Investasi
Pendidikan dan Bonus Demografi
Agus Wibowo ; Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Negeri
Jakarta
|
MEDIA INDONESIA, 18 Mei 2015
DATA Badan Kependudukan PBB
(UNFPA, 2015) termutakhir menyebut Indonesia sebagai negara yang akan memanen
puncak bonus demografi pada kurun waktu 2028-2035. Saat itu, tersedia lebih
dari 65 juta tenaga kerja muda produktif usia 15-29 tahun. Jumlah itu bahkan
terbesar sejak Indonesia merdeka. Bonus demografi tersebut merupakan jembatan
emas bagi Indonesia untuk tinggal landas menjadi negara maju. Namun, peluang
emas itu akan hilang dan berlalu begitu saja jika pemerintah tidak sigap
memperbaiki kualitas SDM.
Bonus demografi akan menjadi
berkah jika investasi pendidikan berhasil melahirkan penduduk usia produktif
yang forward looking; terampil,
kompeten, berkualitas, dan mampu menyiasati peluang dengan baik. Sebaliknya,
bonus demografi akan menjadi musibah bagi sebuah negara jika kualitas SDM-nya
rendah, minus keterampilan, dan tidak mampu menyiasati peluang yang ada (Mason, 2005).
Investasi pendidikan
Hasil penelitian Babatunde
Osotimehin (2015) dan laporan UNFPA (2015) sampai pada kesimpulan akan
pentingnya investasi negara atas pendidikan. Menurut UNFPA, keberhasilan
meraup bonus demografi akan bergantung pada investasi yang dilakukan negara
untuk kaum muda sehingga potensi mereka dapat dimaksimalkan. Sementara itu,
menurut Babatunde Osotimehin, investasi pendidikan harus disiapkan khusus.
Semua anak, terutama perempuan,
harus mengenyam bangku sekolah. Kehadiran anak perempuan di sekolah, selain
meningkatkan kualitas mereka, juga mencegah pernikahan dini dan mematangkan
usia perkawinan.
Berdasarkan temuan itu,
kebijakan investasi pendidikan guna meningkatkan kualitas SDM kita tidak
boleh ditunda lagi. Apalagi 2028-2035 atau masa memanen bonus demografi sudah
semakin dekat.Apa jadinya jika pada kurun waktu itu sebagian besar pemuda
kita, yang mestinya produktif membangun, justru menjadi SDM tidak siap pakai
dan minus keterampilan?
Maka, sudah semestinya bonus
demografi tidak sekadar dimaknai sebagai berkah, tetapi juga tantangan untuk
meningkatkan kualitas dunia pendidikan. Kita perlu belajar dari Thailand,
Singapura, dan Korea Selatan yang berhasil memanen bonus demografi. Ketiga
negara tersebut menginvestasikan pendidikan guna meraup keuntungan bonus
demografi. Korea Selatan, misalnya, selain mengubah manajemen di bidang
ekonomi, juga mempergunakan strategi capital
intelectual. Ketika sedang berkembang, `Negeri Ginseng' mengirim pemuda
sebanyak-banyaknya untuk belajar di luar negeri. Hasilnya, tenaga intelek
yang melimpah menjadi penggerak utama nadi perekonomian Korea Selatan. Bonus
demografi di Korea Selatan mampu meningkatkan pertumbuhan negara itu dari
7,3% menjadi 13,2%.
Hal yang sama juga dilakukan di
Thailand dan Singapura. Investasi pendidikan dilakukan secara besar-besaran,
baik dengan menyediakan pendidikan berkualitas dan bermutu maupun memberikan
beasiswa bagi pemudapemudanya ke luar negeri. Setelah lulus, kaum intelektual
itu diberi tempat untuk menggerakkan perekonomian kedua negara tersebut.
Sebagaimana Korea Selatan, bonus demografi meningkatkan pertumbuhan Thailand
dari 6,6% menjadi 15,5%. Sementara itu, peningkatan pertumbuhan Singapura
dari 8,2% menjadi 13,6%.
Kreatif dan inovatif
Dalam menyambut era bonus
demografi, sekolah-sekolah kita sudah saatnya berbenah. Sejak dini,
semestinya siswa sudah dididik agar memiliki mental kreatif dan inovatif. Mereka
inilah yang nantinya akan mampu menumbuhkembangkan sektor ekonomi yang
disebut John Howkins (2001) sebagai ekonomi kreatif. Sebagai konsep baru,
tulis Howkins, ekonomi kreatif tersebut mengintensifkan informasi dan
kreativitas dengan mengandalkan ide dan pengetahuan dari SDM sebagai faktor
produksi utama. Singkatnya, ekonomi kreatif itu hanya bisa digerakkan dan
ditumbuhkan SDM yang kreatif dan inovatif pula.
Pemerintah kita sudah menyadari
itu. Buktinya, di masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY),
sektor-sektor ekonomi kreatif yang terbukti ampuh bertahan dari gempuran
krisis finansial global mendapat dukungan dan perhatian penuh. Itu jalan
menuju kemakmuran di era baru, demikian kata para ekonom. Apalagi dengan
tersedianya bahan baku yang melimpah di negeri ini; tidak hanya sumber daya
alam (SDA), tetapi juga sosial, budaya, dan sebagainya. Berkah SDA yang
melimpah tentu saja bisa tergarap efektif jika SDM kita memiliki mental
ekonomi kreatif sebagaimana telah diuraikan.
Singkatnya, ekonomi kreatif
dapat berkontribusi besar pada pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran, terutama
bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Para ahli pendidikan sepakat
nilai-nilai ekonomi kreatif seperti inovatif, kreatif, kewirausahaan, pantang
menyerah, cerdas menyikapi peluang, dan sebagainya bisa diinternalisasikan
kepada anak didik di bangku sekolah. Internalisasi tersebut tidak menjadi
satu mata pelajaran. Akan tetapi, nilai-nilai itu diajarkan kepada siswa
melalui berbagai macam kegiatan baik yang berhubungan dengan materi
pembelajaran maupun tidak. Misalnya, pada mata pelajaran ilmu pengetahuan
alam, para siswa tak hanya diajari materi. Mereka juga harus bereksperimen (Agus Wibowo, 2015).
Ekonomi kreatif tidak akan
tumbuh efektif tanpa dukungan pemerintah. Maka pemerintah melalui Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan perlu mengarusutamakan ekonomi kreatif menjadi
salah satu bagian penting dalam kerangka pendidikan karakter. Selama ini,
nilai-nilai ekonomi kreatif dan kewirausahaan lebih banyak diinternalisasikan
di sekolah-sekolah kejuruan (SMK). Sementara itu, di sekolah-sekolah lain,
penekanannya lebih dominan kepada mata pelajaran yang sifatnya kognitif.
Mestinya, baik sekolah umum maupun sekolah kejuruan mendapat porsi sama dalam
hal internalisasi nilainilai ekonomi kreatif.
Dengan mengulang pendapat Mason,
bonus demografi akan menjadi berkah jika negara tanggap dan sigap
menginvestasikan pendidikan-terutama pendidikan ekonomi kreatif--bagi
generasi mudanya. Mereka, dengan mental ekonomi kreatif, akan menggarap bonus
demografi secara maksimal. Mereka juga yang akan menggerakkan denyut nadi
perekonomian bangsa ini menuju pertumbuhan yang signifikan. Sebaliknya,
ketika pemerintah tidak sigap mempersiapkan generasi mudanya, bonus demografi
akan menjadi musibah. Ledakan penduduk lanjut usia dan tingginya angka pengangguran
akan menimbulkan masalah sosial, keamanan, dan kesejahteraan. Ini mestinya
menjadi pemikiran utama pemerintah beserta para pemangku kepentingan
pendidikan kita. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar