Penjajahan Dunia Kolonialisme Maritim
Rene L Pattiradjawane ; Wartawan
Senior Kompas
|
KOMPAS, 16 Maret
2016
Memang tidak bisa
disangkal segala tindakan Tiongkok di kawasan Laut Tiongkok Selatan (LTS),
mencerminkan kebangkitan kolonialisme abad ke-21 apa yang disebut di kolom
ini sebagai ”kolonialisme maritim”. Indikasi kolonialisasi oleh Tiongkok di
LTS sudah lama terjadi mulai dari klaim sembilan (atau 10, belum jelas) garis
putus-putus, pembuatan ”pulau palsu”, rencana membangun ”offshore banking” di
Pulau Woody di Kepulauan Paracel, maupun keputusan terkait dengan kedaulatan
maritim unilateral oleh Tiongkok.
Indikasi terakhir
muncul di sidang Kongres Rakyat Nasional Tiongkok (semacam parlemen), ketika
Ketua Mahkamah Agung RRT Zhou Qiang mengusulkan rancangan legislasi disebut
sebagai Guoji Haishi Sifa Zhongxin (Pusat Peradilan Maritim Internasional).
Usulan di sidang penting terkait masalah yudisial Tiongkok, menjadi indikator
kuat selama ini Tiongkok menerapkan ”kolonialisme maritim” di kawasan klaim
tumpang tindih kedaulatan di LTS.
Sifat kolonialisme
sebenarnya sudah ada dalam sejarah panjang Tiongkok, setidaknya muncul pada
saat dinasti Ming (1368-1644) yang kebanyakan oleh para sejarawan ahli
Tiongkok menyebutnya sebagai ”proto maritime colonialism” (kolonialisme
maritim kuno) dikaitkan dengan pelayaran Laksamana Zheng He (yang tidak
pernah mendarat di Kepulauan Nusantara seperti diduga banyak pihak).
Kolonialisme maritim
di kawasan LTS merupakan upaya rekayasa ulang secara menyeluruh konsep dasar
kolonialisme diterapkan banyak kerajaan Eropa ke-16 menggunakan laut sebagai
medium ekspansi mencari tanah-tanah jajahan baru. Kalau kita mengganti
kata-kata Portugis dalam konteks kolonialisme, atau kata Belanda dengan kedok
VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) sebagai perusahaan dagang, maka
deskripsi kolonialisasi yang dilakukan dinasti Ming atau RRT dalam konteks
pemerintahan modern menjadi relevan.
Bedanya, kalau
kerajaan Eropa melaksanakan kolonialisasi melalui pencarian wilayah-wilayah
baru bagi kepentingan perdagangan dan lingkup pengaruh, Tiongkok memulainya
dengan membangun ”pulau palsu” atas beting dan karang kosong serta melakukan
klaim sepihak di kawasan LTS yang memang tidak berpenduduk dan mampu menopang
kehidupan.
Dalam konteks ini,
kita perlu memahami ”kolonialisme maritim” Tiongkok dalam beberapa faktor.
Pertama, strategi jangka pendek Beijing melaksanakan apa yang disebut sebagai
kedaulatan Tiongkok menjadi pulau-pulau dan karang kosong sebagai
legitimasinya. Dalam strategi ini, Tiongkok perlu melakukan minimalisasi
eksposur ancaman eksternal yang bisa menimbulkan terjadinya konflik regional
dan mulai melaksanakan mekanisme terkait isu-isu maritim seperti organisasi
kelautan atau memperbaiki kebijakan dan hukum maritim di kawasan LTS.
Kedua, faktor strategi
jangka menengah ketika Tiongkok bertahap ”memulihkan” kedaulatan atas pulau
dan karang yang dianggap berada dalam kendali ilegal negara-negara lain.
Untuk mencapai tujuan ini, Tiongkok berusaha keras membangun sebisa mungkin
sumber-sumber maritim (seperti klaim atas wilayah penangkapan ikan) sebagai
negara besar regional.
Dan ketiga, strategi
jangka panjang seperti yang selama ini diantisipasi, Tiongkok akan menguasai
kawasan laut seluas 3 kilometer persegi di kawasan LTS di bawah yurisdiksi
RRT tanpa campur tangan kekuatan negara luar. Faktor strategi ini kita anggap
sebagai upaya pembentukan Pan-Sinica sebagai kolonialisme abad ke-21 yang
ditopang Tiongkok melalui status ekonomi yang kuat, hubungan perdagangannya yang
ekstensif, serta pembangunan kekuatan angkatan laut secara masif.
Walaupun Indonesia
tidak memiliki kepentingan kedaulatan di kawasan LTS, kita sangat khawatir
dengan perilaku kolonialisme Tiongkok yang secara proksi memiliki kekuatan
meluluhlantakkan asas ideal kita tentang ”penjajahan atas dunia”. Dalam
lingkup lebih luas, perlu upaya bersama ASEAN untuk memastikan Pan-Sinica
tidak terbangun di kawasan regional yang memiliki sejarah kelam penjajahan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar