Dinamika Politik Elite Muhammadiyah
David Efendi ; Dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
dan Universitas Gadjah Mada
|
JAWA
POS, 05 Agustus 2015
”...silakan ada perbedaan, ada
fragmentasi politik, tapi perlu bersatu dalam isu-isu strategis kebangsaan.” (Din Syamsuddin, 2008)
DALAM perjalanan sejarahnya, Muhammadiyah tidak pernah
benar-benar terpisah dari kehidupan politik. Bahkan pernah, Muhammadiyah
menjadi anggota istimewa pendukung Partai Masyumi (1955). Hal itu wajar
karena Muhammadiyah memberikan kebebasan berpolitik kepada anggotaanggotanya,
termasuk juga para elite pimpinannya.
Sampai Pemilu Presiden 2014 yang sangat kompetitif dan
keras, sesungguhnya dinamika politik yang ada dalam internal Muhammadiyah
menghadapi perpolitikan sebanding dengan dinamika Muhammadiyah mengelola amal
usahanya yang semakin besar dan masif. Lihat saja amal usaha di bidang
pendidikan yang mencapai ribuan sekolah, mulai TK sampai perguruan tinggi,
dan pesantren. Begitu juga amal usaha di bidang kesehatan seperti rumah
sakit.
Dalam pelayanan amal sosial, Muhammadiyah memiliki ratusan panti
asuhan (Profil AUM 2015 diterbitkan MPI PP Muhammadiyah). Hanya, keberadaan
”ihwal politik” sering kali terasa dimarginalkan dalam wacana internal
Muhammadiyah, terutama oleh jamaah Muhammadiyah yang masih ”alergi” dengan
politik, apatis, atau justru karena aspirasi politiknya sudah masuk zona
nyaman (tidak ingin Muhammadiyah berafiliasi pada partai tertentu).
Pilpres, Pileg, dan Pilkada
Tanwir Muhammadiyah Denpasar 2002 memberikan legitimasi
terhadap peran-peran kebangsaan yang dapat dilakukan oleh Muhammadiyah.
Spirit itu menjadi kelanjutan dari agenda reformasi di mana Muhammadiyah
menjadi bagian penting dari peran high politics sampai dengan politik praktis
kepartaian yang punya andil membidani PAN. Kelompok khitois dan elite yang
alergi politik sampai 2002 tidak memperlihatkan karakter oposisi terhadap
gelagat ”syahwat” politik dari kubu fundamentalis politik yang percaya bahwa
dakwah dan politik adalah satu kesatuan (representasi kubu Amien Rais).
Setelah kandas pada 2004, kubu khitois yang ingin memisahkan Muhammadiyah
dari politik praktis mulia menancapkan pengaruhnya melalui beragam wacana
bahwa Muhammadiyah bukanlah gerakan politik dan menjaga jarak dari tarikan
politik.
Dalam pilpres pascareformasi, khususnya 2009 dan 2014,
tampak preferensi politik elite Muhammadiyah pusat mengalami fragmentasi
serius. Apa yang menjadi imbauan elite tidak sertamerta menjadi pilihan
anggota Muhammadiyah. Kecuali tahun 2004 yang memperlihatkan soliditas elite
dalam mengusung Amien Rais walau fakta menunjukkan bahwa tidak semua warga
Muhammadiyah memilih Amien Rais. Banyak survei politik menunjukkan bahwa
warga Muhammadiyah terafiliasi ke dalam parpol yang beragam (Bush, 2012).
Perbedaan pilihan elite pada awalnya lebih disinyalir
karena kedekatan emosional dan bukan by design. Upaya menyebarkan dukungan
untuk menyelamatkan Muhammadiyah agar tetap ”aman”,siapa pun pemenangnya,
sebenarnya tidak pernah mendapatkan pembenaran. Sebab, Muhammadiyah tidak
biasa ”meminta” fasilitas negara, juga tidak mudah merasa terancam oleh
kekuasaan negara (the ruling elite).
Jadi, aliran politik Muhammadiyah itu enteng-entengan saja.
Pemilihan legislatif (pileg) merupakan ajang kompetisi
politik untuk menjadi anggota dewan di pusat, provinsi, dan kabuputen/kota
serta DPD. Sejak 2004, pemilihan dilaksanakan secara terbuka dan langsung.
Situasi itu menjadi tantangan tersendiri bagi kader Muhammadiyah yang punya
nalar dan kompetensi politik untuk terjun di dalamnya. Persoalannya, SK
Muhammadiyah mengharuskan kader pimpinan mundur dari jabatan di persyarikatan
jika maju. Tapi, kenyataannya, beberapa di antaranya dapat izin dari PP,
sementara di beberapa daerah telanjur mundur. Situasi itu menunjukkan bahwa
orientasi politik Muhammadiyah tidak stabil dan bahkan paradoks.
Elite PP Muhammadiyah punya respons yang berbeda dengan
PWM atau PDM mengenai pentingnya keterlibatan Muhammadiyah dalam pilkada.
Urusan keseharian dalam lembaga pendidikan, kesehatan, dan pelayanan sosial
mensyaratkan hubungan baik dengan pemerintah daerah. Hal itu menjadikan
”suara” besar Muhammadiyah sebagai bargaining position terhadap kekuasaan.
Elite Muhammadiyah lokal mempunyai derajat keberanian
sikap politik yang beragam, mulai yang fundamentalis, netral aktif, normatif
pasif, sampai sikap otonomi elite untuk mendukung atau tidak. Tidak sedikit
yang berani mendukung secara kelembagaan.
Di sisi lain, dari fenomena pilkada dan pileg, juga ada
penjelasan penting bahwa elite Muhammadiyah di level daerah menganggap
”kekuasaan/ jabatan politik perlu untuk menjaga nilai-nilai Muhammadiyah dan
juga untuk melangsungkan amal usaha Muhammadiyah”. Hal itu wajar selama Orde
Baru. Muhammadiyah aktif menjadi bagian dari kelompok yang berperan besar
dalam mengembangkan pendidikan dan pelayanan sosial.
Salah satu titik lemah Muhammadiyah di daerah, walaupun
sudah memenangkan kandidat dukungannya di daerah, adalah tidak adanya
blueprint peranperan Muhammadiyah dalam perumusan kebijakan publik serta tata
kelola pemerintahan. Sering kali Muhammadiyah sudah merasa cukup jika calon
yang didukung menang. Peran politik minimalis itu menjadikan Muhammadiyah
gagal menerapkan nilai-nilai kemajuan yang digadang-gadang. Padahal, baik
buruk maupun stabil dan semrawutnya pemerintah nasional/ daerah akan
berdampak pada Muhammadiyah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar