Tatkala
Yesus Naik ke Surga
Weinata Sairin ; Teolog
|
MEDIA INDONESIA, 15 Mei 2015
“... AKU pergi ke situ untuk menyediakan tempat bagimu“ (Yoh 14:2b)
PERGI’ ialah
sebuah kata kerja, sehingga ‘pergi’ selalu memiliki pengertian yang dinamis. Pergi
berarti tidak berdiam diri, duduk santai; pergi justru memanifestasikan dalam
tindakan yang bergerak, berangkat menuju ke suatu tempat, arah, atau wilayah.
Pergi acap kali mengandung makna melaksanakan sesuatu, menjalankan tugas
tertentu. Apalagi, dalam zaman yang serbaefisien, sebuah kepergian tanpa makna
tidak lagi menjadi sesuatu kemendesakan. Pergi membutuhkan risiko, pergi
memerlukan cost yang tidak sedikit;
dan untuk kasus-kasus tertentu, pergi memerlukan seni dan keberanian. Tatkala
Abram diperintahkan Allah untuk pergi dari negerinya ke suatu tempat yang
akan ditunjukkan kepadanya, Abram membutuhkan bukan saja kemauan dan
keberanian, melainkan juga iman. (Kej 12) Iman, kepercayaan yang teguh kepada
Allah.
Yunus disuruh
Allah pergi ke Niniwe untuk berdakwah bagi penduduk kota yang kejahatannya
telah memuncak, tetapi Yunus tidak pergi ke situ, melainkan pergi ke kota
lain. Ia membangkang terhadap tugas suruhan Allah (Yun 1:1-3). Dalam
Perjanjian Lama, Allah acap kali memberi perintah kepada para nabi, antara
lain Yesaya, Yeremia, Yehezkiel, untuk pergi melaksanakan tugas, yakni
menyadarkan umat agar hidup dalam ketaatan kepada Allah.
Ketika pada 14 Mei
2015, gerejagereja dan umat Kristen di seluruh dunia memperingati Hari
Kenaikan Yesus ke Surga, maka peristiwa itu sebenarnya berbicara tentang
kepergian Yesus ke rumah Bapa untuk menyediakan tempat bagi mereka yang
percaya kepada-Nya.
Kepergian Yesus ke
rumah Bapa di surga bukanlah peristiwa yang datang tiba-tiba, karena jika
Yesus tiba-tiba saja pergi tanpa pemberitahuan, akan muncul
multi-interpretasi. Maklum, tokoh sekaliber Yesus selalu menjadi sorotan
publik, tindakan-Nya, ucapan-Nya, jadwal kegiatan-Nya selalu dianalisis
dengan cermat baik oleh kawan maupun oleh orang-orang yang tidak senang kepada-Nya.
Yesus sadar betul bahwa murid-murid perlu diberi tahu seluruh skenario besar
tentang pelayanan Yesus di tengahtengah dunia jauh-jauh hari.
Itulah sebabnya,
sejak awal Yesus memberi tahu mereka bahwa diri-Nya akan mengalami jalan
sengsara, menghadapi penderitaan, dan disalibkan, tetapi akan bangkit kembali
untuk kemudian naik ke surga (Mat 16:21; Yoh 3:13). Namun, murid-murid selalu
dalam posisi yang tidak memahami sosok Yesus. Orang seperti Petrus, misalnya,
tak suka mendengar jika Yesus tokoh idolanya itu menyatakan akan menderita
dan dibunuh.
Hal itu tidak
sesuai dengan gambaran ideal tentang Yesus yang ia miliki; oleh sebab itu, ia
menegur Yesus agar cerita sendu seperti itu jangan dijadikan wacana (Mrk
8:31-32).
Dalam realitas
seperti itulah mengapa kepergian Yesus ke rumah Bapa seakan merupakan sesuatu
yang ‘surprise’ bagi murid-murid, peristiwa yang mengagetkan. Murid-murid
terpana, terperangah, dan menatap ke langit, menyaksikan Yesus yang terangkat
sementara awan menutup-Nya dari pandangan para murid.
Kepergian Yesus ke
rumah Bapa yang diperingati oleh gereja-gereja melalui Hari Kenaikan Yesus ke
Surga, menampilkan beberapa pesan yang amat mendasar. Pertama, peristiwa
kenaikan Yesus ialah pemuliaan terhadap Yesus Kristus.
Yesus yang lahir dengan
hina di kandang domba, yang seluruh sejarah kehidupan-Nya diwarnai oleh
penderitaan yang amat dalam, Ia yang dihujat dan dilecehkan oleh penguasa
pada saat-saat proses peradilan, bahkan mati di kayu salib, tetapi pada Hari
Kenaikan, Ia dimuliakan, Ia ditinggikan, Ia memiliki kuasa, Ia mempunyai power. Alkitab mengatakan bahwa Ia ada
“di sebelah kanan Allah, setelah Ia naik ke surga sesudah segala malaikat,
kuasa, dan kekuatan ditaklukkan kepada-Nya” (1 Ptr 3:22).
Gereja dan umat
Kristen harus bersyukur atas pesan-pesan Alkitab seperti ini. Yesus yang
menjadi Tuhan dan Kepala Gereja ialah Yesus Kristus yang memiliki kemuliaan
dan kuasa. Penderitaan, rasa terpuruk, posisi marjinal, dan minoritas,
situasi diskriminasi yang selama ini seolah menjadi stigma dari kekristenan,
dalam perspektif kenaikan Yesus ke surga memiliki perspektif yang sama sekali
baru. Gereja dan umat kristiani memiliki kekuatan baru yang menjadikan
kekristenan sebuah komunitas yang bermakna dan diperhitungkan.
Kedua, kenaikan
Yesus ke surga, menempatkan gereja dan umat kristiani pada posisi zaman baru,
yaitu zaman penantian kedatangan Yesus kedua kali, yang akan datang sebagai
hakim yang adil.
Dalam kurun waktu
antara kenaikan dan kedatangan kedua kali itulah gereja hidup dan mengukir karya
di bumi.
Ketegangan seperti
itu seharusnya mampu mendorong kreativitas gereja dan umat kristiani untuk
mengembangkan bentuk-bentuk pelayanan baru di tengah realitas dunia yang
sedang berubah.
Ketiga, kenaikan
Yesus ke surga bukan sebuah ilusi atau cerita fi ktif dari dunia kekristenan.
Peristiwa itu riil dan konkret. Yesus berkata: “tidak ada seorang pun yang
telah naik ke surga, selain daripada Dia yang telah turun dari surga, yaitu
anak manusia” (Yoh 3:13). Yesus naik ke surga hanya karena Ia memang berasal
dari surga.
Kenaikan Yesus ke
surga bukan sekadar kembali ‘ke negeri leluhur’ atau ‘pulang ke asal’.
Misi-Nya amat jelas, yakni “Aku pergi ke situ untuk menyediakan tempat
bagimu” (Yoh 14:2b). Kepegian-Nya ialah kepergian yang menyediakan. Ia pergi
dengan misi yang mulia menyediakan tempat bagi umat manusia yang percaya
kepada-Nya.
Alkitab menyatakan
dengan amat jelas, yakni “Sebab di sini kita tidak mempunyai tempat tinggal
yang tetap; kita mencari kota yang akan datang” (Ibr 13:14).
Tatkala Yesus naik
ke surga, gereja dan umat Kristen tidak boleh terpana, hanya menatap ke
langit, tetapi berjuang di bumi ini bagi setiap umat manusia yang berada di
pinggir-pinggir kehidupan, yang terjerat bisnis melawan hukum, yang
menghadapi pelecehan, dan yang menderita karena pelanggaran HAM. Gereja mesti
berkarya di bumi! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar