NU dan Inspirasi dari Cheng Ho
Endang Suryadinata ;
Penggemar Sejarah
|
KORAN
TEMPO, 06 Agustus 2015
Menjelang Muktamar Nahdlatul Ulama
(NU) pengurus besar NU menggelar seminar "Ekspedisi Cheng Ho dan Islam
Nusantara", di Gedung PBNU Kramat Raya, dengan narasumber Profesor Chi
Min Tan dari Universitas Nanking, Selasa, 28 Juli lalu.
Berdasarkan sejarah, Cheng Ho
lahir pada 1370 M dari keluarga miskin etnis Hui di Yunan yang muslim. Namun
kariernya melesat pada era Cheng Tzu, kaisar ketiga Dinasti Ming yang
berkuasa dari tahun 1403 sampai 1424. Karier puncaknya adalah laksamana yang
memimpin ekspedisi sejak 11 Juli 1405 ke sekitar 37 negara, termasuk
Nusantara.
Maka, ada banyak jejak historis
Cheng Ho di berbagai tempat di Nusantara. Di Sumatera dan Jawa, ada banyak
hal yang dikaitkan dengan sosok Cheng Ho. Misalnya klenteng Mbah Ratu di
Surabaya atau Sam Po Kong di Semarang. Jadi, sosoknya sampai diapresiasi oleh
umat beragama selain Islam.
Sewaktu singgah di Surabaya, yang
bersamaan dengan hari Jumat, Cheng Ho sempat berkhotbah di hadapan ratusan
warga dan mengajari mereka cara-cara bertani yang efektif. Bahkan, ketika
menghadap Raja Majapahit Wikramawardana, Cheng Ho menunjukkan jiwa besarnya.
Padahal, kalau mau menuruti nafsu amarah, ia punya alasan yang dibenarkan
menurut hukum Islam. Bayangkan, sekitar 170 anggota ekspedisinya baru saja
dibantai oleh Raja Majapahit tersebut. Raja sendiri semula juga menduga
kehadiran Cheng Ho untuk melampiaskan api dendamnya. Ternyata semua hal buruk
itu tidak terbukti.
Yang menarik lagi, Cheng Ho datang
menghadap raja disertai para pendeta Han San Wei, yaitu tiga agama besar
beraliran Han: Buddha, Konghucu, dan Tao. Padahal Cheng Hoo maupun juru mudi
dan juru masaknya beragama Islam. Dengan demikian, spirit toleransi dan
penghormatan atas perbedaan agama sudah dihayati Cheng Ho sejak dini.
Tidak mengherankan jika kemudian
kehadiran Cheng Ho mampu membentuk sebuah relasi harmonis antara nilai-nilai
Islam, Cina, dan Jawa dalam suatu jalinan harmoni. Elemen dan arsitektur
Masjid Demak yang terkenal, misalnya, sangat dipengaruhi arsitektur Cina
(Sugeng Haryadi, Sejarah Berdirinya Masjid Agung Demak dan Grebek Besar,
2002).
Apa yang dilakukan Cheng Ho kian
membenarkan uraian sejarawan Prancis, Prof Dr Denys Lombard dalam
mahakaryanya Nusa Jawa: Silang Budaya (1996), bahwa ada kontribusi positif
dari peradaban Cina atau Tionghoa yang memperkaya peradaban lokal di
Nusantara.
Dan dalam hal corak penghayatan
Islam yang dibawa Cheng Ho ke Nusantara, ternyata bercorak moderat atau jalan
tengah serta menjauhi penghayatan keagamaan yang ekstrem. Perbedaan, termasuk
perbedaan keyakinan, juga sungguh dihargai, bukan dikutuk. Ini semua sangat
sesuai dengan gagasan Islam Nusantara yang kian mengemuka di kalangan NU
belakangan ini.
Terbukti penghayatan Islam khas
Indonesia yang moderat itu diapresiasi, termasuk oleh Perdana Menteri Inggris
David Cameron. Beberapa negara Eropa pun meminta NU mengirim dai atau guru
agama moderat. Maklum, di tengah godaan menggunakan cara-cara ekstrem,
termasuk kekerasan, Islam sebagaimana diperlihatkan Gus Dur dan para
Nahdliyin, tetap lebih suka Islam yang memberikan rahmat dan damai bagi
semesta. Bukan Islam yang garang dan antikemanusiaan seperti ISIS. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar