Anomali
Demokrasi Jokowi
Teuku Kemal Fasya ; Dosen Antropologi Universitas Malikussaleh
dan Institut Seni dan Budaya Indonesia (ISBI) Aceh
|
KOMPAS, 02 Mei 2015
Saya tak tahu apakah
ada kondisi yang bisa berubah lebih cepat dibandingkan politik? Perubahan
musim saja memiliki masa transisi yang tidak secepat sulap.
Ada musim pancaroba
antara selisih musim. Perubahan budaya apalagi. Ada dimensi evolusi yang
memerlukan fase tertentu sehingga sebuah kebudayaan dianggap berubah dari sebelumnya.
Revolusi negatif
Tidak ada yang menduga
jika Joko Widodo, Presiden "harapan baru" Indonesia-seperti judul
utama majalah Time, edisi 27 Oktober 2014-bisa berubah lebih cepat dari
cuaca. Perubahan radikal luput dari hampir semua prediksi sebelumnya. Catatan
ini menjadi penting melihat masa depan demokrasi di negeri ini. Padahal, harapan publik atas Jokowi cukup
besar di awal 2014. Saat itu kita sedang menunggu pemimpin alternatif di
tengah pemimpin politik senior konvensional berbasis partai politik. Harapan
itu masih bernyala hingga ia dan Jusuf Kalla dinyatakan sebagai pemenang
Pemilu Presiden-Wakil Presiden 9 Juli 2014.
Bahkan hingga
detik-detik pelantikan sebagai presiden di sidang MPR pada 20 Oktober, Jokowi
masih dielu-elukan sebagai sosok populis yang bisa menghentikan fase transisi
demokrasi Indonesia. Ia diarak dalam sebuah kirab budaya dan pesta rakyat,
menyatu dengan kulit dan keringat rakyat, menyalami mereka hingga larut
malam.
Namun, perubahan besar
terjadi setelah itu. Kurang dari sebulan memerintah, ia (dan tentu saja JK)
mulai melakukan kebijakan tidak populer dengan menaikkan harga BBM. Kenaikan
harga BBM di tengah kecenderungan harga minyak mentah dunia turun drastis dan
jauh di bawah asumsi APBN Perubahan 2014 adalah keanehan dalam kacamata
matematika ekonomi dan fiskal mana pun.
Serta-merta wajah
bening dan semringah rakyat hilang,
berganti pucat dan kecut. Mungkin lupa bahwa sebagian besar pemilih Jokowi
adalah wajah rakyat kebanyakan: wong
cilik, wong ndeso, dan wong
prihatin.
Kampanye
"pengurangan subsidi BBM" untuk kesejahteraan rakyat agar
pemerintah memiliki ruang fiskal yang longgar juga tidak dipahami sebagian
besar rakyat Indonesia. Istilah pengurangan subsidi pun sangat distortif dan
manipulatif. Kebijakan itu semakin enigmatik
karena diikuti pelbagai kebijakan turunan yang tidak sehat bagi ketahanan
ekonomi rakyat, seperti kenaikan tarif dasar listrik, gas, kereta api, dan
lain-lain. Pemerintah juga tak kuasa mengendalikan inflasi dan kenaikan harga
bahan pokok dan transportasi publik. Semua rencana terlihat rontok terlalu
dini.
Yang paling diingat
sebagai proses pendarahan harapan publik adalah fenomena konflik Komisi
Pemberantasan Korupsi versus Polri, terkait kasus tersangka Bambang Gunawan. Kasus itu dengan
cepat menjadi penanda negatif bagi proses pemberantasan korupsi satu dekade
terakhir. Bukan hanya "kriminalisasi" Abraham Samad dan Bambang
Widjojanto dan suksesnya Budi Gunawan sebagai Wakil Kepala
Polri, tetapi seluruh aura penegakan hukum yang benar dan bijaksana yang
melindungi rasa keadilan publik tidak mampu tegak.
Publik melihat
antagonisme pada fakta hukum nenek Asyani yang divonis satu tahun penjara
karena mencuri beberapa lembar papan Perhutani, dan di sisi lain ada parade
praperadilan oleh para tersangka korupsi setelah "efek Sarpin".
Hukum seharusnya tidak mencari-cari kesalahan dan menganggapnya kejahatan,
sementara yang sebenarnya kejahatan menjadi seolah-olah kesalahan karena
justifikasi legal dan etis dari kuasa dan modal yang mendukungnya.
Fenomena ini tentu
menjadi ironi ketika Jokowi seolah tidak bisa menjadi dirinya sendiri. Ia
dibelit kuasa di luar dirinya yang selama ini dikenal populis. Ia bukan lagi
sosok wali kota Solo yang sabar bernegosiasi dengan pedagang kecil ketika
proses relokasi pasar atau gubernur Jakarta yang teguh dengan ide-ide
kesejahteraan sosial melalui kartu sehat dan pintar.
Idealisme perubahan
yang diusungnya saat itu tidak mencederai realitas rakyat. Saat ini idealisme
"Nawacita"-nya tidak nyambung dengan kebijakan-kebijakan
pragmatisnya. Ini tentu bukan revolusi mental. Revolusi telah
mental-terpental oleh pelbagai realitas politik-ekonomi yang tak mampu diurai
dengan sabar dan konsisten.
Erosi harapan
Saat ini Jokowi
semakin sulit dilihat sebagai harapan- istilah Ivan Pavlov, pakar
behaviorisme peraih Nobel asal Rusia: salivasi (salivate), selera menggiurkan- yang meneguhkan semangat
perubahan. Yang dilakukan Jokowi malah merusak refleks-refleks yang
dikondisikan (conditioned reflexes)
masyarakat untuk tetap menjadikannya impian bagi Indonesia baru. Ia belum
mampu menjadi gairah bagi seluruh tumpah-darah Indonesia.
Harapan seharusnya
dijaga melalui kebijakan yang merefleksikan selera publik atau paling tidak,
tidak bertentangan. Kini publik semakin hilang keyakinan pada Jokowi.
Beberapa survei sudah menunjukkan pemerintahan Jokowi-JK tidak bisa
diandalkan menyelesaikan krisis ekonomi- politik saat ini. Sulit baginya
memperbaiki kekecewaan publik terkait kebijakan yang sudah membekas dalam
kehidupan luas. Deringan bel yang memancing salivasi publik agar tetap
menjaga harapan, tidak menarik perhatian. Pidato Jokowi saat pembukaan
Konferensi Asia Afrika agar bangsa-bangsa Selatan tidak menggantungkan diri
pada institusi ekonomi global, seperti Bank Dunia, IMF, dan ADB yang terbukti
gagal hanya terdengar seperti retorika plastis.
Sikap teguhnya
menjalankan kebijakan hukuman mati atas kasus narkoba malah memercikkan
problem keadilan, seperti pada kasus Mary Jane, seorang buruh migran Filipina
yang diperalat membawa heroin. Ketegasan menolak semua permohonan ampun malah
memperlihatkan watak kekakuan politik yang tidak pada tempatnya.
Desain ekonominya
semakin sulit untuk tidak dikatakan bernapaskan neoliberalisme, terkesan
teknokratis, tetapi tidak matang. Desain politiknya masih belum deliberalif
dan demokratis. Desain hukum semakin menegaskan tajam ke bawah dan tumpul ke
atas. Desain kebudayaan, dan tidak cukup terlihat kecuali minatnya pada
industri kreatif, belum berangkat dari akar-akar kebudayaan nasional.
Inilah anomali
demokrasi yang lahir oleh citra media, dan bukan terbentuk oleh karakter
ideologi-politik yang kuat dan inspiratif. Sulit
mencari sosok seperti Soekarno dan Gus Dur yang kuat dalam pemikiran
demokrasi dan mantap dalam tindakan. Jokowi menjadi contoh anomali demokrasi
berbasiskan pencitraan. Penamaan Kabinet Kerja bisa menjadi fakta sublim atas gagalnya
membentuk kabinet visioner dengan kebijakan-kebijakan fundamental yang
menyejahterakan dan membahagiakan.
Anomali demokrasi
adalah katastrofi politik-ekonomi, yang membuat semangat nasional untuk
perubahan menjadi kuyu dan hanya bisa menepuk dada. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar