“Cina Baik-baik” vs “Cina Sok Jago”:
Pancingan Rasisme Sang Jenderal
Made Supriatma ; Peneliti
Masalah-Masalah Politik Militer; Jurnalis Lepas
|
INDOPROGRESS, 17
Maret 2016
HAJATAN pilkada DKI
Jakarta belum lagi dimulai, tetapi kampanye hitam, provokasi, dan fitnah
sudah mulai gencar ditebarkan. Misalnya sebuah berita dari PosMetro[1], yang
dengan cepat tersebar ke mana-mana. Berita yang dimuat PosMetro itu
sebenarnya hanyalah tentang status Facebook seseorang yang bernama Suryo
Prabowo. Atau lengkapnya Letjen TNI (Pur.) Johannes Suryo Prabowo, mantan
wakil kepala staf angkatan darat (Wakasad) dan mantan kepala staf umum
(Kasum) TNI.
Dalam status
Facebooknya, Suryo Prabowo menulis demikian, “Man-teman … Terutama #TemanAhok
… Kalau sayang dgn teman2 atau sahabat dari etnis Tionghoa, tolong diingatkan
agar jangan ada etnis Tionghoa yg “sok jago” ketika berkuasa atau dekat
dengan penguasa. Kesian kan Tionghoa lainnya yg baik2 dan/atau yg miskin,
kalo ada yg mau mbantai atau menjarah, mereka kan gak bisa kabur ke luar
negeri 😖 Tolong jaga Bhinneka Tunggal Ika dan sama-sama membangun
HARMONI DALAM KEBERAGAMAN. 🙏 JSP #SaveNKRI”[2]
Status Surya Praboow
ini sungguh mengganggu saya. Ia mengesankan dirinya bersikap netral, padahal
sejatinya ia sedang melakukan insinuasi. Saya memutuskan untuk meletakkan
status Facebook milik Suryo Prabowo ini ke dalam satu perspektif. Ini
mengingat bahwa penulisnya adalah seseorang yang punya kehidupan publik
sebagai mantan petinggi militer dan seorang politisi. Dia adalah lulusan
Akabri terbaik angkatan 1976.
Dalam status tersebut
ada juga gambar yang lumayan menyeramkan. Ada mayat terbakar. Ada toko yang
dibakar. Di sana kemudian ia memajang tulisan seperti ini.
“Siapa bilang sejarah
kekejaman thd etnis Cina tidak berulang?
Sepanjang penyebabnya
berulang
Sejarah kelam pasti
berulang
Sepanjang ada China
sok jago, pasti …
China yang baik-baik
jadi korban
Thn 1740-1743: 10.000
etnis China dibantai
Thn 1959 ribuan etnis
China exodus ke RRC
Thn 1966 ribuan etnis
China kembali ke RRC
Thn 1998 ribuan etnis
China kabur ke LN”
Status ini bertanggal
15 Maret, 2016.
Keesokan harinya, 16
Maret 2016, Suryo Prabowo kembali ke luar dengan status yang sama. Dia
mengingatkan Ahok dan Teman Ahok, sembari menegaskan dirinya pencinta NKRI
dan sahabat semua suku, termasuk Tionghoa (sekarang dia pakai istilah
ini).[3]
Pada status ini dia
mengakui bahwa peran orang etnis Cina adalah sebagai saudagar. Dia bahkan
mengatakan, jumlah orang pribumi yang menjadi karyawan perusahan-perusahan
milik orang Tionghoa lebih besar daripada jumlah PNS. “Jadi menurutku wajar
bila saya tidak mau kalau warga TIONGHOA yg baik-baik jadi korban kelakuan
orang-orang yg tidak bertanggung-jawab yg memprovokasi terjadi amuk massa.”
Selanjutnya Jenderal ini
mengatakan, “Oleh sebab itu beberapa saat lalu saya mengingatkan (BUKAN
MEMPROVOKASI) kepada … entah itu #TemanAhok #KawanAhok atau siapapun
PENCINTA #Ahok supaya menghentikan kampanye yg berbau SARA, dan
menghentikan kampanye yg dgn arogan MENANTANG sistem POLITIK dgn mengadu
anggota partai vs kelompok independen pendukung #Ahok. Kampanye kalian
seperti itu justru MEMPROVOKASI terjadinya KONFLIK HORISONTAL antar kedua
pihak yg pro dan kontra #Ahok.”
Tidak lupa pula dia
memosisikan Indonesia sebagai negara yang terancam. Inilah yang dia bayangkan
akan terjadi:
“Bila ditahun 2017
nanti Ahok terpilih jadi Gubernur DKI Jakarta. Sangat mungkin pendukungnya
eforia, dan bisa jadi Ahok makin “sok jago”. Bagaimana tidak ? Lha wong baru
jadi gubernur karena dapat “muntahan” dari pak Jokowi yang jadi presiden
saja, dia sudah sok jago seperti sekarang.
Situasi seperti itu
bisa membuat “pribumi” dan kelompok muslim marah. Lalu terjadi akumulasi
kemarahan akibat invasi buruh dari Negara China, dan keberpihakan pemerintah
terhadap “modal” dari Negara China yang akan memicu terjadinya AMUK MASSA
terhadap etnis Tionghoa di Jakarta, dan kota-kota besar lainnya. Sehingga
menimbulkan kerugian dan korban jiwa yg masif tidak hanya dari etnis Tionghoa
saja.
Ujung-ujungnya nanti
yang disalahkan dan dituduh melakukan PELANGGARAN HAM adalah TNI/Polri karena
dinilai melakukan PEMBIARAN.
Kondisi seperti itu
tentu bisa dijadikan alasan bagi ” dunia”, terutama AS cs dan negara China,
untuk melakukan operasi militer di wilayah NKRI dengan judul “Humanitarian
Intervention”.
Telunjuk Suryo Prabowo
dengan sangat telanjang menuding Ahok dan relawan pendukungnya. Tapi
sesungguhnya dia juga tahu persis bahwa empat jari lainnya menunjuk pada
dirinya. Dia mengklaim dirinya sebagai sahabat semua suku, termasuk Tionghoa
(yang dia tulis dengan huruf kapital), namun dia tahu persis bahwa dia sedang
mengaduk perasaan kebencian terhadap etnis Cina.
Suryo Prabowo dengan
jelas membuat pembilahan tentang dua Cina (dia menambahkan huruf ‘h’). Yang
satu adalah, yang menurutnya, ‘Cina baik-baik’ dan miskin yang akan menjadi
korban kerusuhan karena tidak bisa lari ke mana-mana kalau diserang. Yang
lain adalah ‘Cina yang tidak baik’, yaitu Ahok dan relawannya yang arogan dan
sok jago.
Pembilahan ala Suryo
Prabowo ini mau tidak mau mengingatkan saya pada kategori yang sama yang
ditangkap oleh intelektual Afrika keturunan India, Mahmood Mamdani, ketika
menelisik masalah terorisme pasca serangan 11 September 2001. Mamdani melihat
usaha untuk membingkai konflik ini bukan dengan memisahkan antara ‘teroris’
dengan ‘masyarakat sipil’, namun dengan membikin penggolongan antara ‘Good
Muslims’ dan ‘Bad Muslims.’ Jika pemilahan yang diambil adalah antara
‘teroris’ dengan ‘masyarakat sipil’ maka akan jelas tampak bahwa masyarakat
sipil lah yang menjadi korban terorisme, tidak peduli apa agamanya, etnisnya,
warna kulitnya, dan lain sebagainya.
Sedangkan pembilahan
antara ‘good Muslims’ dan ‘bad Muslims’ itu mengharuskan suatu penyelesaian
dengan ‘perang saudara’ antara keduanya. Negara-negara Barat mengharuskan
dirinya untuk membantu pihak ‘good Muslims.’ Tentu saja, pembilahan ‘good and
bad Muslims’ ini didefinisikan menurut kekuasaan tafsir negara-negara Barat
itu sendiri.
Persis inilah yang
dilakukan Suryo Prabowo. Dan saya kira banyak orang yang sepaham dengan dia
baik dalam dinas militer maupun sipil. Pemikiran ini pulalah yang menjadi
arus utama (mainstream) pada jaman Orde Baru. Ideal Suryo Prabowo ini adalah
sama persis seperti idealnya Soeharto. Tidak terlalu mengherankan juga karena
orang seperti Suryo Prabowo ini dididik oleh rezimnya Soeharto.
“Cina yang baik”
adalah Cina yang hanya berdagang, yang punya toko, yang membikin perusahan,
yang menjadi distribusi barang dan jasa. Orang akan menjadi Cina yang baik
sepanjang dia tetap berada pada koridor itu. Dan dia akan menjadi Cina yang
teramat baik kalau dia menjadi ‘kroni.’ Kosa kata ini seperti lenyap ditelan
bumi. Walaupun sebenarnya masih ada dan tetap subur. Kroni artinya adalah
Cina yang berdagang dengan perlindungan kekuasaan dari orang kuat (biasanya
militer dan pribumi) yang menjadi konco-nya.
Sedangkan ‘Cina yang
buruk’ adalah Cina yang masuk ke dalam dunia politik. Sebenarnya tidak saja
politik, tetapi juga dunia yang menyentuh kehidupan publik. Yap Thiam Hien
adalah Cina yang buruk karena menjadi pembela lawan-lawan politik militer
Orde Baru. Demikian pula dengan Arief Budiman atau adiknya Soe Hok Gie.
Sebaliknya, Liem Bian Kie, sekalipun masuk ke dunia politik bisa menjadi Cina
yang baik karena bisa diajak cincai-cincai membangun Golkar. Akhirnya dia pun
menjadi Yusuf Wanandi. Demikian pula dengan Harry Tjan Silalahi (Tjan Tjoen
Hok). Namun toh, diakhir kekuasaan Soeharto, mereka berdua ini menjadi ‘Cina
yang buruk’ lagi karena berani menentang kekuasaan Soeharto yang pernah
dibantunya.
Dalam kerangka inilah
Ahok diletakkan. Ahok tidak saja Cina yang buruk. Dilihat dari kacamata Suryo
Prabowo, dia adalah Cina yang amat buruk karena dia ‘sok jago.’ Ini adalah
kata lain dari ‘mentang-mentang’ karena mendapat kekuasaan.
Cara berpikir seperti
ini sesungguhnya sangat rasialis. Orang Cina tidak boleh memiliki kekuasaan
politik. Karena mereka itu ‘pendatang’ (sekalipun sudah hidup di bumi
Nusantara ini selama sekian puluh atau bahkan ratusan tahun), mereka itu
‘minoritas’ (sekalipun pengaruhnya dalam bidang pemikiran terbentang luas dan
sangat mayoritas), dan mereka itu ‘orang lain.’ Orang Cina harusnya tetap
berdagang saja. Dan, tentu saja, akan lebih baik kalau menjadi kroni.
Namun harus diingat bahwa
pola berpikir seperti ini tidak hanya milik kaum seperti Suryo Prabowo saja.
Banyak juga orang Cina punya pikiran yang sama. Mereka kuatir kalau ada orang
Cina yang berpolitik maka konsekuensinya akan menimpa orang Cina yang lain,
yang tidak tahu apa-apa. Jaya Suprana, misalnya, pernah menulis surat tentang
kekhawatirannya pada Ahok. Menurut Suprana, ucapan dan tingkah Ahok yang
kontroversial akan membahayakan kepentingan orang Cina pada umumnya.
Jangan ditanya
landasan sosiologis atau historis dari cara berpikir seperti ini. Rasisme
tidak memiliki landasan apapun kecuali prasangka dan kebencian. Diatasnya
adalah adalah nafsu untuk berkuasa. Rasisme adalah kehendak berkuasa – atau
menunjukkan kekuasaan – atas dasar prasangka dan kebencian.
Bukankah semua
kerusuhan anti-Cina itu terjadi sebagai pelampiasan kebencian akan status
ekonomi orang Cina? Disinilah sebenarnya inti dari insinuasi rasial Suryo
Prabowo terhadap Ahok dan kaum relawannya TemanAhok itu. ‘Cina yang baik’ itu
harus terus menerus berada dalam ghetto ekonomi karena dengan demikian Cina
mudah dikontrol. Sepanjang orang Cina hanya mengurusi dagangnya, menumpuk
harta dan menjadi kaya raya, maka kerusuhan rasial yang bertindihan dengan
kesenjangan ekonomi itu dengan mudah disulut. Persoalannya adalah siapakah
yang menyulut? Sementara banyak kerusuhan sosial ini pelakunya adalah
gerombolan massa, maka penyulut itu biasanya adalah apa yang disebut oleh
para ahli kerusuhan sosial sebagai ‘riots entrepreneurs.’ Siapakah yang punya
kemampuan itu? Jelas, mereka yang punya kontrol terhadap kekuasaan politik.
Orang yang berpikir
dalam aras ini tidak akan bisa mengerti bahwa jalan terbaik untuk mencegah
terjadinya kerusuhan anti-Cina adalah dengan memberikan hak-hak
kewarganegaraan yang sama kepada orang Cina. Termasuk didalamnya untuk
berpolitik dan mengabdikan hidup untuk kepentingan publik. Ketika orang Cina
diberi hak kewarganegaraan yang sama maka ketika itu juga dia menjadi bagian
dari masyarakat sipil. Dia tidak lagi terisolasi dalam ghetto ekonominya.
Dan lebih sulit lagi
legitimasi untuk menyulut kerusuhan rasial. Bukankah ketika Orde Baru yang
rasis itu jatuh dan orang Cina mendapat kesempatan untuk memangku jabatan
publik (Ahok salah satunya!), hampir tidak ada lagi kerusuhan rasial terhadap
etnis Cina? Itu terjadi karena sudah sangat berkurang proses ‘pencina-cinaan’
orang Cina, sebuah proses yang menjadikan Cina hanya sebagai simbol
keserakahan ekonomi.
Dengan menjadi
politisi, orang Cina mengemban tanggung jawab tidak lagi sebagai orang Cina
yang serakah, tetapi juga sebagai bupati, walikota, gubernur, menteri,
anggota parlemen, dan lain sebagainya. Dia akan diminta pertanggungjawaban
sesuai dengan jabatan publik yang diembannya. Perlakuan yang diterima pun
sama seperti warga negara lainnya. Walikota etnis Cina yang korupsi,
misalnya, akan diperlakukan sebagai walikota yang korup. Dia adalah koruptor.
Titik. Bukan karena dia berasal dari etnis Cina.
Apa yang dilakukan
Suryo Prabowo ini adalah apa yang umum dikenal sebagai ‘race baiting.’ Dia
dengan sadar menuduh pihak lain, dalam hal ini Ahok dan TemanAhok, sebagai
pihak yang memakai isu SARA dalam kampanye. Sementara, Suryo Prabowo sendiri
berusaha tampak netral, seolah-olah bersahabat dengan siapa saja,
mengagungkan Bhineka Tunggal Ika, tidak bias. Namun persis pada saat
bersamaan dia juga mengingatkan khalayak bahwa orang atau golongan yang dia
sasar adalah etnis Cina. Dia melakuan ‘pencinaan’ terhadap Ahok dan
TemanAhok. Suryo Prabowo bahkan maju lebih jauh dengan mengklaim bahwa mereka
ini bukan dari jenis ‘Cina yang baik’
Race baiting adalah rasisme. Pengucapnya adalah rasis. Sesederhana itu. ●
[1]
http://www.posmetro.info/2016/03/ingatkan-ahok-suryo-prabowo-kalau.html
[2]https://www.facebook.com/photo.php?fbid=10207471977815845&set=a.10206870547300458.1073741826.1180308793&type=3&theater
[3]https://www.facebook.com/photo.php?fbid=10207482099748887&set=a.10206870547300458.1073741826.1180308793&type=3&theater
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar