Muhammadiyah di Abad Kedua
Hajriyanto Y Thohari ;
Wakil Ketua MPR 2009-2014
|
KOMPAS,
03 Agustus 2015
Muhammadiyah menggelar muktamar ke-47, 3-7 Agustus 2015,
di Makassar. Muktamar pertama di abad yang kedua usianya ini bertema ”Gerakan
Pencerahan menuju Indonesia Berkemajuan”, sebuah tema yang menggambarkan
wilayah kepeduliannya yang mengatasi batas-batas golongan, suku, etnis, dan
agama.
Sebagai gerakan yang telah berumur 103 tahun, bukan
masanya lagi bagi Muhammadiyah memperkatakan nasionalisme, patriotisme,
inklusivisme, dan pluralisme secara verbal dengan segala jargon kenes seperti
yang dilakukan anak-anak baru gede. Muhammadiyah tak lagi berada pada fase
diskursif, tetapi sudah lama dalam fase praksis. Ketika orang berwacana tentang
toleransi, moderasi, keterbukaan, atau pluralisme, Muhammadiyah mendirikan
Universitas Muhammadiyah Sorong (9.000 mahasiswa), Sekolah Tinggi Ilmu
Keguruan dan Pendidikan Kabupaten Sorong (3.000 mahasiswa), Universitas
Muhammadiyah Kupang (4.000 mahasiswa),di mana sivitas akademikanya 55
persen-80 persenberagama Kristiani.
Ketika orang berpidato dengan gagah tentang pentingnya
nasionalisme dan patriotisme, Muhammadiyah pada 1918 sudah mendirikan
Padvinder Muhammadiyah alias kepanduan Hizbul Wathan (HW), yang namanya saja
artinya adalah Tentara dan Pembela Tanah Air. Kiai Ahmad Dahlan tidak
menamakannya dengan Kepanduan Hizbullah atau Hizbul Islam, tetapi Hizbul
Wathan. Itu artinya jauh sebelum Sumpah Pemuda (1928) dan Proklamasi
Kemerdekaan RI (1945), Muhammadiyah sudah menanamkan nilai-nilai cinta Tanah
Air kepada bangsanya.
Sangat meyakinkan HW secara ideologis sangatlah patriotik
dan nasionalistik. Tak heran jika pada masa lalu, yang tidak terlalu jauh,
banyak perwira dan jenderal Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah alumnus
HW. Fenomena ini adalah sebuah truisme belaka. Pasalnya, Bapak TNI Panglima
Besar Jenderal Sudirman adalah pimpinan HW dan pendiri organisasi Pemuda
Muhammadiyah (1938). Dari sudut pandang ini, mungkin dapat dikatakan bahwa
dalam tubuh TNI mengalir darah Hizbul Wathan Muhammadiyah dan, sebaliknya,
dalam tubuh Muhammadiyah juga mengalir darah patriotisme TNI.
Semangat patriotisme inilah yang menjadikan banyak tokoh
Muhammadiyah dinobatkan sebagai pahlawan nasional. Bahkan, Ahmad Dahlan dan
Nyai Ahmad Dahlan, sebagai suami-istri, secara bersama-sama menjadi pahlawan
nasional. Tidak mengherankan juga jika Muhammadiyah dari dulu banyak
melahirkan dan mewakafkan kader-kader bangsa untuk negara ini. Roh cinta
Tanah Air HW ini pula yang mengilhami Ir H Djuanda, kader Muhammadiyah,
mengeluarkan Deklarasi Djuanda (1957) yang sangat monumental, yang kemudian
diterima dalam Konvensi Hukum Laut PBB (United
Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) yang ditandatangani di
Montego Bay, Jamaika, tahun 1982.
Memberi sebanyaknya
Dalam sepanjang usia seabad ini, Muhammadiyah tak pernah
kehilangan elan vitalnya. Sebagai gerakan, Muhammadiyah terus melaju menuju
cita-citanya untuk mewujudkan cetak birunya berdasarkan pandangan dunianya
untuk—meminjam ajaran Pak Harran, guru SD Muhammadiyah Gentong, Belitung,
kepada sepuluh muridnya dalam film Laskar
Pelangi—”memberi sebanyak-banyaknya”. Laksana sebuah lari maraton,
tongkat estafet kepemimpinan boleh saja berganti dan berpindah dari satu
tangan ke tangan lainnya, tetapi tetap saja Muhammadiyah terus berjalan ke
depan, kadang berlari tak pernah henti, untuk memberi dan mengabdi kepada
umat, bangsa, dan negara.
Dalam rangka itulah, Muhammadiyah terus berkembang dan
kini telah menjelma menjadi gurita raksasa gerakan sosial Islam. Volume
aktivitas pergerakan Muhammadiyah telah menjadi sedemikian besar dan mencakup
wilayah yang sedemikian luas. Muhammadiyah kini telah menjadi, meminjam
kata-kata Tamim Ansary dalam Destiny
Disrupted: A History of the World Through Islamic Eyes (2009), sebuah
narasi besar: cerita atau deskripsi besar dari suatu rangkaian kejadian dan
peristiwa.
Sebagai ahli waris tradisi Muslim, lagi-lagi meminjam
Tamim Ansary, Muhammadiyah memang dipaksa mencari makna sejarahnya dalam kekalahan:
kekalahan negerinya dari Belanda yang memecundangi negeri ini selama—benar
atau salah, mitos atau realitas—350 tahun dan kekalahan dari apa yang disebut
dengan dunia Islam atas dunia Barat, baik secara ekonomi, politik, dan
militer, maupun peradaban sampai hari.
Muhammadiyah mencari makna sejarahnya bukan dalam
kemenangan negerinya, Indonesia, juga bukan dalam kemajuan dari apa yang
disebut dunia Islam itu sendiri. Meski demikian, Muhammadiyah, toh, tetap
menjadi pemain utama di gelanggang sejarah Indonesia dan dunia Islam, betapa
pun sedemikian tak adanya kata terakhir ini dalam kenyataan.
Muhammadiyah kini telah menjelma menjadi sebuah gerakan
raksasa yang berwajah banyak dalam rangka merekonsiliasikan keimanan dan
tindakan nyata melalui banyak aktivitas di bidang pendidikan, kesehatan,
sosial, dan peradaban. Semua itu adalah proyek-proyek sosial untuk
menjembatani kesenjangan antara Islam dalam cita-cita (ideal Islam) yang serba anggun dan Islam sejarah (historical
Islam) yang serba terbelakang. Mengutip kata-kata Dr Alfian dalam disertasi
doktornya, Islamic Modernism in
Indonesian Politics: The Muhammadiyah Movement During the Ductch Colonial
Period 1912-1942 (1969), Muhammadiyah sebagai gerakan sosial bertujuan
memodernisasi umat Islam agar terangkat dari ketertinggalannya sehingga
mencapai kedudukan yang terhormat dan posisi terpenting di negara ini.
Muhammadiyah memiliki cetak biru sebagai narasi besar
untuk memajukan umat dengan tawarannya yang oleh Ahmad Dahlan disebut sebagai
”Islam yang berkemajuan”. Sangat meyakinkan bahwa untuk mewujudkan cetak biru
itu, gerakan ini memerlukan bukan hanyakepemimpinan dan kader-kader yang
berkualifikasi tinggi yang siap terjun di semua arena kehidupan, melainkan
juga strategi kebudayaan.
Strategi kebudayaan penting karena ada kecenderungan
Muhammadiyah mengalami kemiskinan instrumen budaya untuk memperkokoh
kohesivitas gerakan. Tanpa instrumen budaya, Muhammadiyah tak bisa menghadapi
problem dalam memobilisasi gerakan secara sistematis sekaligus sistematisasi
yang dinamis. Sebuah narasi besar harus dihela oleh orang yang
sungguh-sungguh paham dan menghayati gerakan ke arah mana hendak menuju.
”Noblesse oblige”
Kini kader-kader Muhammadiyah harus tampil ke depan dengan
gigih dan ambisi yang besar. Kader Muhammadiyah harus tetap berpikir dalam
wawasan kebangsaan dan terus mengintegrasikan diri dalam arus kebangsaan
secara paripurna.
Jangan melayani wacana yang menghabiskan energi untuk
meratapi kontestasi dan konflik ideologi prolog dan epilog formasi ideologi
nasional tahun 1940-an sampai 1950-an. Kader Muhammadiyah harus bekerja keras
untuk menjamin tegak dan utuhnya republik ini dan memantapkan dasar-dasar
konstitusional Republik Indonesia, yakni Pancasila dan UUD 1945.
Harus disadari bahwa utuhnya Indonesia bukanlah sesuatu
yang taken for granted, melainkan
harus terus diperjuangkan dengan sungguh-sungguh dan terencana secara
sistematis. Betapa benarnya hal itu, terlebih lagi jika kita melihat fakta
tambahan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk, bahkan mungkin
yang paling majemuk di dunia. Pluralisme yang multidimensional,
tersegmentasi, dan terfragmentasi ini telah membentuk mosaik keindonesiaan
yang sangat indah dan memesona, tetapi sekaligus rawan akan skisma manakala
tidak dikelola dengan hati-hati.
Pemahaman bahwa Indonesia ini majemuk atau pluralis perlu
dimajukan lagi. Jika sebelumnya pluralisme hanyalah kesadaran bahwa kita
terdiri atas berbagai suku, agama, ras, dan budaya yang berbeda, kini harus
diberi pemahaman baru, yaitu menjadikan pluralisme sebagai prosedur hidup
bersama secara nyaman.
Dengan menjadikan pluralisme sebagai pandangan hidup
seperti ini, diperlukan strategi kebudayaan yang jitu. Sebagaimana kata
sebuah adagium, noblesse oblige (dalam kedudukan yang tinggi ada tanggung
jawab), demikianlah Muhammadiyah: tidak boleh lari dari tanggung jawab dalam
proyek panjang mewujudkan Indonesia yang berkemajuan.
Dalam konteks dan perspektif ini, Muhammadiyah tidak boleh
menghabiskan energi untuk melayani polemik-polemik sektarian warisan lama
pasca Perang Shiffin (657 M) dengan Tahkim-nya itu. Alih-alih Muhammadiyah
harus tampil ke depan sebagai perekat persaudaraan kebangsaan dan peredam
konflik primordial dan sektarian dengan amal-amal nyata (da’wah bi lisani
’l-hal).
Dalam hal ini pun Muhammadiyah harus tetap mempertahankan
diri sebagai kekuatan nyata dengan karakter lama, ”sedikit bicara banyak
kerja”, yang menjadi semboyan kepanduan HW itu. Semoga! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar