Senin, 10 Agustus 2015

Mitos Kemenangan Inkumben

Mitos Kemenangan Inkumben

Wawan Sobari  ;   Dosen Program Studi Ilmu Politik Universitas Brawijaya
                                                 KORAN TEMPO, 06 Agustus 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Tingginya popularitas dan elektabilitas calon inkumben mendorong pragmatisme partai politik dalam pencalonan pilkada serentak 2015. Bahkan muncul dua isu miring membayangi pilkada, yakni calon tunggal dan calon boneka. Sebegitu kuatkah calon inkumben hingga mendorong pesimisme partai politik untuk memunculkan calon alternatif?

Posisi inkumben memang istimewa, karena memegang jabatan, inkumben mempunyai akses absolut terhadap pembuatan kebijakan dan penganggaran daerah, jejaring personalnya luas, serta ada kemungkinan penyalahgunaan wewenang. Inkumben memiliki kesempatan untuk mengarahkan alokasi dan distribusi anggaran sesuai dengan kepentingan pribadinya. Dalam pilkada, posisi itu tentunya jauh lebih menguntungkan daripada non-inkumben.

Secara rinci, inkumben bisa mengangkat popularitasnya melalui distribusi anggaran yang memberi manfaat langsung bagi warga, seperti pemberian dana-dana bantuan. Lalu, karena posisinya, inkumben bisa menjadi patron bagi birokrasi, pengusaha, dan partai politik, termasuk penyelenggara dan pengawas pilkada. Terakhir, karena lebih awal duduk di pemerintahan, inkumben mendapat liputan media massa yang jauh lebih intens.

Namun, keuntungan-keuntungan itu bukanlah jaminan keberhasilan dalam pilkada kedua. Menurut Lingkaran Survei Indonesia (LSI), dalam lima tahun pertama penyelenggaraan pilkada (2005-2010), angka kegagalan inkumben meningkat. Dalam kurun Juni 2005 hingga Desember 2006, 37,83 persen inkumben kandas, baik dalam pilkada kabupaten/kota maupun provinsi. Pada 2010, angka kekalahan meningkat hingga mencapai 44 persen.

Logika kekalahan inkumben ternyata cukup jelas lewat studi yang dilakukan penulis. Dalam rangkaian pilkada pada 2010 di Jawa Timur, tak ada konsistensi logis antara besaran alokasi anggaran untuk sektor-sektor utama (pendidikan, kesehatan ekonomi, bantuan sosial, dan pekerjaan umum) dan hasil pilkada bagi inkumben.

Berikutnya, peningkatan nilai politik uang tak menjamin kemenangan inkumben. Menurut ICW, besaran politik uang nasional dalam pilkada 2010 lebih besar daripada lima tahun sebelumnya. Pun, menurut temuan survei LSI pada 2010, publik mengkonfirmasi bahwa frekuensi politik uang meningkat 11,9 persen ketimbang pilkada 2005 (8,9 persen).

Pun, inkonsistensi kegagalan inkumben terkait dengan penjelasan logika para memilih. Keberhasilan dan kegagalan inkumben tak selalu konsisten dengan logika imbalan dan hukuman. Keberhasilan inkumben mempertahankan jabatannya bukan merupakan imbalan dari kinerjanya yang baik. Sebaliknya, kegagalan inkumben tidak membuktikan bahwa mereka dihukum oleh pemilih.

Survei LSI di empat provinsi dan empat kabupaten/kota (2006) menemukan pola hasil pilkada yang berbeda. Tidak selalu tampak koneksi antara kegagalan/keberhasilan para inkumben dan kinerja mereka selama menjabat. Lantas, mengapa inkumben yang memiliki akses penuh terhadap berbagai sumber daya dan berkesempatan berkampanye selama menjabat mengalami kekalahan?

Rangkaian studi komparatif yang dilakukan penulis dalam kasus pilkada 2008 dan 2010 di Jawa Timur menemukan tiga elemen saling terkait yang menjelaskan logika keberhasilan dan kegagalan inkumben. Pertama, populisme penting bagi inkumben-mencakup pula kebijakan dan aktivitas populer guna mengkonstruksi kesan "disukai" warga.

Kedua, kemampuan mengelola risiko rivalitas. Merangkul aktor-aktor informal dan aktor formal partisan di daerah penting bagi keberhasilan inkumben. Inkumben saling "bertransaksi" dengan para elite itu demi dukungan dalam meminimalkan risiko rivalitas politik yang berpotensi menggerus posisi dan citra populismenya.

Ketiga, kemampuan menyediakan aspek-aspek materiil keluaran kebijakan dan kehadirannya di tengah-tengah warga (tangibility). Kebijakan yang bisa dirasakan secara langsung manfaatnya dan tampak kasatmata akan diingat dan bisa mendorong preferensi para pemilih. Sementara itu, blusukan melengkapi kinerja materiil inkumben yang penting untuk mengkonstruksi citra inkumben yang "perhatian dan dekat" dengan warga.

Di antara ketiga elemen tersebut, faktor-faktor keunggulan kompetitif populisme dan aspek-aspek konkret keluaran kebijakan tak cukup bagi inkumben untuk menang kembali, melainkan dengan kemampuan memainkan politik partikularisme melalui "transaksi" insentif material di antara para elite. Studi komparatif penulis menemukan, praktek politik informal itu membuat inkumben berhasil dalam mengelola oposisi dan dukungan di kalangan elite daerah. Bahkan solidnya dukungan para elite lokal bisa menahan serangan politik uang.

Melihat fakta seretnya pencalonan pilkada di sejumlah daerah, seperti Pacitan, Surabaya, dan Purbalingga, mungkin saja karena bagusnya kinerja inkumben hingga tak ada rival yang berani berkompetisi. Bila faktanya demikian, tentu merupakan kabar gembira bagi perbaikan demokrasi. Sebaliknya, minimnya nominasi kepala daerah diduga sebagai siasat para saingan inkumben untuk menunda pilkada hingga 2017, dan mereka berkesempatan membangun mesin dan dukungan politik selama masa jeda dengan efek "inkumbensi" minimal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar