Teladan Bung Kecil
Asep Salahudin ; Dekan Fakultas Syariah IAILM Pesantren
Suryalaya Tasikmalaya; Dosen di FISS Universitas Pasundan Bandung
|
KOMPAS,
12 November 2015
Mempercakapkan kiprah
politik dan pemikiran Sutan Sjahrir-yang sering disebut Bung Kecil-hari ini
tidak hanya penting, tetapi juga sangat relevan justru di tengah situasi
perpolitikan kita yang seolah kehilangan pandu. Politisi memang banyak,
partai menjamur, bahkan kita setiap saat dikepung perbincangan yang berujung pada politik.
Namun, nyaris kita mengalami kesulitan menemukan politisi yang tegak lurus
dengan kebenaran, kokoh mempertahankan prinsip, apatah lagi lengkap diimbangi
dengan kapasitas intelektualismenya.
Di sinilah letak
penting membaca kembali Bung Sjahrir. Kepada siapa mencari teladan kecuali
kepada sosok-sosok manusia pergerakan yang telah jelas ikut menggarami
republik ini bukan hanya dengan raga, bahkan rohnya; tidak saja lewat gerakan
politiknya, tetapi juga senarai pemikirannya, seperti dapat kita telusuri
dalam Indonesische Overpeinzingen dan
Perdjoeangan Kita. Dalam kata
pengantar cetakan ketiga, dikatakan penerbit Belanda, "Sjahrir mengejutkan dunia dengan kedalaman, dinginnya berpikir,
dan kebijakan seorang negarawan." (Daniel Dhakidae, 2009)
Bahkan, Sjahrir harus
meninggal sebagai martir secara mengenaskan di tempat jauh dari negara yang
diperjuangkannya, di Swiss, setelah dipenjarakan Bung Karno dari sebuah
kemelut intrik politik yang dituduhkan kepadanya.
Sosok dengan tubuh kecil, tinggi 145 sentimeter, itu
giat mempromosikan Indonesia Merdeka bersama Hatta dari tanah Belanda lewat
Perhimpunan Indonesia (PI) ketika kebanyakan masyarakat negeri kepulauan
disekap ketakutan. Bersama Hatta, ia tidak pernah henti menyampaikan
gagasannya lewat "Daulat Rakyat", menyerukan agar gerakan
kerakyatan jangan berhenti walaupun PNI dibubarkan dan sang pemimpinnya
dipenjarakan. Bahwa tugas utama para pemimpin adalah mendidik rakyatnya agar
sadar terhadap politik dan lingkungan
sekitarnya, supaya paham akan hak-haknya yang dirampas kaum kolonial. Untuk
meraih kedaulatan, pendidikan politik rakyat adalah suatu keniscayaan.
Sjahrir adalah sosok
yang atas nama panggilan Ibu Pertiwi rela meninggalkan sekolahnya di Belanda,
lalu berjuang dalam hiruk-pikuk memburu fantasi Indonesia merdeka dalam rimba
gelap kebangsaan yang belum jelas juntrungnya.
Sedari awal dia
meletakkan intelektualisme itu tidak pada buku, rentetan gelar, apalagi pada
keterampilan mengutip pendapat orang
secara jumud, seperti yang sering dilakukan
kaum intelektual hari ini, tetapi justru pada kesigapan mendengar suara
nurani, pada keterlibatan dengan napas
massa dan otentisitas berpikir.
Semangat ini dapat
kita simak dari ungkapannya, "Lama-kelamaan
saya tahu bagaimana membebaskan diri dari perbudakan ilmu resmi (de slavernij van de officiële wetenschap). Otoritas ilmiah tidak terlalu berarti bagiku secara batin.
Dengan begitu seolah-olah jiwaku semakin bebas, tak ada nama besar dan tenar,
yang resmi maupun tidak resmi, yang menguasai pikiranku untuk membutakanku
dengan kehebatannya dan membuang atau membantai semua kegiatan orisinalku..
Yang lebih penting bagiku adalah bagaimana tiba pada kebenaran
harmonis." (Perdjoeangan Kita, 29
Desember 1936)
Dialektika
Sjahrir mendirikan
Pendidikan Nasional Indonesia (PNI) yang berhaluan sosial revolusioner. Tahun
1932 ia terpilih jadi pemimpin umum
PNI Baru. Di tangan Sjahrir, hal pertama yang digarap adalah melakukan
konsolidasi para kader supaya mendahulukan jiwa politik dan menumbuhkan sikap
kritis. Kegiatan politik revolusionernya ini yang mengantarkannya harus
mendekam di Cipinang (1934) dan pada 25 Februari 1934 dipindahkan ke Tanah
Merah, Boven Digul, Papua, menyusul kemudian Hatta dan pengurus PNI Baru
lainnya, sebelum akhirnya dipindahkan lagi ke Banda Neira. Ini terjadi pada
Sjahrir yang masih belia, 25 tahun.
Sosok dengan perawakan
kecil, tetapi mental lapang ini nyaris hidupnya selalu berada dalam tarikan
dialektika, dalam sikap yang tidak pernah berhenti mempertanyakan keadaan,
termasuk menyoal segala bentuk kemapanan, sikap takhayul, dan hal ihwal yang
menghinakan akal pikiran. Hidup penuh gelora, seperti terbaca dalam
surat-menyuratnya ketika mendekam di Cipinang dan Boven Digul. Di sana, dia
sering mengutip sepenggal sajak penyair Jerman, Friedrich Schiller,
"Hidup yang tak pernah dipertanyakan, tak layak dipertahankan. Und setzt ihr nicht das leben ein, nie
wird euch das leben gewonnen sein."
Keberanian yang
membuatnya haram melakukan politik kompromistis-diplomatis dengan Jepang, seperti
yang dikembangkan kawannya, Hatta dan Soekarno. Dia tetap teguh dengan
pendiriannya bahwa kemerdekaan itu harus direbut dan jangan sampai
menimbulkan persepsi sebagai hadiah dari penjajah Jepang. Fragmen ini, yang
dengan sangat menarik, direkam oleh penyair Chairil Anwar dalam sebuah
puisinya:
//Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi/tidak bisa
teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi.../Kenang kenanglah
kami/Teruskan, teruskan jiwa kami/Menjaga Bung Karno/menjaga Bung
Hatta/menjaga Bung Syahrir/Kami sekarang mayat/Berikan kami arti /berjagalah
terus di garis batas pernyataan dan impian/Kenang, kenangkanlah kami/yang
tinggal tulang-tulang diliputi debu/beribu kami terbaring antara Karawang
Bekasi//
Nasionalis demokrat
Tentu saja Bung Kecil
adalah seorang nasionalis sejati, seorang yang tidak perlu lagi dipertanyakan
kecintaan kepada Tanah Air-nya. Bahkan ketika yang lain membicarakan tentang
kumpulan pemuda yang diacukan pada latar etnik, Sjahrir sudah sangat maju: dia
menawarkan gagasan "Jong Indonesia" (Pemuda Indonesia), yang
kemudian menjadi cikal bakal bagi lahirnya
Sumpah Pemuda. Sumpah untuk menginjeksikan kesadaran pentingnya
persatuan dalam pengalaman kebangsaan. Dengan sangat menarik, Sjahrir
menafsirkan persatuan itu dalam sebuah argumen yang terang, inklusif, dan
tampak kosmopolit, "Kalian bicara
persatuan? Persatuan itu bukan sekadar konsep untuk menyatukan sebuah
perjuangan, tetapi ia sebuah gagasan baru, sebuah zaman baru. Dan, lebih
besar lagi, persatuan itu adalah
sebuah peradaban baru. Bisa tidak kalian membuat sebuah peradaban baru
bernama Indonesia, sebuah peradaban yang bisa saja seagung peradaban Yunani,
peradaban Romawi, atau peradaban Eropa Barat? Itulah tujuan dari
persatuan."
Bagi Sjahrir, nasionalisme
itu jantungnya adalah kemakmuran rakyat, bukan sekadar gempita pekik
revolusi, apalagi solidaritas-hierarkis-feodalistis yang disebutnya sebagai
fasisme sebagai musuh terbesar seluruh rakyat seperti ia terakan dalam
Perdjoeangan Kita. Di lain kesempatan ia menyatakan bahwa "....usaha-usaha untuk menyatukan
secara paksa, hanya menghasilkan anak banci. Persatuan seperti itu akan
terasa sakit, tersesat dan merusak pergerakan" (1945).
Seorang Sjahrir adalah
seorang yang ketika di tangannya terletak kekuasaan sebagai Ketua KNIP (16
Oktober 1945) dan Perdana Menteri, maka kekuasaan itu tidak dijadikannya alat
untuk bertindak partisan, apalagi mengumpulkan harta benda, tetapi justru
menjadi pintu masuk membumikan gagasan-gagasan yang telah lama diimpikannya.
Maka, dibentuklah partai-partai sebagai alat penyaluran aspirasi rakyat
sekaligus mengubah KNIP sebagai badan legislatif.
Gagasan yang kemudian
"memakan" penggagasnya sendiri. Ketika Partai Sosial Indonesia
(PSI) yang didirikannya kalah telak dalam pemilu paling demokratis, dengan
enteng dia berkata, "Partai itu tidak perlu banyak anggota. Sedikit saja
jumlahnya, asal paham, militan, menguasai keadaan, serta memahami teori-teori
perjuangan" (1955). Sang demokrat itu kemudian melepaskan jabatan PM
walaupun masih banyak kalangan yang masih menginginkannya.
Kepada Sjahrir kita
berkaca, kita reguk mata air keteladanannya yang tak pernah kering, agar
semesta politik kita tidak semakin tersesat. Juga supaya kerumunan politisi
hari ini tidak terus-menerus mengurus dirinya sendiri, hanya sibuk bersolek,
mengoleksi mobil mewah, melemparkan wacana tidak keruan, memburu rente untuk
memperkaya keluarga dan partainya, sementara massa yang semestinya
diperjuangkan dengan raga dan jiwanya dibiarkan semakin jelata. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar