Sisi
Spiritualitas Sabda Raja
Abu Su’ud ; Guru Besar Emiritus Unnes Semarang
|
SUARA MERDEKA, 15 Mei 2015
Kecenderungan
utama kebijakan Sri Sultan HB X setelah dilantik sebagai Raja Ngayogyakarta
adalah sifatnya yang rasional. Pertama beliau meninggalkan tradisi poligami.
Kedua meninggalkan tradisi ”perkawinan” dengan Nyi Roro Kidul.
Dan
ketiga sikapnya terhadap Mbah Maridjan (Mbah Rosa) yang tidak lagi dianggap
sebagai penguasa spiritual Gunung Merapi. Namun akhir-akhir ini Sri Sultan HB
X mengeluarkan Sabda Raja yang cenderung bersifat spiritualistis, karena
lebih menonjolkan suasana kerohanian dan kebatinan ketimbang aspek rasional.
Semua
kebijakan yang tercakup didalam sabda raja tersebut disebutkan sebagai
berasal dari Tuhan lewat komunikasi dengan para leluhur yang tentunya sudah
hidup dialam baka. Dengan demikian maka sulit sekali melakukan perlawanan
hukum karena terbentur pada dua dunia yang berbeda yaitu dunia spiritual dan
dunia akal.
Lebihlebih
karena Sri Sultan HB X dengan tegas mengatakan untuk bisa memahami isi sabda
tersebut harus memalui proses menggalih yang dimaknakan pendekatan dengan
hati. Nampaknya ada dua bidang kebijakan untuk kelangsungan kehidupan keraton
yaitu bersifat politis dan yang bersifat sosial budaya.
Ketika
mengangkat putrinya yang pembayun atau sulung sebagai GRAMangkubumi jelas
bersifat politis, karena gelar Mangkubumi dalam Paugeran Keraton berarti
Putra Mahkota. Meskipun Sri Sultan selalu mengelak, namun nampaknya dirasakan
oleh para adik Sri Sultan sebagai upaya untuk memberi kekuasaan politik lebih
besar kepada GRA, Pembayun.
Sehingga
wajarlah kalau penolakan terhadap sabda raja tersebut dilakukan oleh para
adik Sri Sultan, lebih-lebih karena dalam tradisi keraton Mataram Islam tidak
pernah dipimpin oleh seorang Ratu meskipun didalam hukum Islam yang diyakini
sebagai dasar hukum sejak Sultan Agung tidak ada larangan terhadap posisi
seorang wanita menjadi penguasa tersebut.
Bidang
yang tidak kalah pentingnya di dalam isi sabda raja tersebut adalah bidang
spiritual dan sosial budaya. Misalnya penghapusan kata khalifatullah didalam
sebutan atau gelar Sri Sultan sebagai Raja Jawa.
Khalifatullah
merupakan fungsi yang melekat pada setiap manusia yaitu menjadi Khalifah Fil
Ardh identik dengan peranan Nabi Adam sebagai Khalifah di bumi. Jadi
sebetulnya alasan penolakan penggunaan kata khalifatullah tidak beralasan.
Sementara perubahan atau penggantian kata Buwono menjadi Bawono, Kaping
sedasa menjadi Kaping sepuluh hanyalah rasa bahasa saja.
Sejak
dikukuhkan sebagai Sultan beliau mendapat nama lengkap sebagai ”Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang
Sinuhun Sultan Hamengku Buwono Kaping Sedasa Khalifatullah Sayidin Panatagama
Ing Mataran Ngayogyakarta Hadiningrat”. Gelar semacam itu merupakan
kelanjutan dari kebijakan Sultan Agung yang juga menyebut diri sebagai
Senopati Ing Ngalogo Sayidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawi.
Makna Gelar
Sejarah
dunia menunjukkan betapa gelar sering dibutuhkan untuk memberi makna khusus
terhadap tokoh tertentu. Seperti disebutkan diatas gelar Khalifah Fil Ardh
merupakan gelar yang melekat sesuai dengan fungsi keberadaan manusia di
dunia. Di dalam sejarah Islam nama-nama penguasa duniawi sering disebut
sebagai khalifah. Sebagai padanan dengan sultan.
Sementara
itu sebutan waliullah juga
merupakan sebutan bagi tokoh spriritual setelah Rasulullah untuk para nabi.
Para pemimpin Syiah di Iran biasa diberi gelar ayatullah maupun hujatullah
yang merupakan sebutan bagi para tokoh spiritual kaum syiah. Jangan pula
dilupakan sebutan Almasih bagi Nabi Isa.
Menurut
Islam Almasih berarti Sang Pengusap Wajah Bagi Umat Yang ingin disembuhkan
penyakitnya. Juga disebut sebagai Pembela Kebenaran Agama Islam ketika Beliau
diturunkan kembali ke dunia di masa depan. Di kalangan Katolik, Almasih berarti
yang diurapi atau dibaptis oleh Yahya (Yohanes) Sang Pembaptis.
Disamping
itu Yesus Kristus juga dianggap sebagai sang Penebus Dosa karena kasihnya
pada manusia. Dalam sejarah dunia Adolf Hitler (Jerman) diberi julukan
sebagai fuhrer yang berarti sang pemimpin, Il Benito yang berarti sang
pemimpin juga diberikan pada Mussolini (Italia).
Sementara
itu kaisar Jepang pada saat bersamaan diberi gelar spiritual pula tenno haika
yang berarti putra dewa langit. Kemal Pasha yang merupakan pendiri Turki Modern
diberi julukan kemal ataturk yang bermakna bapak bangsa Turki. Di Indonesia
modern pernah pula digunakan berbagai gelaran terhadap tokoh-tokoh pahlawan.
Yang paling mencolok adalah gelar bagi Presiden Soekarno.
Beliau
mendapatkan sebutan Paduka Yang Mulia, Pemimpin Revolusi, Penyambung Lidah
Rakyat, Presiden Seumur Hidup, Pangti ABRI, Proklamator Proklamasi
Kemerdekaan, Doktor Insinyur Soekarno. Dari para kyai Indonesia beliau masih
mendapat tambahan gelar waliul amri
dhoruri bi shaukah.
Terhadap
Presiden Soeharto diberikan gelar sebagai bapak pembangunan. Gelar Guru
Bangsa untuk Presiden Gus Dur. Nampaknya sebutan tersebut dimaksudkan untuk
meningkatkan wibawa para tokoh maupun sebagai wujud penghormatan kepada sang
pemimpin. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar