Senin, 18 Mei 2015

Peta Jalan Poros Maritim

Peta Jalan Poros Maritim

Arif Satria   ;  Dekan Fakultas Ekologi Manusia IPB; Anggota Dewan Kelautan Indonesia (Dekin); Doktor Marine Policy Kagoshima University Jepang
MEDIA INDONESIA, 18 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

TUJUH bulan sudah Jokowi memimpin Indonesia. Pertanyaan yang sudah bermun culan ialah apa kabar poros maritim dunia? Tentu ini pertanyaan yang sangat wajar mengingat poros maritim telah menjadi trademark Jokowi sehingga publik menanti kapan Indonesia sebagai poros maritim bisa terwujud dan apa yang saat ini sudah dirintis untuk menuju ke sana.Juga, langkah-langkah apa yang perlu dilakukan untuk mempercepat proses itu semua?

Makna

Seolah kita sudah taken for granted terhadap konsep poros maritim. Namun, hingga saat ini pemerintah belum menerjemahkan gagasan presiden tersebut dalam bahasa yang mudah dipahami publik. Sebagai sebuah gagasan utama presiden, mestinya konsep poros maritim bisa menjadi wacana baru tidak hanya di kalangan elite tetapi juga rakyat. Wacana yang baik ialah wacana yang jelas maknanya sehingga publik paham dan bisa menaruh harapan. Yang terjadi saat ini ialah poros maritim dimaknai secara beragam oleh berbagai pihak sesuai dengan kompetensi, kewenangan, dan kepentingan masing-masing. Mestinya konsep poros maritim itu satu dan seluruh aparat pemerintah memaknainya sama.

Ketika ditanya apa itu poros maritim, secara sederhana kita bisa merujuk kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia. Poros berarti sumbu dan maritim berarti berkenaan dengan laut atau berhubungan dengan perdagangan dan pelayaran di laut. Namun, pengertian maritim yang dimaksud Jokowi ialah lebih umum dari sekadar pelayaran. Dengan demikian, poros maritim dunia ialah pusat kekuatan maritim yang disegani di dunia yang mampu menjadikan sumber daya laut sebagai pilar pembangunan nasional baik secara ekonomi, sosial budaya, maupun pertahanan.

Fakta geografis menunjukkan Indonesia merupakan negara kepulauan karena Indonesia memiliki lebih dari 17 ribu pulau. Namun, fakta ekonomi menunjukkan Indonesia belum menjadi negara maritim karena kita belum mampu mendayagunakan potensi kelautan sebagai pilar ekonomi nasional. Dengan meminjam istilah Hasyim Djalal, Indonesia ialah negara kepulauan yang belum menjadi negara maritim.Visi poros maritim dunia penting untuk mewujudkan negara maritim.

Peta jalan

Untuk mewujudkan poros maritim dunia diperlukan peta jalan yang jelas dan terukur. Pertama, penataan ruang laut. Amanat UndangUndang Kelaut-an sangat jelas bahwa pemerintah pusat bertanggung jawab atas penataan ruang laut di atas 12 mil. Adapun pemerintah provinsi bertanggung jawab atas wilayah kurang dari 12 mil. Tata ruang tersebut sangat penting karena di sinilah alokasi ruang untuk aktivitas ekonomi sektoral akan ditentukan sehingga tumpang-tindih atau konflik pemanfaatan ruang laut bisa dihindari. Begitu pula tata ruang laut bisa menciptakan kepastian investasi.

Pada saat yang sama, tata ruang laut juga harus bisa melindungi pelaku usaha terlemah di laut, yaitu nelayan dan pembudi daya ikan. Selama ini pemanfaatan ruang laut di atas 12 mil amburadul karena memang belum ditata, seperti terlihat dari pemasangan pipa atau kabel bawah laut yang tidak terpola dengan baik. Juga, penataan ruang laut di bawah 12 mil yang merupakan amanat UU 1/2014 sebagai revisi atas UU 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir belum terwujud dengan baik. Buktinya hanya sekitar 15% provinsi di Indonesia yang sudah memiliki rencana zonasi pesisir.Padahal, UU tersebut sudah berlaku sejak delapan tahun lalu. Karena itu, agenda pentingnya ialah akselerasi penyusunan tata ruang laut.

Kedua, membangun in frastruktur dan konektivitas maritim. Ide tol laut merupakan bagian dari agenda kedua ini. Tol laut merupakan jalan untuk memastikan konektivitas antar wilayah di Indonesia. Karena itu, kuncinya pada ketersediaan armada kapal dan kesiapan pelabuhan. Dengan demikian, industri galangan kapal menjadi sangat strategis karena kebutuhan kapal akan semakin tinggi. Di sinilah perlu kebijakan yang berpihak bagi tumbuhnya industri galangan kapal nasional, seperti pengurangan bea masuk untuk material industri kapal.

Sementara itu, kesiapan pelabuhan dimulai dari kewajiban seluruh pelabuhan yang ada agar memiliki rencana induk pengembangan. Dari 1.240 pelabuhan umum saat ini, hanya 2,5% yang memiliki rencana induk pengembangan sehingga arah pengembangannya jelas. Nah, pelabuhan-pelabuhan kita mestinya juga bisa dijadikan tujuan atau tempat transit kapal-kapal besar mancanegara yang melewati laut kita. Saat ini kita memiliki tiga alur laut kepulauan Indonesia (ALKI), yaitu ALKI 1 (melintas Laut China Selatan-Selat Karimata-Selat Sunda), ALKI 2 (Laut Sulawesi, Selat Makassar, Laut Flores, Selat Lombok), dan ALKI 3 (Samudra Pasifik, Selat Maluku, Laut Seram, Laut Banda).

Sebagai jalur lintasan, mestinya kita bisa memetik keuntungan ekonomi yang luar biasa besar. Saat ini peresmian the Green Seaport Teluk Lamong, Alur Pelayaran Surabaya Barat, dan Terminal Gapura Nusantara Terminal Tanjung Perak sedang dipersiapkan. Ini merupakan langkah awal dan penting untuk kebangkitan maritim sebagai tonggak kebangkitan nasional. Semoga kemudian itu bisa diikuti dengan sejumlah proyek pengembangan di wilayah lainnya.

Ketiga, pengelolaan sumber daya laut, baik untuk perikanan, wisata bahari, energi, maupun farmasi. Sektor perikanan sangat strategis untuk kedaulatan pangan, penyerapan lapangan kerja, peningkatan devisa, penanggulangan kemiskinan, serta geopolitik. Saat ini pemerintah telah mulai menunjukkan keberhasilan dalam memberantas praktik perikanan ilegal. Keberhasilan itu memiliki sejumlah dampak, yaitu (a) pemulihan sumber daya ikan dan makin terbukanya akses nelayan pada sumber daya yang selama ini dimanfaatkan kapal asing, (b) terjaganya kedaulatan dan kehormatan bangsa di laut karena pemerintah makin berwibawa di depan bangsa-bangsa lain, serta (c) terciptanya reformasi birokrasi karena pemerintah kemudian berusaha menciptakan sistem pelayanan perizinan yang lebih akuntabel dan efisien, (d) terciptanya tata kelola perusahaan yang baik karena perusahaan makin dituntut transparan dalam memberikan data produksi, perpajakan, serta perdagangan, dan (e) reputasi internasional bahwa kita turut menjaga laut dengan baik.

Hal krusial yang harus dimulai ialah dengan mendorong bangkitnya armada nasional untuk meramaikan laut. Di sinilah perlu strategi pemberdayaan nelayan dan pelaku usaha lainnya dengan menciptakan iklim usaha yang kondusif, seperti kemudahan akses perbankan, pasar, serta fasilitas pelabuhan perikanan yang memadai dan nyaman. Namun, momentum keberha silan antiperikanan ilegal tersebut harus dijadikan kesempatan menata ulang pengelolaan perikanan kita. Saat ini kita memiliki 11 wilayah pengelolaan perikanan (WPP) yang mestinya dikelola dengan lebih baik melalui rencana pengelolaan perikanan (RPP) dan berkem bangnya lembaga pengelola WPP sehingga perikanan kita bisa lebih lestari.

Keempat, diplomasi maritim sangat penting, yang dalam jangka pendek bisa difokuskan pada penyelesaian batas maritim dengan negara-negara tetangga. Batas wilayah ZEE dengan Singapura, Filipina, dan Timor Leste sudah selesai meski ada batas trilateral yang belum selesai, yakni yang berbatasan dengan Sabah Malaysia serta Palau. Sementara itu, dengan Australia dan Papua Nugini juga sudah selesai tinggal menunggu ratifikasi DPR.

Hal yang juga penting ialah diplomasi untuk menjaga kepentingan Indonesia di laut internasional. Bayangkan Singapura saat ini merupakan negara observer di Arctic Council karena kepentingan mereka dalam pelayaran internasional.
Agar berperan banyak dalam komisi-komisi internasional di laut, kita perlu segera menunjukkan kepentingan kita untuk menjaga sumber daya di laut internasional. Tentu menyedihkan bila saat ini kita tertinggal dari Singapura, Tiongkok, Korea Selatan, dan India yang sangat aktif di lembaga internasional.

Memang masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Hal terpenting ialah bagaimana empat agenda penting di atas bisa diterjemahkan ke dalam program pemerintah yang juga tecermin dalam rencana strategis (renstra) dan anggaran sehingga poros maritim tidak lagi sekadar wacana, tetapi memang sebuah rencana yang konkret.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar