Antara Politik Uang dan Politik Dinasti
Todung Mulya Lubis ;
Dewan Pendiri Perhimpunan
Pendidikan Demokrasi (P2D)
|
KOMPAS,
03 Agustus 2015
Sulit untuk membayangkan berapa banyak uang yang beredar
menjelang dan pada waktu pilkada. Pasca pilkada pun uang masih akan
bertebaran ketika sengketa pilkada singgah di Mahkamah Konstitusi.
Kita memang membatasi sumbangan individual dan badan hukum
kalau kita membaca UU Partai Politik, UU Pemilu, dan UU Pilpres. Dalam UU
Pilkada juga ada batasan sumbangan individual dan badan hukum masing-masing
Rp 50.000.000 dan Rp 500.000.000. Batas sumbangan ini tak diatur secara
terperinci, dan karena itu membuka peluang untuk ditelikung.
Individual diasumsikan adalah orang yang cakap, dewasa,
dan bebas bertindak dalam hukum. Kalau definisi individual adalah seperti
ini, dalam sebuah keluarga bisa jadi ada beberapa penyumbang yang eligible.
Sama juga dengan badan hukum yang bisa jadi berjumlah lebih dari satu, tetapi
berada dalam kelompok konglomerasi atau holding tertentu. Jadi, batasan Rp
50.000.000 dan Rp 500.000.000 sepertinya tak mempunyai makna sama sekali
karena tak dipagari dengan ketat dalam peraturan perundang-undangan.
Persoalannya bukan semata pada regulasi. Persoalannya juga
ada pada lembaga pelaksana pilkada itu sendiri yang memang tak memiliki
kapasitas untuk membatasi sumbangan pilkada meskipun ada ketentuan mengenai
pencatatan dan audit pengeluaran dana kampanye. Akibatnya, pilkada memang
menjadi bisnis politik yang besar di mana sumbangan tak lagi menjadi
persoalan, dan karena itu keberadaan politik uang menjadi sesuatu yang
niscaya.
Kalau ada yang mengeluh bahwa pilkada sarat dengan politik
uang, sarat dengan dagang sapi, semua itu adalah konsekuensi tak terhindarkan
dari lemahnya regulasi dan lembaga penyelenggara pilkada itu sendiri.
Kesimpulan sederhana dari membanjirnya uang dalam pilkada adalah
terpinggirkannya kepentingan rakyat banyak yang bukan menjadi penyumbang
karena suka atau tak suka para calon gubernur, bupati, dan wali kota pada akhirnya
akan lebih memikirkan kepentingan penyumbang uang ketimbang rakyatnya.
Kongkalikong penguasa-pengusaha
Ibarat seseorang yang sedang berutang, orang tersebut
pasti memberikan perhatian lebih kepada yang memberikannya utang. Jadi, utang
budi pilkada di sini melahirkan pula utang budi politik, dan utang budi
politik ini harus dibayar dengan jabatan politik atau proyek bisnis, baik
dalam bentuk proyek pengadaan (procurement)
maupun perkebunan atau pertambangan. Politik kawin dengan bisnis. Penguasa kawin
dengan pengusaha.
Garis pisah antara individual dan badan hukum semakin
hilang ketika bicara tentang sumbangan politik. Mitt Romney, calon presiden
Partai Republik di Amerika, pernah bilang, "Corporations are people, my friend." Semangat ucapan
Romney sama dengan putusan Mahkamah Agung Amerika dalam kasus Citizens United
yang tak membatasi sumbangan perusahaan untuk pemilihan presiden, gubernur,
wali kota, dan anggota parlemen.
Perusahaan sama dengan individual mempunyai hak
konstitusional untuk memberikan sumbangan uang guna memperjuangkan
aspirasinya. Pemberian sumbangan itu dimasukkan dalam kategori freedom of speech. Tak mengherankan,
kita melihat bahwa demokrasi itu dibajak oleh perusahaan-perusahaan yang
memiliki sejumlah agenda yang sering kali bertabrakan dengan kepentingan
rakyat miskin dan marjinal. Kapitalisme memang berinduk juga pada sistem
politik itu sendiri.
Di sini tak ada putusan Mahkamah Agung atau Mahkamah
Konstitusi yang mengatakan perusahaan bebas memberikan sumbangan sebesar apa pun.
DPR juga tak merasa berkepentingan membatasi sumbangan, malah DPR menuntut
agar negara memberikan dana lebih besar kepada partai politik dan anggotanya
antara lain melalui dana aspirasi. Jadi, adalah ilusi kalau berharap uang
sumbangan perusahaan bisa dibatasi karena perusahaan itu sudah masuk ke
sistem politik. Partai politik sendiri pada hakikatnya "perusahaan yang
berbaju partai", di mana ada partai yang dimiliki secara terbuka, tetapi
ada juga partai yang sejak turun-temurun menjadi partai keluarga.
Orang-orang partai ini tidak saja menerima uang dari
perusahaan-perusahaan, tetapi juga berbisnis bersama perusahaan-perusahaan
tersebut. Karena itu, kalau kita melihat retorika orang-orang partai sedikit
sekali kita menemukan kritik terhadap perusahaan-perusahaan, dan kalaupun
ada, kritik itu hanyalah retorika di depan publik, sementara setelah itu
mereka berpelukan dan tidur seranjang. Tepatlah apa yang dikatakan presiden
ke-19 Amerika pada tahun 1887 bahwa Amerika sudah dibajak oleh
perusahaan-perusahaan. Katanya: "This
is a government of the people, by the people, and for the people no longer.
It is a government by the corporations, of the corporations, and for the
corporations". Saya khawatir kita bisa sampai pada keadaan seperti
itu kelak.
Dinasti politik yang kita temukan di sejumlah provinsi dan
kabupaten menunjukkan bahwa suara rakyat semakin tak berharga. Niat untuk
berkuasa selamanya saja sebetulnya sudah bersifat anti demokrasi (undemocratic) karena menghambat hak
orang lain untuk menjalankan pemerintahan. Dinasti politik yang menguasai
pemerintahan jika ditopang oleh perusahaan-perusahaan akan sulit untuk
dikalahkan.
Jadi, persaingan politik semakin dipinggirkan dan pilkada
akhirnya hanya menjadi permainan elektoral yang tak akan membawa perubahan.
Akhirnya istri, anak, ipar, menantu, dan sedulur akan bergiliran menguasai
pemerintahan, yang artinya menguasai semua sumber daya politik, ekonomi,
sosial, dan budaya. Dalam konteks ini, sulit memahami mengapa Mahkamah
Konstitusi menolak untuk menghentikan politik dinasti.
Argumentasi bahwa adalah hak setiap warga negara untuk
berpolitik dalam realitasnya menjadi sejiwa dengan putusan Mahkamah Agung
Amerika yang mengatakan bahwa adalah hak setiap perusahaan untuk menyumbang
berapa saja untuk memperjuangkan kepentingan politiknya. Keluarga berhak
punya voice seperti juga perusahaan berhak punya voice.
Pilkada serentak akan diadakan pada 9 Desember tahun ini.
Pendaftaran bakal calon gubernur, bupati, dan wali kota sudah akan dimulai.
Terus terang kita tak melihat pemerintah dan Komisi Pemilihan Umum akan mampu
membendung politik uang dan politik dinasti. Para calon gubernur, bupati, dan
wali kota yang tak punya uang suka atau tidak suka akan tersingkir. Calon
independen akan semakin terengah-engah. Dengan berat hati kita akan
berhadapan dengan kekuasaan uang meski kita akan dihibur dengan pidato
kampanye yang seolah berpihak kepada rakyat banyak. Mungkin para pendiri
negara ini tak pernah bisa membayangkan bahwa "kedaulatan rakyat"
yang mereka cita-citakan dulu sudah berubah jadi kedaulatan uang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar