Adu Mulut
Putu Setia ;
Pengarang; Wartawan Senior
TEMPO
|
KORAN TEMPO, 16
April 2016
Banyak ungkapan memakai kata adu. Misalnya,
adu mulut, adu nasib, adu domba. Kalau adu domba sejati, masih ada di Jawa
Barat. Kalau arti kiasannya, manusia yang mau dipertentangkan antarsesama.
Entah kenapa dipakai domba, bukan hewan lain.
Adu mulut bukanlah mulut ketemu mulut. Ini
kiasan murni untuk orang yang berbantahan. Namun berbantahan itu sendiri
bukanlah tergolong aib. Para leluhur kita di masa lalu bisa berbantahan penuh
tata krama, berkata sopan tanpa merendahkan lawannya. Mereka menyebutnya adu
wicara, terjemahan masa kini: berdebat dengan sopan. Sedangkan yang berdebat
dengan kata-kata jorok, memaki, saling hina—dan tak jarang dilanjutkan dengan
perkelahian—disebut adu cangkem atau ungkapan lain cangkem gembur. Nah, yang
terakhir ini, entah sejak kapan, diterjemahkan: adu mulut.
Orang yang suka adu mulut umumnya dianggap
kurang wawasan, tidak berpendidikan, preman pasar (meski di desa itu tak ada
pasar), dan biasa dilakukan di tempat umum, misalnya di rumah judi atau
minimal di jalanan. Kalau adu wirasa, dilakukan di pendopo, balai sidang,
juga di ruang tamu. Itu dulu, ketika Nusantara masih berbudaya luhur.
Sekarang adu mulut pun dilakukan di balai sidang.
Ada kakek sepuh di desa saya yang terperanjat
saat menonton televisi, melihat para wakil rakyat adu mulut sambil
mengepalkan tangan dan merangsek maju ke meja pimpinan. "Astaganaga,
memalukan. Mereka berpendidikan, apa yang salah?" tanya dia. Saya menjawab:
"Yang salah kakek, masih ada tivi yang menyiarkan Mahabharata, kok
menonton tivi berita?" Seolah tak mendengar jawaban saya, si kakek masih
bertanya: "Apa yang terjadi kalau orang mengepal tangan itu tak
dihalangi ke meja pimpinan?" Saya jawab: "Paling gebrak meja, tak
akan ada perkelahian, itu cuma akting, supaya lebih dramatis dan disiarkan
tivi. Sekarang tivi bebas menyiarkan adu mulut yang disertai adegan dramatis
begitu, yang diblur kan hanya wanita berkebaya yang lehernya nampak."
Saya tak tahu bagaimana kalau si kakek
menonton sidang paripurna Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang disiarkan
televisi baru-baru ini. Adu mulut (tentu saja bukan adu wirasa) berlanjut
sampai ada seseorang berteriak, lalu dipanggul dan diamankan temannya. Pasti
si kakek mengumpat. Apalagi kalau ia sampai tahu anggota DPD itu sedang
berebut kuasa jadi pimpinan, dan gaji mereka Rp 71 juta lebih. Bisa-bisa si
kakek menyuruh anaknya tak usah lagi membayar pajak tanah kebun. Yang paling
celaka, kalau si kakek bertanya apa saja tugas dan hasil kerja senator itu,
bagaimana saya bisa menjawab?
Kita sudah banyak berubah. Keluhuran budaya
dan tradisi (termasuk aksara dan sastra lokal) semakin sirna karena kita
konon sudah maju. Tapi Jepang jauh lebih maju, produk industrinya menyerbu
negeri kita, kok budaya dan kearifan lokal mereka masih jelas? Adakah tatanan
masyarakat kita sudah tak harmonis lagi? Para ulama, pendeta, sesepuh sudah
tak lagi didengarkan dan berjarak jauh dengan penguasa negeri? Di era
kerajaan dulu, para ulama dijadikan purohito (ada istilah lain: bhagawanta)
oleh penguasa untuk dimintai nasihat dan pertimbangan. Di masa Orde Baru, ada
istilah "ulama dan umaroh tak bisa dipisahkan". Kini, di dewan
pertimbangan presiden ada juragan kapal.
Bisa jadi adu mulut makin sering dan seru di
antara petinggi negeri. "BPK ngaco," kata Gubernur. "Laporkan,
dong," jawab Ketua BPK. Adu mulut terus bersambung, tak ada yang coba
menegur. Semua merasa benar dan semua merasa bersih, tapi hartanya muncul di
Panama Papers. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar