Pendidikan
dan Paham Radikal
Mohammad Abduhzen ; Direktur Eksekutif Institute for Education
Reform Universitas Paramadina; Ketua Litbang PB PGRI
|
KOMPAS, 02 Mei 2015
Terdapatnya ajaran
Wahabi dalam buku pelajaran agama SMA beberapa waktu lalu membuat isu
radikalisme di negeri ini terasa marak. Kegaduhan bertambah ketika penemuan
teks beraroma takfiri itu berbarengan dengan sekelompok anak bangsa
menyeberang ke Suriah yang diduga hendak bergabung dengan pasukan ISIS yang
juga berhaluan mirip Wahabi. Di Tanah Air dilakukan penangkapan beberapa
kelompok yang dianggap teroris oleh Densus 88. Kemudian disusul TNI
menyelenggarakan latihan perang di wilayah Poso, sekaligus dikaitkan dengan
antisipasi kelompok radikal Santoso. "Drama" ini makin seru setelah
pemerintah memblokir 19 situs yang diduga menebar radikalisme.
Begitulah kebiasaan
bangsa ini menangani masalah: reaktif, heboh, setelah kejadian kemudian
melindap. Masuknya teks tak layak atau berbahaya dalam buku pelajaran
berulang. Kisah "Istri Simpanan Bang Maman dari Kali Pasir" di buku
anak SD dan masuknya komunisme sebagai ideologi pengganti Pancasila dalam
buku pegangan guru SMA adalah beberapa kasus sebelum isu Wahabisme dalam buku
pelajaran. Kini di lembaga pendidikan kita bukan "isme" saja yang
berkembang, melainkan juga perilaku kekerasan dan intoleransi. Adakah solusi
dan upaya preventif sungguh-sungguh dilakukan pemerintah, khususnya oleh
penyelenggara pendidikan selama ini?
Komprehensif dan berkelanjutan
Menangani
radikalisme-tepatnya ektremisme-serta perilaku kekerasan dalam dan melalui
pendidikan tak bisa reaktif, parsial, dan emosional. Upaya ini harus
terencana komprehensif dan berkelanjutan dalam strategi pendidikan kebangsaan
yang sejak reformasi terabaikan. Secara internal kita menghadapi tantangan
baru akibat perubahan dahsyat, seperti diberlakukannya otonomi daerah,
keterbukaan dan liberalisasi dalam hampir setiap aspek kehidupan. Secara
eksternal seturut perkembangan globalisasi dan teknologi informasi, kita
menyaksikan beragam pertentangan dan kekerasan ideo-politis yang dikaitkan
dengan aliran keagamaan sehingga mudah memengaruhi masyarakat.
Konflik beraroma
keagamaan di Tanah Air sepertinya akan memasuki babak baru dengan isu
sunni-syiah, menggantikan isu lama pertentangan kaum tradisionalis dan kaum
modernis yang kian tak signifikan. Perkembangan ini akan lebih berbahaya
karena terhubung langsung dengan poros kekuatan ideologi politik keagamaan
yang bergejolak sekarang ini. Perkembangan dunia yang mengerikan itu
seharusnya ditangkal sedini dan sekomprehensif mungkin oleh bangsa Indonesia
yang sejatinya religius dan cinta damai.
Bangsa Indonesia perlu konsep baru pendidikan kebangsaan yang di
antaranya, pertama, menyadarkan dan menjabarkan tentang keniscayaan Pancasila
dalam kehidupan bersama sebagai bangsa yang sarat perbedaan. Nilai-nilai
Pancasila tak cukup diajarkan sebagai dasar administrasi kenegaraan dalam
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan" (PPKn). Nilai-nilai ini perlu
"diilmiahkan," dielaborasi, diintegrasikan dalam setiap mata
pelajaran.
Sejak kejatuhan Orde
Baru-yang menafsir, mengideologisasi Pancasila secara represif dan doktrinal
melalui asas tunggal dan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4)
beserta 36 butirnya-seolah-olah muncul sinisme terhadap Pancasila. Pancasila,
yang sejak 1947 telah jadi asas pembelajaran atau mata pelajaran, lenyap
setelah reformasi. UU No 20/2003 tentang Sisdiknas tak memasukkan
"Pendidikan Pancasila" sebagai mata pelajaran sebagaimana UU
Sisdiknas sebelumnya (No 2/1989). Oleh
sebab itu, dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK, 2004) dan Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP, 2006), mata pelajaran PPKn diubah menjadi
Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) saja.
Kedua, pendidikan
kebangsaan harus mencakup kesadaran dan kebanggaan akan takdir geografis
serta tanggung jawab terhadap kebudayaan dan nasib bangsa di masa depan.
Posisi geografis menganugerahi kita berbagai kekayaan alam di langit, bumi,
dan perairan. Bumi pertiwi tak hanya menumbuhkan keberagaman flora dan fauna,
tetapi juga kebinekaan suku dan kebudayaan yang seyogianya jadi berkah dan
kejayaan. Namun, dalam perencanaan pendidikan, bangsa ini terlalu asyik
melihat keluar memikirkan daya saing terhadap bangsa-bangsa maju yang
memiliki dasar dan karakteristik berbeda.
Pendidikan lalai
mengeksplorasi dan menginternalkan kelebihan-kelebihan alamiah dan kebudayaan
kita dijadikan kekuatan dan kebanggaan yang dapat ditawarkan sebagai
prasyarat kerja sama berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan
sosial. Pendidikan nasional seyogianya menghasilkan orang yang bermentalitas
kuat, bertanggung jawab, dan menghargai perbedaan sebagai rahmat. Alih-alih,
pendidikan kita malah memproduksi manusia kerdil dan korup, melestarikan
inferioritas yang mengagungkan produk dan lulusan asing.
Solusi dan daya konstruktif
Ketiga, dalam kerangka
pendidikan kebangsaan, pendidikan agama harus diarahkan ke upaya
"memoderasi" sikap keberagamaan, yaitu menjadikan orang beriman
lebih bermanfaat dan umat terbaik.
Agama harus diformulasikan sebagai solusi dan daya konstruktif yang
membahagiakan kehidupan. Bukan sebaliknya sebagai kekuatan destruktif dan
beban yang menyengsarakan. Sikap radikal atau ekstrem keagamaan, sering kali
lahir dari pemahaman agama yang berorientasi negatif yang tertanam melalui
pengajaran, baik di lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat.
Pertama, mencitrakan
Tuhan sosok garang. Tuhan, dalam ide orang beriman- disimpulkan Rudolf Otto
(1869-1937), teolog Jerman, dalam The
Idea of the Holy-merupakan mysterium
tremendum et fascinosum, figur penuh misteri, dahsyat/menakutkan, sekaligus
memesona. Dalam pembelajaran, sering didapat kesan tentang Tuhan yang
menakutkan sehingga perilaku keagamaan jadi semacam ekspresi fobia kaku,
sensitif, dan reaktif. Situasi mental seperti ini mudah terprovokasi jadi
marah dan amuk. Kedua, menekankan dikotomi antara wilayah iman dan akal.
Agama sering disampaikan sebatas keyakinan yang tak bersentuhan dengan akal
pikiran. Pemilahan diametral ini mengesahkan perilaku irasional dan fanatisme
yang kerap melatari kekejaman atas nama Tuhan dan keyakinan.
Ketiga, mengutamakan
eskatologisme (keakhiratan) sehingga agama dan ritualitasnya dianggap lebih
untuk kebahagiaan akhirat. Sikap ini seperti melestarikan kemiskinan,
kelemahan, dan ketertindasan karena spirit membangun hidup sejahtera di bumi
separuh hati. Keempat, pengajaran
sifat kemahakuasaan Tuhan dan takdir sering mengarah pada pembentukan sikap
pasrah pada nasib atau fatalisme. Manusia dipandang bak bidak catur yang sekadar
menjalani nasib dan tak mungkin diubah. Kesimpulan seperti ini, selain
menutup pintu ikhtiar, juga menuntun pada kejahatan seperti menjadi koruptor,
tanpa rasa bersalah.
Pendekatan dan
orientasi pembelajaran agama seharusnya lebih antroposentris dengan
menekankan sudut pandang kebutuhan manusia (terutama) di dunia ini. Pertama,
membentuk citra positif tentang Tuhan Pengasih dan Penyayang. Kedua,
menekankan bahwa iman pertama-tama adalah persoalan akal sehat. Tuhan
menurunkan agama karena manusia berakal budi dan setiap syariat mensyaratkan
kewarasan pikiran. Meski diasumsikan tak semua doktrin agama dapat
diverifikasi secara logis dan empiris, para murid perlu dibiasakan menalar
setiap informasi mengatasnamakan agama agar terhindar dari ajaran dan ajakan
menyesatkan.
Ketiga, memperjelas
bahwa agama adalah petunjuk dan peraturan, konsep, serta resep kehidupan di
dunia ini. Informasi keakhiratan yang disampaikan Tuhan adalah gambaran
teleologis sebagai penyadaran atas peran dan tanggung jawab insan setelah
kehidupan fana ini. Jadi, agama dalam totalitasnya sebagai pemeliharaan dan
pengelolaan Tuhan atas daya-daya manusia agar tak jadi kekuatan ekstrem
destruktif karena pesona dunia.
Keempat, meyakinkan
kewajiban berikhtiar memperbaiki nasib. Sebagai khalifah (wakil) Tuhan,
manusia ditakdirkan bukan sekadar beradaptasi di dunia ini, melainkan juga
mengintervensi alias mengubahnya dengan membangun peradaban.
Keanekaragaman budaya menandakan
manusia dapat mengubah nasibnya dan Tuhan akan mengubah nasib manusia jika
manusia memulainya. Akhirulkalam, agama adalah berkah bagi semua. Apabila
jadi petaka, pasti ada yang salah dalam kita memaknai dan mengamalkannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar