Polemik
Hukuman Mati
James Kallman ; Pendiri Yayasan Hak Asasi Manusia
Internasional Untuk Pelaporan
|
KORAN TEMPO, 15 Mei 2015
Saya hanya ingin mencoba memahami dikotomi pemikiran dalam semua ajaran
agama besar di dunia terkait dengan hukuman mati yang pada akhirnya akan
berlabuh pada keyakinan akan kesucian hidup. Islam, misalnya, mengakui bahwa
setiap orang memiliki hak untuk hidup, tapi terdapat pengecualian seperti
yang dinyatakan dalam Al-Quran, bahwa diperbolehkan pemberlakuan hukuman mati
jika hal tersebut menjadi keputusan pengadilan:……dan janganlah kamu membunuh
jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab)
yang benar. Demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu
memahami(nya). (Al-An'am: 151)
Hukum Islam mengatur bahwa hukuman mati dianggap tepat atas dua jenis
kejahatan, yaitu pembunuhan berencana dan fasad fil-ardh (menyebarkan
kerusakan di muka bumi). "Menyebarkan kerusakan di muka bumi"
sangat bersifat interpretatif, namun umumnya berkenaan dengan beberapa
kejahatan, seperti pengkhianatan (murtad), terorisme, pembajakan,
pemerkosaan, perzinahan, dan aktivitas homoseksual ataupun jenis kejahatan
lain sesuai dengan hukum yang berlaku.
Dalam kasus pembunuhan, misalnya, adalah keluarga korban yang
memutuskan apakah eksekusi hukuman mati harus dilakukan atau dapat
dikompensasi dengan harta (hukum diat). Hal ini sangat logis jika dikaitkan
dengan kondisi di mana tersangkanya adalah ayah dari suatu keluarga. Selain
itu, kontekstualisasi hukum diat juga sesuai dengan salah satu ayat di dalam
Al-Quran yang menjelaskan tentang pemberian maaf, yaitu
Bismillahirrahmanirrahim ... yang berarti, Dengan menyebut nama Allah yang
Mahapengasih lagi Mahapenyayang. (Al-Fatihah: 1).
Lain halnya dengan gereja Katolik Roma yang secara tradisional
mengikuti pemikiran Thomas Aquinas mengenai hukuman mati sebagai
"pembunuhan yang halal", dan bahkan Katekhismus terbaru yang
diundangkan pada masa kepemimpinan Paus Yohanes Paulus II membenarkan hal
tersebut ketika "... .ini adalah satu-satunya cara praktis untuk
mempertahankan kehidupan manusia secara efektif melawan agresor".
Menariknya, pada 2004, setahun sebelum Paus Benediktus XVI terpilih, Kardinal Ratzinger berpendapat,
"Mungkin ada keragaman pendapat yang sah bahkan di antara umat Katolik
tentang berperang dan penerapan hukuman mati, namun tidak untuk masalah
aborsi dan eutanasia."
Para pemimpin awal Kristen Protestan, seperti Martin Luther dan John
Calvin, juga mengikuti penalaran tradisional untuk mempertahankan hukuman
mati. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, telah terjadi perubahan. Dalam
The Lambeth Conference of Anglican and Episcopalian Bishops atau Konferensi
Lambeth untuk Uskup Anglikan dan Episkopal pada 1988, telah dikutuk hukuman
mati dan mendorong semua pemerintah yang masih menerapkan hukuman mati
menghapuskannya, ".....untuk
mencari cara alternatif dalam menghukum pelaku kejahatan agar martabat setiap
manusia dihormati dan keadilan pun dapat ditegakkan." Namun, di
seberang Atlantik, Southern Baptist Convention pada 2000 menyetujui
pemberlakuan hukuman mati oleh negara, dan menyatakan bahwa, "....merupakan tugas negara untuk
melaksanakan eksekusi (hukuman mati) bagi mereka yang bersalah atas
pembunuhan dan bahwa Tuhan telah menetapkan hukuman mati di dalam Perjanjian
Nuh."
Agama Hindu juga mengalami dikotomi pemikiran, baik dalam mendukung
maupun menolak penerapan hukuman mati. Hukum agama, sipil, dan pidana yang
berlaku dalam ajaran agama Hindu dijelaskan di dalam Dharmasastra dan
Arthasastra, bahwa hukuman mati dapat dilakukan dalam beberapa kasus di
antaranya dalam kasus pembunuhan dan perang. Tapi, di dalam Mahabharata,
terdapat sejumlah ayat yang menentang penggunaan hukuman mati terhadap kasus
apa pun.
Yang pertama dari lima dasar moralitas dalam agama Buddha juga
menjelaskan bahwa umatnya menjauhkan diri dari perusakan kehidupan. Di bagian
terakhir dari bab 26 Dhammapada dinyatakan, "Dia yang saya sebut
Brahmana yang telah meletakkan senjata dan meninggalkan kekerasan atas semua
makhluk. Dia tidak membunuh atau membantu orang lain untuk membunuh."
Namun otorisasi kekerasan yang dianggap perlu untuk mencegah penderitaan
lebih besar juga dapat ditemukan dalam tulisan-tulisan dalam agama Buddha dan
patut diingat bahwa biksu Buddha merupakan pencipta dan penjaga seni bela
diri dan kungfu.
Indonesia saat ini sedang berperang dengan kejahatan narkotik. Namun
demikian, seperti yang terjadi di belahan dunia lain, hukuman mati tidak
memiliki dampak pencegah (deterrent
effect) dalam memotong jalur pasokan narkotik.
Mungkin kita harus merenungi kembali masalah sosial di sekitar kita.
Melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda dan menelaah apakah kita bisa
memberi solusi alternatif yang dapat menyelesaikan masalah. Untuk itu, perlu
dilakukan debat nasional yang melibatkan semua sektor masyarakat dengan
menghormati pandangan satu sama lain untuk melahirkan konsensus atas polemik
hukuman mati ini. Mari kita menggugah hati nurani bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar