Zaman Edan
Trias Kuncahyono ; Penulis Kolom KREDENSIAL Kompas Minggu
|
KOMPAS, 20 Maret
2016
Sudan, 2013-2014,
dikuasai perang saudara. Suatu hari pada 15 April 2014, terjadi pembantaian
di Bentiu, sebuah kota di bagian utara Sudan Selatan. Majalah The Economist menggambarkan serangan
ke Bentiu itu sebagai ”pembantaian paling sadis” selama perang saudara.
Serangan dan
pembantaian tersebut dilakukan ”Gerakan Pembebasan Rakyat Sudan yang
beroposisi” pimpinan Nuer. Mereka membunuh siapa saja yang dianggap musuh dan
melawannya. Tentara pemberontak melakukan operasi dari pintu ke pintu, dari
masjid ke gereja, dan masuk rumah sakit. Lebih dari 400 orang dibunuh.
Seminggu setelah penyerangan di jalan-jalan masih terlihat jenazah yang tak
terurus.
Ayak, perempuan
muda—berusia 18 tahun—bernasib begitu malang. Ia kehilangan kedua orangtuanya
ketika tentara pemberontak menyerang desanya; sebuah desa kecil dekat Bentiu.
Ayak tidak hanya kehilangan kedua orangtuanya, tetapi juga kehilangan
”dirinya”.
Ketika sedang
melarikan diri mencari selamat, ia ditangkap pemberontak. Dan, diperkosa. Ia
diperkosa berkali-kali. Sampul majalah TIME edisi 21 Maret 2016 memajang
gambar Ayak yang hanya mengenakan celana dalam, tanpa selembar pun baju.
Perutnya buncit karena mengandung sembilan bulan. Foto diambil 8 Desember
2015.
Salah seorang
pemerkosa memberinya HIV. Dokter mengatakan kepadanya bahwa penyakitnya tidak
bisa diobati. Ia juga sadar tak ada lelaki yang mau menikahinya. Tetapi, ia
siap menanggung risiko, akan merawat anaknya, yang akan menjadi satu-satunya
anggota keluarganya. Ini karena di Sudan, penderita HIV akan terlempar masuk
kasta paria.
Menurut laporan
Perserikatan Bangsa-Bangsa, 200.000 perempuan dan anak-anak menjadi korban
pemerkosaan ketika Kongo dilanda perang saudara. Jumlah yang hampir sama
terjadi di Sudan Selatan. Tetapi, jumlah tersebut, menurut Pablo
Castillo-Diaz, spesialis kejahatan seksual dan konflik dari PBB, masih
terlalu sedikit.
Ketika pecah perang
Bosnia (1992-1995), banyak perempuan diperkosa tentara Serbia. Nasib yang
sama banyak diderita para perempuan di Rwanda, ketika negeri itu dilanda
perang (1994). Di Irak dan Suriah, kaum perempuan etnis minoritas Yezidi
dijual dijadikan budak seks. Sebuah klinik milik PBB di Irak Utara merawat
700 perempuan Yezidi korban pemerkosaan tentara NIIS (International New York
Times).
Di Nigeria, Boko Haram
menculik ratusan murid sekolah perempuan. Mereka dipaksa kawin, diperkosa,
dan dijual sebagai budak seks. ”Pemerkosaan adalah senjata yang jauh lebih
dahsyat dibandingkan dengan bom atau peluru. Peluru hanya mematikan. Tetapi,
jika Anda diperkosa, Anda oleh masyarakat akan dilihat sebagai perempuan yang
dikutuk. Setelah diperkosa, tak seorang pun sudi bicara dengan Anda; tak
seorang pun laki-laki memandangmu; hidup layaknya mati saja,” tutur Jeanna
Mukuninwa (28), korban pemerkosaan di Kongo pada tahun 2004.
Orang sering
mengatakan, pemerkosaan dalam perang telah setua perang itu sendiri. Perang,
dengan demikian, memang benar-benar menghancurkan segala-galanya. Ketika
perang, manusia bisa bertabiat seperti binatang. Manusia kehilangan
kesusilaan.
Manusia menjadi tidak
beradab. Ketidakberadaban ini mendorong manusia menghalalkan segalanya,
termasuk menghilangkan nyawa manusia lain dengan mudah tanpa beban; memerkosa
menghilangkan nilai-nilai kemanusiaan. Dan bencana peradaban itu
sungguh-sungguh terjadi.
Apakah ini yang
disebut oleh RNg Ronggowarsito (1802-1873), pujangga besar budaya Jawa,
sebagai Zaman Edan? Pada zaman inilah manusia terjerumus ke dalam kutukan
zaman Kalabendu, yang membuat manusia mengalami kemerosotan susila,
kemmerosotan moral, menjadi tidak beradab.
Tetapi, NIIS dan Boko
Haram—inilah kegilaannya—membenarkan pemerkosaan pada masa perang menurut
interpretasi mereka terhadap doktrin religiusnya. Bukankah dengan demikian,
bagi mereka, definisi tentang manusia yang disodorkan Plato tidak berlaku.
Plato suatu ketika mengatakan, Quid est homo? Homo est animal rationale.
Manusia itu apa? Manusia adalah binatang yang mempunyai rasio, berakal budi.
Akal budi inilah yang membedakan manusia dan binatang.
Mereka yang
membenarkan pemerkosaan (dan juga melakukan pemerkosaan), apa pun alasan dan
dasarnya, bisa digolongkan sebagai melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Mereka tentu tidak bisa dimasukkan ke dalam kelompok ”binatang yang berakal
budi”. Karena, mereka tunanurani.
Apabila demikian,
adalah wajar jika orang mempertanyakan, apakah benar agama menyumbang
peradaban dan memajukan kemanusiaan?
Tentu, pertanyaan itu
ditujukan kepada mereka yang tunanurani. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar