Denuklirisasi dan DeAhokisasi
Muhammad Kunta Biddinika ; Doctoral
Student Takahashi Laboratory Department of Environmental Science and
Technology Tokyo Institute of Technology
|
MEDIA INDONESIA,
17 Maret 2016
HARI-HARI ini, lima
tahun lalu, Jepang dikejutkan dengan gempa 8,5 skala Richter yang diikuti
tsunami yang menyapu pantai timur Jepang bagian utara. Tsunami juga
menyebabkan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) Fukushima mengalami
kecelakaan parah setingkat kecelakaan Chernobyl di Ukraina, bekas Uni Soviet,
April 1986. Pascakecelakaan itu, publik Jepang menolak keras diteruskannya
kebijakan nuklirnya yang sudah berjalan sekitar 50 tahun lamanya. Hampir
setiap hari ada demonstrasi antinuklir.
Bahkan, hingga setahun
pascakecelakaan itu, tiap Jumat sore ada demonstrasi di kantor pusat Tokyo Electric Power Plant (TEPCO),
PLN-nya Tokyo yang memiliki PLTN Fukushima. Kebetulan lokasinya tidak jauh
dari kantor-kantor pemerintahan, termasuk kantor Perdana Menteri sehingga
para pedemo kerap berbaris rapi meneriakkan yel-yel dan membawa spanduk
antinuklir di sekitaran kantor Perdana Menteri melewati kantor-kantor
pemerintahan lainnya hingga ke kantor TEPCO. Melihat publik yang mungkin
belum puas karena belum ditetapkannya kebijakan zero nuclear, politisi
mengambil inisiatif untuk mengangkat isu denuklirisasi ini dalam pemilihan
Gubernur Tokyo, Februari 2014.
Tidak
tanggung-tanggung, dua mantan Perdana Menteri bergabung dalam satu tim.
Perdana Menteri 1993 hingga 1994, Morihiro Hosokawa, dicalonkan menjadi
Gubernur Tokyo dengan dukungan penuh Perdana Menteri 2001 hingga 2006,
Junichiro Koizumi, dalam tim suksesnya. Posisi Gubernur Tokyo dianggap
strategis dari sisi denuklirisasi mengingat Pemerintah Metropolitan Tokyo
ialah salah satu pemegang saham utama di TEPCO. Pesaingnya, Yoichi Masuzoe,
mantan Menteri Kesehatan, menganggap isu energi nuklir bukanlah hal krusial
dalam pemilihan Gubernur Tokyo.
Soalnya, energi nuklir
bukan hanya masalah orang Tokyo saja, melainkan juga menyangkut kepentingan
nasional yang lebih luas. Akhir cerita, Hosokawa tidak terpilih menjadi
Gubernur Tokyo. Dia tidak berhasil membawa isu denuklirisasi untuk membuatnya
terpilih sebagai Gubernur Tokyo. Gaung penolakan masyarakat yang meluas
terhadap kebijakan nuklir Jepang pasca-Fukushima ternyata tidak serta-merta
membuat publik Jepang memilih calon gubernur yang membawa isu denuklirisasi.
Publik Jepang berpikir sederhana saja.
Jika selama kurang
lebih 50 tahun ini Jepang tergantung dengan PLTN, kemudian dihilangkan secara
tiba-tiba oleh kebijakan politisi, bagaimana mereka nanti mendapatkan listrik
yang murah dan tidak pernah biarpet? Meski pasca-Fukushima nuklir menjadi
momok kebanyakan masyarakat Jepang, mereka tetap realistis. Yang penting
listrik tetap murah, tidak pernah mati, dan ekonomi berbasis industrinya
tidak terganggu.
Demikianlah jalan
berpikir masyarakat selalu sama di mana-mana, sederhana saja, tapi bukan
berarti menganggap remeh. Hal yang sama sepertinya akan terjadi di pemilihan
gubernur (pilgub) DKI Jakarta 2017 mendatang. Sepintas, petahana Basuki
Tjahaja Purnama (Ahok) berada di ujung tanduk setelah memutuskan diusung
secara independen di pilgub mendatang. Sebelumnya, Ahok telah dikenal
kontroversial karena sikapnya yang tidak seperti politisi kebanyakan. Bicaranya
ceplas-ceplos tanpa tedeng aling-aling, dan tidak takut untuk ribut dengan
siapa pun jika menyangkut amanah yang diembannya.
Ahok tercatat pernah
bersitegang dengan DPRD DKI yang oknum-oknumnya diduga bermain dalam
pembahasan Raperda. Pernah juga dengan oknum-oknum birokrat dari tingkat
daerah hingga pusat yang dianggapnya menghalangi terlaksananya sumpah jabatan
secara amanah. Tak terkecuali, kalangan partai politik di mana para anggota
DPRD tadi berasal.
Pencalonannya lewat
jalur independen berusaha dihalang-halangi lawan-lawan politiknya. Paling
tidak dengan mendemotivasi kelompok relawan yang bekerja keras mengumpulkan
syarat KPUD untuk pengajuan calon gubernur independen. Mulai dari hal yang
sifatnya teknis seperti pengumpulan berkas dan proses verifikasi oleh KPUD
hingga hal yang sifatnya filosofis dalam tata negara yang menjunjung tinggi
nilai demokrasi. Pencalonan Ahok lewat jalur independen dianggap mengecilkan
arti partai politik (parpol) yang dikhawatirkan akan mengganggu tata kelola pemerintahan
daerah yang semestinya terdiri dari pemda dan DPRD.
Padahal pencalonan
secara independen telah diatur oleh undang-undang sebagai proses politik yang
sah. Muncul kemudian istilah deparpolisasi. Padahal, pintu parpol untuk
mendukung Ahok dalam pilgub mendatang masih terbuka lebar meskipun untuk
mengusungnya sudah tertutup. Mengusung berarti mendaftarkan sebagai bakal
calon gubernur ke KPUD. Lawan-lawan Ahok lupa bahwa masyarakat tidak bodoh.
Sebagaimana di Tokyo, masyarakat Jakarta berpikir sederhana saja.
Apakah selama ini
masyarakat menghubungi wakil rakyat atau parpol-parpol saat terjadi banjir?
Apakah selama ini masyarakat menyampaikan protes pada parpol saat bus
Trans-Jakarta tidak kunjung diganti yang baru? Demikian pula apakah selama
ini masyarakat mengadukan oknum di kelurahan dan kecamatan saat mereka
dimintai pungli?
Jadi, kalau masyarakat
Tokyo saja melawan rasa takutnya pada radiasi nuklir akibat kecelakaan
Fukushima dengan bersikap realistis memilih calon gubernur yang pronuklir, apakah
kira-kira saat ada calon gubernur yang dalam waktu relatif singkat telah
memperlihatkan kinerja nyata dalam mengatasi banjir, transportasi publik, dan
reformasi birokrasi, masyarakat Jakarta membiarkannya tidak terpilih lagi
dengan berbagai alasan? Sepertinya masyarakat Jakarta tidak kalah cerdas
dengan masyarakat Tokyo dalam hal ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar