Mitos
Keperawanan
Kristi Poerwandari ; Penulis kolom “Konsultasi Psikologi” Kompas
Minggu
|
KOMPAS, 24 Mei 2015
Lagi-lagi
persoalan tes keperawanan. Hampir 70 tahun lalu, Simone de Beauvoir, yang
sangat terkenal dengan bukunya ”The
Second Sex” (”Le Deuxième Sexe”),
dengan piawai menjelaskan bagaimana perempuan menjadi bagian (milik) dari
masyarakat sekaligus ”dilainkan”, dibuat menjadi ”yang lain”.
Jangan
salah, perkawinan bukan merupakan hubungan laki-laki dengan perempuan, tetapi
tidak jarang merupakan hubungan antar sesama laki-laki, di mana perempuan
dilihat sebagai sarana untuk memperkuat tali silaturahim atau hubungan
bisnis. Perempuan dilihat sebagai barang milik dan dipertukarkan.
Mitos
Salah
satu manifestasi dari bagaimana laki-laki (dan akhirnya masyarakat)
menganggap perempuan sebagai ”yang lain” adalah dengan mengembangkan mitos
keperawanan. Orang memercayai saja mitos tentang perempuan yang saling
berkontradiksi: perempuan ”baik-baik” vs perempuan ”bukan baik-baik”—hanya
karena yang satu masih perawan dan yang satunya lagi sudah tidak. Alasannya
tidak perlu dipersoalkan: apakah karena keinginan si perempuan itu sendiri,
karena ia mengalami kekerasan seksual, atau hal lain. Tetap yang
dipersalahkan adalah si perempuan itu, yang tubuhnya sudah terdeteksi ”tidak
suci”. Bagi perempuan yang ”bukan baik-baik”, hukuman atau sanksi sosial yang
diterima dapat luar biasa sehingga perempuan ngeri dan memilih berbohong.
Sangat
sulit untuk menguraikan, mendemitologikan mitos. Mitos keperawanan ini tidak
dapat ditangkap, tetapi menghantui kesadaran manusia: menghantui kesadaran
laki-laki yang ketakutan jika ia teperdaya, dan menghantui kesadaran
perempuan jika ia dinilai ”bukan perempuan baik-baik” lalu dihukum.
Maka,
ada perempuan-perempuan yang melakukan berbagai cara untuk menipu diri
sendiri dan orang lain dengan ”mengejar” keperawanannya kembali. Di masa lalu
mungkin dengan menggunakan darah ayam yang diusapkan ke sapu tangan, di masa
kini melalui operasi yang ditawarkan oleh klinik atau rumah sakit modern.
Ternyata
mitos keperawanan tidak dibahas atau menghantui di tingkat hubungan personal
saja, tetapi hingga jadi kebijakan. Sampai Indonesia dibahas di mancanegara,
menjustifikasi tindakan mengetes keperawanan perempuan untuk menjaga martabat
dan kehormatan bangsa (lihat misalnya http://www.theguardian.com/world/2015/may/14/indonesian-military-insists-on-virginity-tests-to-determine-naughty-female-recruits).
Mekanisme ”defense”
René
Girard (1977) menulis mengenai bagaimana masyarakat melakukan
pengambinghitaman hingga ritual pengorbanan terhadap anggota masyarakat yang
rentan, sesuatu yang diterima begitu saja tanpa dikritisi, seolah memang
sudah benar dan seharusnya terjadi.
Dari
sisi psikologi, kita dapat menjelaskan melalui teori mekanisme pertahanan
diri yang dikembangkan Freud. Mekanisme defense secara sederhana dapat
diartikan sebagai proses-proses mental yang sering tak sepenuhnya disadari,
untuk melindungi diri sendiri dari kecemasan akibat rasa malu, rasa salah,
hilangnya harga diri, konflik, atau berbagai pikiran dan perasaan lain yang
dianggap buruk atau tidak pantas. Misalnya ayah atau ibu yang dimarahi oleh
atasan di kantor merasa kesal tetapi tidak berani melawan atasannya, lalu di
rumah akan melampiaskan kekesalan pada anak (displacement). Atau orang yang merasa malu kalau sampai ketahuan
ia jatuh cinta, lalu justru berperilaku cuek dan terkesan tidak peduli ketika
bertemu (reaction-formation).
Pengambinghitaman
perempuan hampir selalu terkait dengan seks dan lalu dikaitkan dengan
moralitas. Kuat diduga bahwa itu terkait dengan gabungan mekanisme defense
rasionalisasi, pengingkaran, dan proyeksi. Apakah perempuan tidak
perawan=akan mengundang hasrat seksual=berbahaya=bukan perempuan baik-baik?
Jadi, yang terjadi adalah para pemimpin (sebagian besar laki-laki)
memindahkan pikiran buruk dalam diri sendiri menjadi pikiran yang ada di
benak orang lain/perempuan (diri sendiri ingin berhubungan seksual karena
tahu perempuan yang dihadapi sudah pernah berhubungan seksual, lalu orang
lain yang dipersalahkan ”mengundang”, merayu, atau punya kualitas buruk)?
Maka,
kita dapat menjelaskan mengapa perempuan yang dinilai ”bukan perempuan
baik-baik” kalau dalam ketakutannya melaporkan telah mengalami kekerasan
seksual pada penegak hukum, bukannya dilindungi tetapi mungkin malah
mengalami tambahan pelecehan seksual dari petugas.
Kebijakan
Mekanisme
defense menjadi sangat diskriminatif ketika menjadi kebijakan.
Pengambinghitaman mudah saja dilakukan karena yang dapat dibuktikan secara fisik
sudah tidak perawan memang perempuan. Sementara itu, yang tidak dapat dilacak
perilaku seksualnya dan tidak berpotensi hamil dapat bersukaria dan tampaknya
memang tidak dipedulikan sepak terjang seksualnya. Masyarakat tidak
mempertanyakan, bahkan kaum perempuan sendiri dapat menilai dan menghukum
perempuan lain tanpa bersikap kritis dan peduli.
Mulai
sekarang kita perlu heran dan mempertanyakan mengapa dalam diri perempuan
dilekatkan paradoks dan kontradiksi serba ekstrem: ia pelayan sekaligus
dipuja, Maria yang perawan sekaligus Hawa Pendosa, sumber kejatuhan laki-laki
vs pendukung keberhasilan laki-laki, dapat menghancurkan negara sekaligus
menjadi tiang moral negara?
Perempuan
itu manusia biasa seperti juga laki-laki, ia bukan pendosa ataupun manusia
suci tak bernoda. Punya kelebihan dan kelemahan, memiliki banyak potensi
positif yang dapat menguatkan bangsa, tetapi mudah terjerat dalam posisi
”tidak merasa bernilai” karena mitos-mitos yang terus dipertahankan dalam
praktik hidup kita. Dalam sesi-sesi konseling atau percakapan penguatan bagi
perempuan, kami akan mengajak perempuan berpikir bahwa ia adalah manusia
berharga, entah apakah ”sudah tidak perawan”, ”masih terus perawan” alias
perawan tua, dinilai menarik atau tidak menarik secara seksual, dan
seterusnya. Ia jauh lebih utuh daripada sekadar makhluk seksual.
Menjaga
kehormatan dan martabat bangsa itu tidak dapat dilakukan dengan menerapkan
standar ganda dan mengecek keperawanan perempuan. Yang diperlukan adalah
menjauhkan diri dari sikap mencari-cari kesalahan pihak lain, dan mengakui
dengan jujur, apakah masing-masing kita telah bekerja dituntun suara hati dan
dengan menjunjung etika. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar