Problem
Perombakan Kabinet
Syamsuddin Haris ; Profesor Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia
|
KOMPAS, 11 Mei 2015
Wacana perombakan
kabinet kini mulai bergulir, padahal pemerintahan hasil Pemilu 2014 baru
berusia tujuh bulan. Seberapa penting perombakan kabinet? Apakah sudah
waktunya dilakukan oleh Presiden Joko Widodo?
Seperti diamanatkan
oleh Pasal 17 Ayat (2) UUD 1945, menteri-menteri negara diangkat dan
diberhentikan oleh presiden. Jadi, presiden memiliki otoritas penuh untuk
mengangkat siapa saja yang dianggap layak dan memiliki kualifikasi di
bidangnya sebagai pembantu presiden. Selain itu, presiden juga mempunyai
kewenangan penuh untuk memberhentikan para menteri yang dianggap tidak layak
dan berkinerja buruk.
Dengan demikian, perombakan
kabinet adalah suatu "rutinitas" yang melekat pada otoritas seorang
presiden dalam skema demokrasi presidensial. Artinya, presiden dapat
mengangkat dan memberhentikan menteri negara kapan saja dan terhadap siapa
saja yang bekerja tidak optimal, tanpa harus dibebani oleh berbagai intrik
politik, baik di lingkar dalam maupun lingkar luar Istana.
Namun, problemnya,
dalam kehidupan politik bangsa kita perombakan kabinet telanjur direspons,
disikapi, dan dipersepsikan sedemikian rupa, seolah-olah memiliki makna
simbolik tertentu, sehingga segenap jagat politik menunggu momen tersebut
dengan harap-harap cemas. Pergunjingan publik biasanya bukan hanya terkait
soal siapa dan menteri apa yang bakal didepak, dan siapa pula yang akan
menggantikan, melainkan juga disertai rumor yang melatarbelakangi pilihan
sang presiden. Intrik politik lebih keras dan bahkan cenderung vulgar acap
kali berkembang di lingkungan partai-partai pengusung presiden dan wakil
presiden.
Tidak mengherankan
jika tensi politik di sekitar perombakan kabinet sering kali tidak kalah riuh
dan gaduh dibandingkan dengan saat menjelang pembentukan kabinet.
Trauma perombakan kabinet
Pertanyaannya, mengapa
perombakan kabinet menjadi isu politik yang begitu sensitif dalam kehidupan
bangsa kita? Pertama, pada era Kabinet Persatuan (1999-2001), Presiden
Abdurrahman Wahid begitu sering memberhentikan para menteri, tetapi tak jelas
alasan pencopotannya. Hal ini menimbulkan kekecewaan parpol pendukung yang
menterinya dicopot oleh almarhum Gus Dur.
Seperti diketahui,
pemberhentian Presiden Gus Dur oleh MPR atas usul DPR hasil Pemilu 1999,
antara lain, dipicu oleh perombakan kabinet yang tidak mengenal
"aturan" ini. Perombakan kabinet ala Gus Dur ini akhirnya menjadi
pengalaman traumatik bagi parpol pendukung pemerintah.
Kedua, kabinet-kabinet
pada era reformasi, sejak pemerintahan Gus Dur, Megawati Soekarnoputri,
hingga Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), pada dasarnya adalah kabinet koalisi
parpol pendukung presiden. Parpol pendukung berkepentingan agar memperoleh
kompensasi politik yang layak dalam bentuk jatah menteri sesuai kontribusi
dan "keringat" mereka dalam mendukung keterpilihan sang presiden
(dan wakilnya). Karena itu, ketika ada momen perombakan kabinet, parpol
pendukung berharap agar jatah menteri mereka bertambah atau minimal tidak
berkurang dari sebelumnya.
Ketiga, berbeda dengan
kepentingan parpol pendukung, publik dan berbagai elemen masyarakat sipil
justru berharap agar presiden mengurangi jumlah menteri yang berasal dari
parpol agar terbentuk kabinet profesional yang hanya loyal terhadap
pemerintah dan negara serta mengabdi untuk bangsa kita. Kepentingan parpol,
yang juga beragam, sering kali bertabrakan dengan kepentingan publik terkait
isu perombakan kabinet. Kegaduhan politik acap kali muncul dari gesekan
berbagai kepentingan yang kemudian turut "digoreng" oleh berbagai
media yang lebih mencari sensasi ketimbang akurasi.
Keempat, meskipun
berbagai pihak yang berbeda kepentingan sangat antusias dalam menyikapi
perombakan kabinet, pengalaman selama ini memperlihatkan bahwa perombakan
kabinet tidak pernah bisa memuaskan semua pihak. Perombakan kabinet pada era
Gus Dur bahkan berujung kejatuhan mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul
Ulama (PBNU) tiga periode tersebut dari jabatan presiden. Mungkin karena
trauma dengan pengalaman Gus Dur, Presiden Megawati (2001-2004) menghindari
perombakan kabinet. Karena itu, peristiwa menonjol pada era Megawati bukanlah
perombakan kabinet, melainkan mundurnya Menko Polkam SBY dari Kabinet Gotong
Royong pada 11 Maret 2014 sebagai akibat konfliknya dengan Megawati menyusul
meningkatnya popularitas SBY sebagai calon presiden menjelang Pemilu 2004.
Atas dasar pengalaman
Gus Dur dan Megawati, Presiden SBY
(2004-2014) sangat hati-hati dalam melakukan perombakan kabinet. Dalam
beberapa kali perombakan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) periode pertama
(2004-2009), para menteri yang diganti tidak sepenuhnya terkait kinerja
mereka, tetapi lebih didasarkan pada pertimbangan keutuhan koalisi parpol
pendukung SBY. Pada periode kedua (2009-2014), SBY bahkan lebih memilih
mengorbankan pembantu terbaiknya, Menkeu Sri Mulyani, ketimbang
"menghukum" Partai Golkar, yang bersama-sama dengan Partai Keadilan
Sejahtera, mempermalukan pemerintah di DPR terkait skandal Bank Century.
Demi hubungan baik
dengan Aburizal Bakrie (Golkar) dan harmoni semu sekretariat gabungan koalisi
parpol pendukung pemerintah, SBY membiarkan menkeu terbaik se-Asia itu
"mundur" dari kabinet dan menerima "tawaran" sebagai
Direktur Eksekutif Bank Dunia. Pada
perombakan kabinet berikutnya, akhir Oktober 2011, Presiden SBY bahkan hanya
menambah formasi wakil menteri (wamen) dari semula enam orang menjadi 19
wamen.
Problem Joko Widodo
Persoalan hampir sama,
bahkan sangat mungkin lebih pelik dan
kompleks, akan dihadapi Presiden Jokowi terkait perombakan kabinet. Problem
itu, pertama, Jokowi adalah presiden pertama pada era reformasi yang tidak
menjabat pimpinan parpol.
Dalam sebutan kurang
tepat yang dilontarkan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati, Jokowi tak lebih
dari "petugas partai" yang tak berkuasa atas parpol yang dipimpin
untuk keempat kalinya oleh putri Bung Karno itu. Sementara Gus Dur (PKB),
Megawati (PDI Perjuangan), dan SBY (Demokrat) adalah ketua-ketua umum serta
ketua dewan pembina parpol mereka masing-masing saat terpilih menjadi
presiden.
Kedua, Jokowi tidak
hanya tidak memiliki hubungan harmonis dengan PDI Perjuangan sebagai basis
politiknya, tetapi juga mempunyai relasi cenderung konfliktual dengan
Megawati dan jajaran partai banteng. Hubungan tidak harmonis ini berimbas
pula dalam relasi dengan parpol-parpol lain yang tergabung dalam Koalisi
Indonesia Hebat (KIH). Itu artinya, dalam soal perombakan kabinet, Jokowi
tidak hanya harus melayani kepentingan PDI Perjuangan dan Megawati, tetapi juga
Partai Nasdem, PKB, dan Partai Hanura. PDI Perjuangan, misalnya, sebagai parpol pengusung
Jokowi-Kalla yang merasa paling "berkeringat", tentu berharap agar
"jatah" menteri bagi mereka bertambah jika perombakan kabinet
dilakukan Presiden Jokowi.
Ketiga, Presiden
Jokowi sendiri sebenarnya tidak begitu puas dengan formasi Kabinet Kerja yang
diumumkannya 26 Oktober 2014. Menurut informasi yang saya peroleh dari sumber
di lingkungan Istana, hanya 50-60 persen dari 34 menteri kabinet tersebut
yang benar-benar dipilih Jokowi. Selebihnya wakil-wakil dari parpol koalisi
pengusung dan "titipan" dari Megawati dan Wapres Jusuf Kalla yang
harus diakomadasi di dalam kabinet.
Keempat, Presiden
Jokowi harus menghitung pula kompensasi politik bagi parpol yang mengalihkan
dukungan politiknya ke Jokowi-Kalla, baik karena pergantian ketua umum parpol
maupun perubahan haluan politik. Persoalannya, ketika PDI Perjuangan dan KIH
tidak total mendukung pemerintahannya, Jokowi justru memperoleh dukungan
politik dari parpol-parpol yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP),
baik secara sendiri-sendiri maupun secara kelompok. Mengingat tidak ada makan
siang gratis dalam politik, wajar saja jika ada parpol yang berharap agar
Presiden Jokowi membuka peluang unsur KMP untuk bergabung ke dalam
kabinetnya.
Penumpang gelap
Di luar semua faktor
di atas, tantangan terberat Jokowi adalah melunakkan hati Sang Ibu, Ketua
Umum PDI Perjuangan Megawati. Dalam pidato di Kongres Bali, Megawati
menyinyalir adanya "penumpang gelap" dalam pemerintahan Jokowi,
suatu sinyal politik yang memperlihatkan kekecewaan Mega atas orang-orang
pilihan Jokowi di lingkar dalam Istana. Jika sinyalemen Mega itu benar, tentu
tidak mudah bagi mantan Wali Kota Solo dan Gubernur DKI Jakarta itu mengocok
ulang kabinet yang bisa memuaskan semua pihak.
Oleh karena itu,
perombakan kabinet belum tentu bisa menjadi solusi bagi efektivitas dan
produktivitas pemerintahan Jokowi-Kalla. Perombakan kabinet tidak mustahil
akan menjadi sumber konflik dan kegaduhan politik baru yang tidak produktif
bagi bangsa kita. Dalam kaitan itu, pilihan terbaik bagi Presiden Jokowi saat
ini adalah mendorong para pembantunya agar lebih fokus, mengurangi pencitraan
dan kontroversi, serta mempercepat penyerapan anggaran dan belanja pemerintah
agar perekonomian yang kini lesu darah bisa segera bergairah, bangkit, dan
pulih kembali.
Para menteri yang
tidak fokus dan berkinerja buruk tentu harus diganti. Namun, momentum
perombakan itu sebaiknya dilakukan setelah kabinet setahun bekerja pada Oktober
2015. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar