Subaltern
Goenawan Mohamad ; Esais; Mantan Pemimpin Redaksi Majalah
TEMPO
|
TEMPO.CO, 18
April 2016
Orang-orang miskin terkadang mirip dewa-dewa
yang malang: suara mereka perlu disimak, tapi sering kali dunia mendengarnya
melalui perantara.
Umumnya perantara merasa punya kewajiban
mewakili mereka—dan tak jarang, merasa punya hak untuk itu. Pejabat publik.
Anggota parlemen. Partai politik. Calon gubernur yang serius dan pura-pura
serius. Pengisi yang rajin Twitter dan Facebook. LSM. Aktivis dengan rasa
keadilan yang kuat atau hanya kadang-kadang kuat. Atau para kiai, padri, dan
pendeta. Atau media—juga stasiun televisi yang dimiliki bisnis besar dengan
komentatornya yang mengumumkan, "Saya dulu pernah melarat."
Tapi tiap kali, kita sebenarnya berjumpa
dengan pertanyaan ini: benarkah mereka berhak? Apa artinya
"mewakili"? Seberapa jauh dan dekatkah mereka dengan kaum miskin,
yang selama ini tak berdaya, mereka yang berada di luar hitungan—kaum yang
disebut (mengikuti Gramsci) "subaltern"?
Pada 1994 Gayatri Spivak menulis satu risalah
yang judulnya menggugah dan persoalannya penting untuk dikaji, juga di hari
ini: Can the Subaltern Speak?.
Tulisan itu sulit dibaca. Yang bisa saya
tangkap adalah teguran Spivak: kita perlu melihat lebih jauh yang terkandung
dalam kata "representasi"—kata yang lebih tajam ketimbang
"perwakilan". Dalam kata "perwakilan", seperti dalam kata
"representasi", memang tersirat ada sesuatu yang tak hadir namun
beroleh penggantinya yang seakan-akan menghadirkan dia. Tapi kata "representasi"
tak hanya itu.
Spivak mengemukakan ada dua kata Jerman yang
tercakup dalam kata "representasi": Vertretung dan Darstellung.
Yang pertama berarti "bicara atas nama" si X, sebagaimana partai
politik, atau Negara, atau cendekiawan atau LSM berbicara atas nama si
miskin. Yang kedua berarti penggambaran seperti dalam pentas—sebuah cerminan
kenyataan dan juga sebuah kreasi.
Darstellung bisa mempengaruhi yang Vertretung.
Penderitaan, suka-duka, suara, dan kebisuan si miskin yang dipaparkan di
sebuah panggung lengkap dengan dramaturginya dapat mendorong munculnya
perwakilan politik bagi kaum papa itu. Tapi bagaimanapun narasi dan
dramaturgi itu memerlukan bentuk, dengan format yang pas, dengan tokoh-tokoh
yang mengemuka. Pada akhirnya, kita akan mendapatkan penggambaran
"makro-logis", yang mengabaikan karut-marut, liku-liku, nuansa, dan
apa saja yang samar dan rinci. Pada saat yang sama, dari pementasan itu
biasanya muncul para "pahlawan", para juru bicara atau pembela,
yang lazimnya lebih besar, lebih seru, ketimbang para subaltern sendiri.
Dan tak kurang dari itu, kaum miskin pun
cenderung ditampilkan seperti satu identitas dengan hakikat yang sama dan tak
berubah-ubah—sebuah pendekatan "esensialis". Kaum miskin hanya
muncul sebagai bagian sebuah taksonomi.
Saya kira Spivak tak berniat mengatakan bahwa
kaum subaltern tak boleh diwakili. Pada umumnya kaum papa ini tak punya akses
ke percakapan yang lebih luas dan diabaikan percaturan kekuasaan para elite.
Maka kaum subaltern perlu disiapkan, dididik, buat mengartikulasikan hasrat
dan kepentingan mereka sendiri.
Namun persoalannya kembali: siapa yang akan
mendidik? Pemikir politik Rancière pernah menulis sebuah buku dengan judul Le Maître ignorant, "kepala
sekolah yang tak tahu apa-apa". Rancière menampilkan pengalaman Joseph
Jacotot, seorang guru di abad ke-19 yang menunjukkan bahwa mengajar adalah
konsep yang salah: tak ada guru yang lebih pandai ketimbang murid. Tak
mengherankan bila baginya, gagasan "mendidik" kaum papa, bahkan
"mewakili" mereka, adalah agenda yang hanya melanjutkan ketimpangan
kekuasaan.
Pada 16 Oktober 2012, di Universitas San
Martin di ibu kota Argentina, Rancière mengemukakan teorinya tentang
demokrasi—dan keyakinannya bahwa asas perwakilan yang kini dipraktekkan di
negeri-negeri demokrasi "sepenuhnya berintegrasi dengan mekanisme
oligarki". Yang diperlukan sekarang, katanya, adalah "sebuah
gerakan aksi yang kuat yang merupakan wujud kekuasaan, yang merupakan
kekuasaan setiap orang dan siapa saja".
Ada semangat anarki yang sehat dalam pemikiran
ini—tapi juga ada pertanyaan yang membuat lubang di dalamnya: bagaimana
"aksi yang kuat" itu dapat jadi mekanisme kekuasaan, jika tanpa
organisasi, tanpa
struktur, tanpa pemimpin yang mewakilinya?
Pada akhirnya, kita kembali ke problem klasik
yang tak mudah diselesaikan. Konon Gramsci, tokoh komunis Italia yang
dipenjara kaum Fasis itu, berbicara tentang subaltern lantaran ia lihat
ketimpangan garis yang dipilih Lenin, ketika membentuk organisasi Partai yang
berbicara atas nama proletariat. Proletariat tak serta-merta mewakili yang
miskin. Dan Partai Komunis tak serta-merta mewakili proletariat.
Pada akhirnya pandangan itu terbukti. Tapi
hanya sesekali kaum miskin lepas dari posisi seperti dewa-dewa yang malang,
yang suaranya hanya terdengar dalam gema. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar