Ingatan Bisa Keliru
James Luhulima ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 20 Maret
2016
Dalam diskusi internal
Penerbit Buku Kompas di Bentara Budaya Jakarta, 10 Maret lalu, antara lain
dibahas tentang ketiadaan naskah asli Surat Perintah 11 Maret 1966, yang
lebih dikenal dengan nama Supersemar.
Diskusi yang
menghadirkan pembicara sejarawan Asvi Warman Adam serta narasumber Daniel
Dhakidae, penulis buku Menerjang Badai
Kekuasaan, dan Aiko Kurasawa, penulis buku Peristiwa 1965: Persepsi dan Sikap Jepang, disebutkan, Arsip
Nasional Republik Indonesia menyimpan tiga naskah yang semula dianggap
sebagai naskah asli (otentik) Supersemar. Namun, ternyata ketiga naskah itu
dinyatakan bukan naskah yang asli.
Arsip Nasional RI
menerima naskah itu dari Sekretariat Negara, dari Pusat Penerangan TNI AD,
dan dari Yayasan Akademi Kebangsaan. Namun, Pusat Laboratorium Forensik Badan
Reserse Kriminal Polri kemudian menyatakan, ketiga naskah itu tidak asli.
Arsip Nasional RI
telah membentuk tim khusus untuk mencari naskah asli itu. Dan, dalam diskusi
yang dipandu oleh wartawan senior Kompas Ninok Leksono, muncul pembahasan
bahwa dalam biografi tokoh-tokoh yang berada di Istana Bogor, Jawa Barat,
pada tanggal 11 Maret 1966 sore, informasinya berbeda-beda.
Baik itu tentang
jumlah lembar naskah Supersemar maupun cara ketiga jenderal Angkatan Darat,
yakni Mayor Jenderal Basuki Rachmat, Brigadir Jenderal (TNI) Amir Machmud,
dan Brigjen (TNI) M Jusuf, kembali ke Jakarta dari Istana Bogor. Ada yang
menyebut, naskah Supersemar hanya satu lembar dan ada pula yang menyebutkan
naskah itu terdiri atas dua lembar.
Dalam buku biografi
ajudan Presiden Soekarno, Letnan Kolonel (KKO) Bambang Widjanarko, dirinya
mengisahkan, ketiga jenderal Angkatan Darat itu menumpang mobilnya. Namun,
dalam buku biografi salah seorang dari ketiga jenderal Angkatan Darat itu,
disebutkan bahwa mereka menaiki mobil sendiri.
Mendengar pembahasan
itu, ingatan segera melayang ke buku Seputar
Proklamasi Kemerdekaan: Kesaksian, Penyiaran, dan Keterlibatan Jepang
yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas, 2015. Buku dengan editor Hendri F
Isnaeni itu menyebutkan bahwa wartawan Kompas P Swantoro mengoreksi uraian
Mohammad Hatta dalam buku Sekitar
Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Dalam buku itu, Mohammad Hatta
menyebutkan bahwa kapal perang Inggris Cumberland yang membawa Laksamana
Patterson berlabuh di Tanjung Priok, Jakarta, pada 16 Agustus 1945. Namun, P
Swantoro dalam surat kabar Kompas, 11 Februari 1970, mengutip surat kabar Berita Indonesia, 18 September 1945,
dan beberapa sumber lain, menyebutkan bahwa kapal perang Inggris Cumberland
yang membawa Laksamana Patterson masuk di Teluk Jakarta pada 15 September
1945.
Dalam tanggapannya,
Mohammad Hatta mengatakan, "Saya
mengucapkan terima kasih banyak atas koreksi itu. Koreksi semacam itu
mendekatkan orang yang menuliskan ingatannya pada kebenaran sejarah."
Ingatan memang bisa keliru, semakin jauh jarak waktu antara peristiwa dan
penulisannya, semakin besar kemungkinan terjadinya kekeliruan.
Itu sebabnya, dalam
tanggapan atas koreksi P Swantoro, Mohammad Hatta masih tetap penasaran. Ia
bertanya, apabila kapal perang Cumberland baru tiba pertengahan September
1945 di Tanjung Priok, apakah tidak ada kapal lain yang sampai di Indonesia
pada 16 Agustus 1945. Bantuan ahli sejarah perlu sekali bagi saya untuk
menjernihkan ingatan saya..
Dokumentasi "Kompas"
Kembali ke soal naskah
asli Supersemar, beruntung harian Kompas telah terbit sejak 28 Juni 1965. Itu
sebabnya, Kompas sempat memuat salinan (copy)
Surat Perintah 11 Maret 1966 secara utuh di halaman 3, Kompas, Senin, 14
Maret 1966. Mengapa baru dimuat tanggal 14 Maret 1966? Itu karena tanggal 11
Maret 1966 hari Jumat.
Oleh karena Supersemar
baru ditandatangani di Istana Bogor malam hari, maka wartawan Kompas baru
menerima salinan Supersemar pada hari Sabtu, 12 Maret 1966. Pada waktu itu,
Kompas belum terbit pada hari Minggu, maka salinan Supersemar baru dapat
dimuat pada Kompas, Senin, 14 Maret 1966.
Dalam berita utama
(headline) halaman 1, Kompas, Senin, 14 Maret 1966, juga diabadikan bahwa
dalam surat pelaksanaan Supersemar yang ditandatangani Letnan Jenderal
Soeharto atas nama Presiden Soekarno, Soeharto menghilangkan klausul tiga
dari Supersemar yang menyebutkan, supaya Soeharto "melaporkan segala
sesuatu jang bersangkut-paut dalam tugas dan tanggung-djawabnya seperti
tersebut di atas".
Dan, sejarah kemudian
mencatat bahwa Soeharto menggunakan Supersemar untuk berbagai hal atas nama
Soekarno, tanpa melaporkan segala sesuatunya kepada Soekarno.
Memang salinan itu
bukanlah naskah yang asli. Namun, melalui salinan itu, orang dapat mengetahui
isi naskah asli Supersemar. Untuk kebenaran sejarah, salinan naskah asli
dapat digunakan untuk mengetahui isi yang sesungguhnya. Namun untuk keperluan
arsip, memang diperlukan naskah asli.
Mempersoalkan keaslian
kadang bisa jadi sulit. Contohnya, mempersoalkan naskah asli Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia. Naskah itu awalnya tulisan tangan Soekarno lengkap
dengan coretannya yang kemudian diketik sesuai naskah tulisan tangan
Soekarno. Pada 17 Agustus 1945 pukul 10.00, Soekarno membacakan naskah yang
diketik. Lalu, orang mempersoalkan mana yang lebih asli, naskah dengan
tulisan tangan atau yang diketik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar