Rojava
Goenawan Mohamad ;
Esais; Mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo
|
TEMPO.CO,
16 November 2015
Di daerah pertempuran itu, anak-anak menonton The Kid Charlie Chaplin. Mereka ketawa
berderai-derai. Orang tua atau kakak-kakak mereka mungkin sedang berjaga-jaga
dengan bedil dikokang di perbatasan, tapi di Rojava, di wilayah utara Suriah
yang didiami orang Kurdi itu, perang memang sedang jeda dan harapan dibangun.
Entah sampai kapan.
Tapi tampak ada yang tumbuh: di wilayah seluas
satu setengah kali Belgia itu orang sedang mencoba sebuah masyarakat yang
egaliter; sebuah perekonomian yang tanpa akumulasi modal; sebuah tata yang
tanpa pusat kekuasaan; sebuah demokrasi di mana lelaki dan perempuan setara
dan bukan hanya orang Kurdi yang mendapat hak. Sebuah demokrasi yang radikal.
Penulis Belanda, Chris Keulemans, yang
berkunjung ke sana, menulis sebuah reportase dalam De Groene. Ia mengirimkan versi bahasa Inggrisnya kepada
saya—sebuah tulisan pendek yang dengan memukau menampilkan suasana interim
antara damai dan tak damai: buruh
bangunan yang mengenakan baju terbaiknya di hari Minggu; komandan yang punya
raut dagu seperti George Clooney; nenek-nenek yang menyandang senapan
Kalashnikov; barak yang dengan ketat dibarikade, tempat perempuan-perempuan
muda pejuang duduk bersama di atas karpet....
Hari-hari itu orang Rojava sedang membangun
gedung parlemen rakyat. Jonas Staal, salah seorang dari tiga seniman Belanda
yang datang dan tinggal di sana untuk membantu mereka, berkata, "Di sini
revolusi masih kerja yang belum selesai." Mungkin akan berlanjut. Ia
berseru dalam bahasa Kurdi, "Berxwedan Jiyane." Perlawanan adalah
kehidupan.
Apa yang dilawan? Di Rojava musuh itu
kapitalisme, konsentrasi kuasa, pemerintah Turki yang menolak kemerdekaan
orang Kurdi, dan lebih dekat lagi: ISIS.
Korban sudah banyak jatuh. Tiga orang baru
saja tewas oleh bom bunuh diri. Tiap orang yang ditemui Keulemans punya sanak
saudara yang terbunuh. Semen, yang sedang dipakai membangun gedung parlemen,
kadang-kadang harus dipindahkan untuk membangun barikade. Sekop yang untuk
mengeruk tanah kadang-kadang diambil orang untuk membuat liang lahad.
Tapi mereka tak menyerah. Orang-orang Kurdi
ini berhasil merebut kembali Kota Kobane dan menolong orang-orang Yezdi dari
pembantaian ISIS. Dan lebih dari itu, di wilayah perang itu, mereka mencoba
mempraktekkan ide-ide Abdullah Öcalan.
Sejak ditangkap pada 1999, sampai hari ini
Öcalan disekap pemerintah Turki di Imrali, pulau penjara yang dijaga pasukan
1.000 orang. Ia berbahaya. Ia mendirikan Partai Pekerja Kurdi yang
Marxis-Leninis, untuk melahirkan negeri tersendiri. Untuk kemerdekaan Kurdi,
ia angkat senjata.
Tapi berangsur-angsur, pandangannya berubah.
Kini ia memilih jalan damai. Ia melepaskan Marxisme-Leninisme dan mengadopsi
ide-ide pemikir politik kelahiran New York, Murray Bookchin.
Bookchin, yang semula juga seorang Marxis,
sejak 1970-an merumuskan gagasannya yang ia sebut "libertarian municipalism": demokrasi rakyat di
lingkungan yang kecil. Rojava mungkin tempat pertama di dunia di mana
cita-cita yang bermula pada Anarkisme itu—menampik modal, mengelakkan
birokrasi besar negara—sedang dijalankan. "Revolusi akan berhasil!"
kata Staal.
Optimismekah yang harus disuarakan? Atau
sinisme? Mungkin bukan kedua-duanya. Mereka yang melihat kembali masa lalu
dengan sedih akan menemukan bagaimana percobaan demokrasi radikal tumbuh,
menggugah, tapi tak lama kemudian kelihatan rapuh.
Tapi mungkin tak sepenuhnya sia-sia.
Pada akhir 1936 George Orwell—ia sudah dikenal
karena bukunya Keep the Aspidistra
Flying—datang dari Inggris ke Spanyol untuk menulis tentang Perang
Saudara yang waktu itu sedang jadi pusat perhatian dunia. Tapi akhirnya ia
bergabung dengan para pejuang kiri yang bertempur di wilayah Catalonia dan
Aragon. "Pada waktu itu dan dalam suasana itu, itulah satu-satunya hal
yang terpikirkan untuk dilakukan," tulisnya.
Homage to Catalonia, yang ditulisnya
sebagai rekaman masa itu, adalah kesaksiannya. Ia gambarkan keberanian para
pejuang yang kacau dalam perang yang tak siap ("Ini bukan perang,"
kata seorang komandannya yang agak putus asa melihat kualitas anak buahnya.
"Ini opera penggeli hati di mana orang kadang-kadang mati").
Tapi Orwell bukan mengejek. Sebab ia juga
menyaksikan sesuatu yang menakjubkan: sebuah masyarakat sama-rata-sama-rasa
yang suatu saat terjadi di Barcelona.
"Itulah buat pertama kalinya saya lihat
sebuah kota di mana kaum buruh memegang kendali," tulis Orwell. Praktis
tiap gedung sudah mereka rebut dan dihiasi bendera merah, gambar palu-arit,
bendera kaum Anarkis, dan slogan-slogan perjuangan. Di kafe-kafe, para
pelayan tak diperlakukan sebagai pelayan. Tak ada sebutan "Senior"
atau "Don". Yang ada "kamerad". Gereja dan para padri
yang semula pegang privilese sudah dihabisi. Tak tampak ada orang kaya. Tak
ada penganggur.
"Semua tampak ganjil dan
mengharukan," tulis Orwell pula. "Banyak yang tak saya pahami,
malah ada cara-cara yang tak saya sukai, tapi segera saya mengenalinya
sebagai satu keadaan yang berharga untuk diperjuangkan."
Ia pun ikut dalam perjuangan itu—tapi tak lama
kemudian kalah. Sekutunya, Partai Komunis, dengan dukungan dari Stalin,
sengaja tak berbagi senjata dengan mereka. Pada suatu hari bahkan ada
pembersihan. Orwell melarikan diri. Tapi kata-kata itu tak pernah
disangkalnya: ia pernah melihat "satu keadaan yang berharga untuk
diperjuangkan".
Dan perjuangan itu tak sepenuhnya bisa ditutup
dengan satu kesimpulan. Seperti film
The Kid yang dimulai dengan sebaris teks: A picture with a smile, and perhaps, a tear. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar