Tarik
Ulur Novel Baswedan
Andy Suryadi ; Dosen FIS Unnes; Pegiat pada Pusat Kajian
Kepolisian FIS Unnes
|
SUARA MERDEKA, 15 Mei 2015
Tampaknya
perseteruan KPK-Polri masih jauh dari kata reda. Bak panggang jauh dari api,
upaya konsolidasi para pimpinan untuk menyinergikan kinerja dua lembaga
penegak hukum tersebut tidak selalu berjalan mulus karena dikangkangi
berbagai kepentingan ataupun karena ulah bawahan yang sulit dikontrol.
Tarik
ulur KPK-Polri kembali mencuat, ketika Novel Baswedan salah satu penyidik
senior di KPK dicokok polisi di rumahnya. Ia ditangkap atas tuduhan
penganiayaan terhadap salah seorang tersangka pencurian sarang burung walet
hingga meninggal dunia pada 2004, saat itu Novel Baswedan menjabat sebagai
Kasatreskrim Polres Bengkulu.
Ini
adalah untuk ketiga kalinya tarik ulur KPK-Polri khusus untuk kasus Novel
Baswedan terjadi. Kejadian pertama terjadi pada 2012 saat Novel mengusut
kasus Simulator SIM dengan tersangka Irjen Pol Djoko Susilo, kemudian awal
2015 saat KPK-Polri bersitegang terkait penetapan Komjen Pol Budi Gunawan
sebagai tersangka dugaan korupsi oleh KPK.
Pola
penanganan kasus para penggawa KPK yang nyaris selalu terjadi jika ada
petinggi Polri yang dijadikan tersangka KPK inilah yang membuat publik sulit
untuk percaya, bahwa hal ini adalah murni penegakan hukum.
Sungguh
pun Bareskrim Polri melalui berbagai media telah menyampaikan bahwa
penangkapan Novel Baswedan murni langkah hukum karena memperhitungkan batas
kedaluwarsa kasus pada 2016, publik tetap apriori. Alasan bahwa hal ini guna
memenuhi rasa keadilan keluarga korban sebagai pelapor, rasanya juga sulit
diterima.
Ini
didasari fakta bahwa dalam wawancara di berbagai televisi nasional, pihak
keluarga korban yang disebut sebagai pelapor justru membantah telah
melaporkan Novel Baswedan, mereka bahkan mengaku sudah memaafkan dan
melupakan.
Jadi
siapa yang sesungguhnya melaporkan, atas inisiatif dan motif apa, menjadi
tanda tanya besar?. Tak ayal kasus ini pun menjadi pro-kontra dan menyisakan
teka-teki di masyarakat sehingga menarik untuk diuraikan. Kasus ini makin
memanas seiring pernyataan Kabareskrim yang menuding bahwa Novel Baswedan
punya empat rumah yang tergolong mewah untuk ukuran pangkat Novel.
Tudingan
ini sontak dibantah Novel Baswedan, ia mengaku hanya punya dua rumah. Para
broker perumahan di Jakarta pun juga membantah jika rumah yang ditempati
Novel Baswedan di Kelapa Gading Jakarta digolongkan rumah mewah. Tak ayal
pernyataan Kabareskrim ini sontak memicu dugaan adanya upaya menyudutkan
Novel melalui opini.
Lebih Malu
Repotnya,
seandainya pun Novel terbukti bersalah sesungguhnya justru Polri-lah yang
mestinya lebih malu dibandingkan KPK. Rasionalisasinya adalah, pertama, kasus
tersebut terjadi saat Novel masih berstatus anggota Polri aktif sehingga
justru menunjukkan lemahnya kinerja dan kontrol Polri terhadap tindakan
melanggar hukum anggota, hingga harus membutuhkan waktu sebelas tahun lamanya
untuk mengungkap kasus yang sebenarnya secara logika tidak terlalu rumit.
Kedua,
jika benar Novel terlibat, justru kontradiktif dengan janji dan komitmen
Polri untuk selalu mengirim penyidik terbaiknya. Hal ini, malah berpotensi
menimbulkan kecurigaan bahwa penyidik Polri yang dikirim ke KPK justru
orang-orang yang punya tabungan masalah yang sewaktu-waktu bisa dijadikan
senjata ampuh jika mengusik lembaga asal. Ketiga, menurut berbagai sumber,
Novel sudah menjalani sidang saat itu dan ia juga sudah dikenai hukuman
berupa sanksi disiplin.
Itu
artinya pengusutan kasus ini justru menjadi penanda tidak konsisten dan tidak
clear-nya proses penanganan di internal Polri. Hal ini berbanding terbalik
dibanding saat mereka membela Komjen Budi Gunawan dengan salah satu dalihnya
adalah kasusnya sudah clear ditangani secara internal di Mabes Polri.
Secara
pribadi sesungguhnya penulis berpandangan bahwa penanganan kasus Novel dan
para penggawa KPK memang akan lebih baik dilakukan mengikuti prosedur hukum
dan kalau bisa secepatnya. Hal ini didasari beberapa pertimbangan, pertama,
posisi para penggawa KPK menjadi lebih jelas secara hukum daripada terus
menerus digantung dan dijadikan senjata cadangan jika sewaktu-waktu
dibutuhkan.
Menggantungnya
kasus para pimpinan KPK Abraham Samad dan Bambang Widjojanto misalnya jelas
sudah mempersempit kans mereka untuk kembali ke KPK periode ini ataupun ikut
seleksi periode mendatang. Kedua, publik akan segera tahu apa yang
sesungguhnya terjadi dan siapa yang salah dan benar berdasarkan hukum,
sehingga langkah untuk menuntut yang ternyata salah akan lebih mudah.
Karena
tidak fair juga selalu berprasangka menyalahkan polisi dan membenarkan KPK
tanpa landasan hukum yang kuat. Ketiga, menjadi langkah positif untuk budaya
taat pada prosedur hukum yang berlaku.
Akan
lebih fair jika penanganan kasus Novel ini ditangani oleh tim independen
sebagaimana layaknya Tim 8 bentukan SBY dalam kasus Bibit-Chandra dahulu.
Jika pun tidak, kepolisian juga harus konsekuen, jika tetap meneruskan kasus
Novel maka mereka juga harus siap menangani kasus penyiksaan dalam
pemeriksaan para tersangka lainnya yang disinyalir bukanlah hal baru terjadi.
Contoh
nyata dalam kasus para tersangka sodomi di JIS, kemudian kasus terpidana mati
Zainal Abidin yang dieksekusi pekan lalu, juga mengaku disiksa saat
diinterogasi. Beberapa pegiat HAM dan antikorupsi di berbagai daerah
tampaknya sudah banyak yang bergerak untuk mendata kasus sejenis.
Jika hal
ini tidak dilakukan maka jangan salahkan jika publik akan beranggapan ada
standar ganda dalam penanganan kasus di kepolisian. Prestasi besar kepolisian
dalam hal lain misalnya, pembongkaran jaringan narkoba dan keberhasilan
menguak berbagai misteri pembunuhan yang rumit, sulit mengangkat kepercayaan
publik karena hal ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar