alih
fungsi tanah telah mempersempit lapangan pekerjaan di desa. Ketika suatu
daerah mengalami perubahan ruang hidup yang berpengaruh kepada
perubahan-perubahan relasi jender di dalam keluarga, dapat dipastikan di
daerah itu terdapat kecenderungan tingginya kawin anak. Hilangnya tanah serta
sumber ekonomi di desa mendorong orangtua merantau baik tetap atau sirkuler
atau bermigrasi.
Kedua, hilangnya peran orangtua akibat migrasi telah pula
berdampak pada perubahan pembagian kerja dan peran jender di tingkat
keluarga. Banyak perempuan menjadi pencari nafkah utama. Namun, perubahan ini tak diikuti dengan perubah peran lelaki di
ruang domestik.
Meskipun mereka menganggur, secara budaya, lelaki tak disiapkan
menjadi orangtua pengganti. Akibatnya, anak perempuan mengambil alih peran
ibu, dalam banyak kasus mereka terpaksa berhenti sekolah. Ini mendorong
mereka cepat kawin karena tak sanggup
menanggung beban rumah tangga orangtuanya.
Ketiga, perkawinan anak merupakan konsekuensi logis dari semakin
kakunya nilai-nilai moral akibat hilangnya kuasa pemimpin lokal pada
sumber-sumber ekonomi dan aset desa, serta melemahnya kekuasaan tradisional
mereka.
Hilangnya akses mereka pada tanah telah memunculkan
"involusi kebudayaan". Budaya menjadi semakin rumit, tidak toleran,
dan kaku. Perangkat desa dan kaum adat
ikut kehilangan kuasanya atas aset-aset desa yang menjadi sumber pendapatan
mereka. Meski demikian, energi kekuasaan mereka tak dengan sendirinya
berkurang, bahkan sebaliknya, semakin menguat.
Pada waktu yang bersamaan terjadi panik moral yang menganggap
seksualitas sebagai ancaman yang menakutkan. Akibatnya, kontrol mereka untuk
isu-isu moral, terutama isu seksualitas, semakin menguat, menyempit, dan
memaksa.
Secara tersamar, setiap pelanggaran moral pada kenyataannya juga
merupakan peluang untuk memperoleh pendapatan atau menguatkan posisinya
sebagai pamong. Bahkan pada sejumlah situasi, mereka menjadi pihak yang
mengondisikan atau memaksakan terjadinya praktik perkawinan anak.
Keempat, terjadinya kontestasi hukum antara hukum negara dan
hukum agama (fikih). Pada kasus perkawinan anak, yang sering terjadi adalah
hukum keagamaan diletakkan di atas hukum negara. Pandangan keagamaan kerap
menjadi legitimasi kelembagaan yang ada untuk menguatkan tindakan mengawinkan
anak.
Jargon-jargon "yang penting sah dulu" atau "lebih
penting penuhi kewajiban agama dulu" dijadikan alasan pelanggaran hukum
negara. Dalam banyak kasus, perkawinan usia anak-anak terjadi karena yang
mereka cari bukan legalitas hukum, melainkan legalitas moral keagamaan yang
didukung cara pandang patriarkal.
Kelembagaan yang ada, baik itu adat, agama, atau sosial lainnya,
seperti mati angin menghadapi praktik kawin anak yang berlangsung atas nama
perlindungan nama, baik perkauman atau keluarga. Itu terutama dalam kasus
kehamilan yang tidak dikehendaki atau si anak dianggap bergaul terlalu bebas.
Kelembagaan-kelembagaan itu juga seperti membiarkan perlakuan
orangtua yang memaksakan perkawinan anak dengan pertimbangan sepihak bagi
kepentingan orangtua semata.
Reaktif dan
tak menyasar masalah
Sebagai studi dengan pendekatan feminis, penelitian ini juga
mengidentifikasikan berbagai upaya dalam mengatasi problem ini. Beberapa
daerah telah meluncurkan regulasi penundaan usia kawin. Sayangnya upaya itu
bersifat ad hoc, dengan anggaran yang sangat kecil. Upaya lain dilakukan sejumlah
pesantren dengan membuka pintu bagi
anak yang telah kawin.
Namun, secara keseluruhan upaya-upaya itu menunjukkan bahwa
bacaan atas peta persoalan perkawinan anak begitu sederhana, bersifat
reaktif, dan tak menyasar masalah. Praktik perkawinan anak yang ditentang
Kartini dua abad silam seharusnya menjadi agenda penting negara. Kita tak
bisa lagi hanya mengenang perjuangan
Kartini dalam menolak praktik itu.
Kita membutuhkan solusi yang mampu membongkar akar masalahnya:
mengatasi pemiskinan sistemik, mengembalikan dukungan warga dan pamong agar
anak tak mengalami krisis yatim piatu sosial, memperbaharui dan menegakkan
hukum yang sensitif perempuan dan anak, menyajikan fikih alternatif,
mewajibkan kurikulum kesehatan reproduksi berbasis pemahaman relasi jender,
serta membuka akses pendidikan tanpa diskriminasi kepada anak perempuan yang
telah menikah.
Selamat Hari Kartini ! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar