Astaga
Sarlito Wirawan Sarwono ; Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia
|
KORAN SINDO, 24 Mei 2015
Oh..astaga Apa yang sedang terjadi Oh...astaga
Hendak ke mana semua ini Bila kau pemuda sudah tak mau lagi peduli Mudah
putus asa dan kehilangan arah.
Itu
adalah cuplikan dari lirik lagunya Ruth Sahanaya yang bertajuk ”Astaga”. Saya
tidak ingat tahun berapa lagu yang merupakan bagian dari album Ruth Sahanaya Seputih Kasih itu ngetop di blantika
musik Indonesia. Yang jelas sudah lama karena tergolongnya juga tembang lawas
(lagu lama).
Tetapi,
isinya masih sangat relevan dengan kondisi masyarakat sekarang. Anak-anak
usia sekolah tidak mau sekolah, tetapi memilih nongkrong, kumpul-kumpul
sambil minum bir, ngeganja , ngebut , dan kalau sudah enggak punya duit,
merampok, membegal, bahkan sampai membunuh orang.
Pemuda-pemuda
itu sudah tak peduli kalau ada orang tewas di tangannya, atau ada orang yang
dirugikan karena barangnya dirampok, atau bagaimana perasaan orang tuanya,
atau mungkin orang tuanya juga sudah tidak peduli kepada anak-anaknya. Maka
kagetlah Ruth Sahanaya dan terciptalah pada waktu itu lagu ”Astaga”.
Tetapi,
orang mengucap ”Astaga” sebenarnya bukan karena kaget saja. Orang yang
keheranan dan sekaligus juga marah, atau heran, tetapi menyenangkan bisa juga
berseru ”Astaga”. Yang baru mendapat kejutan yang menyenangkan, juga
mengucapkan ”Astaga”, sambil meloncat kegirangan.
Tetapi,
kata ”Astaga” itu sebenarnya berasal dari doa dalam agama Islam, yang bunyi
lengkapnya adalah ”Astaghfirullah al adzim ”, atau disebut juga doa istigfar.
Terjemahan bebas dari istigfar kira-kira sebagai berikut ”Aku mohon ampunan
kepada Allah Yang Maha Agung”. Jadi ketika seseorang beristigfar, seharusnya
ia melakukannya setelah ia melakukan suatu kesalahan, yang disengaja atau
tidak disengaja, atau bisa juga sebelum ia melakukan kesalahan yang keburu
disadarinya.
Bisa
kesalahan kecil, bisa juga kesalahan yang besar. Contoh kesalahan kecil
adalah kalau saya sedang berpuasa, hampir saja saya menyuapkan ayam pop ke
mulut saya. Contoh kesalahan besar adalah ditawari gratifikasi oleh calo
proyek untuk tidur sebentar (maksimum tiga jam saja) dengan artis kondang
cantik asalkan bisa mencairkan dana proyek sebesar beberapa puluh miliar rupiah.
Istigfar
pun diucapkan berulang-ulang di sini untuk memperkuat iman agar tidak tergoda
oleh bisikan artis cantik senilai puluhan juta rupiah (awas! Bukan bisikan
setan, loh ! Setan itu nakutin !). Jadi, kata ”Astaga” bukanlah istilah yang
tepat untuk menyatakan kekhawatiran kita tentang ”pemuda sudah tak mau lagi
peduli, mudah putus asa dan kehilangan arah ” karena itu semua bukan
kesalahan kita.
Tetapi,
itulah bahasa. Bahasa ada ketentuannya dan ada aturannya yang baku. Biasanya
makna setiap kata dan ketentuan pemakaiannya ditulis dalam kamus seperti
Kamus Besar Bahasa Indonesia atau kamus antarbahasa seperti Kamus Inggris-Indonesia,
Indonesia-Belanda, Indonesia-Jawa, dan seterusnya. Pengarang-pengarang kamus
adalah pakar-pakar bahasa, akademisi bergelar doktor dan profesor yang
pekerjaannya tidak lain ya mengurus bahasa saja.
Di
negara-negara maju, para akademisi itu digaji besar oleh universitasnya untuk
menjaga kebakuan bahasa. Pemerintah menyediakan dana untuk pembuatan aneka
kamus, dan para pengguna bahasa itu pun rajin membuka kamus kalau ada
kata-kata asing, atau yang baru pernah didengarnya. Dengan demikian, kita bisa
menghindari terlalu menyimpangnya bahasa dari pengertiannya yang awal.
Dengan
demikian juga, bahasa itu bisa menjadi alat komunikasi yang lestari, tidak
berubah-ubah terlalu banyak. Dalam bahasa Inggris misalnya banyak kata baru
yang lahir dari perkembangan ilmu atau kehidupan sosial-budaya yang memang
sangat dinamis. Misalnya, kata ”e-mail ” yang sekarang banyak digunakan dalam
komunikasi lewat internet, belum ada dalam kamus bahasa Inggris tahun
1970-an, ketika saya mengambil S-2 di Inggris dan S-3 di Belanda.
Atau,
kata smog timbul sejak Kota London sering diselimuti asap (smoke) dan kabut (fog ) akibat
industrialisasi sejak awal abad XX. Atau, kata-kata yang banyak kita dengar
juga dalam bahasa Indonesia seperti chatroom,
agritourism. avatar , belanja online, dan masih banyak lagi. Tidak
demikian halnya dengan bahasa Indonesia. Kebanyakan orang Indonesia malas
membaca kecuali membaca SMS atau Instagram dan teksteks dalam bahasa alay
lainnya di media sosial.
Di sisi
lain, orang Indonesia juga terkenal sangat kreatif, termasuk dalam
penciptaaan istilah-istilah. Maka, timbullah kata-kata baru yang menyimpang
dari pakem yang baku. Kata ”cuek ”misalnya berasal dari kata ”acuh”, yang
awalnya adalah ”acuh-tak acuh”, yang artinya adalah ”peduli-tak peduli”.
Jadi
”acuh” dan ”cuek” itu seharusnya berarti ”peduli”, bukan ”tidak peduli”
seperti diartikan dalam bahasa gaul yang makin lama makin menjadi bahasa
formal. Celakanya, para penutur di media massa (khususnya TV) juga sama:
malas merujuk ke kamus (versi Google-nya pun ada, loh sebenarnya), dan mereka
pun menciptakan kata-kata baru seperti ”merumput” yang maksudnya adalah
bermain sepak bola, padahal arti sebenarnya adalah ternak yang sedang makan
rumput.
Atau,
istilah turunan dari bahasa Inggris yang dipelintir-pelintir supaya
kedengarannya bagus, padahal salah seperti ”sinergisitas” yang seharusnya
cukup dengan ”sinergi” saja, atau ”kritisi” yang maksudnya adalah ”kritik”,
atau ”nominator” yang seharusnya adalah ”nomine” (calon).
Tapi,
yang sama mengganggunya adalah kesalahan ucapan karena lidah etnik tertentu
yang agak aneh sehingga VIP dibaca ”pi-ai-fi ”, Free Port dibaca ”pri-fort”,
dan ”feminiN” dibaca ”feminiM”. Karena semua orang malas merujuk ke kamus,
dan hanya mengandalkan TV saja sebagai acuan, maka lama-lama yang salah itu
menjadi baku. Sekarang hampir semua mahasiswa saya (termasuk mahasiswa S-3)
menyebutkan ”feminiM”, bukan ”feminiN”. Astagaaa
..... ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar