Perilaku
Bodong
Rhenald Kasali ; Akademisi, Praktisi Bisnis, dan Guru Besar Bidang
Ilmu Manajemen di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
|
JAWA POS, 24 Mei 2015
BELAKANGAN
kita dibanjiri aneka barang palsu. Setelah banyak yang memakai gelar dan tas
mewah palsu, lalu heboh dokter palsu (yang melakukan praktik kecantikan),
pernikahan palsu (selebriti yang menjadi anggota parlemen), kosmetik, obat,
pupuk, batu akik, serta kini yang paling menghebohkan adalah beras palsu.
Kasus itu terungkap di Bekasi, melalui tangan seorang penjual bubur dan nasi
uduk, Dewi Septiani.
Dewi
mengaku membeli 6 liter di toko langganannya. Ketika beras dimasak, dia
menemukan keanehan. Berasnya hanya membesar, bukan menjadi bubur. Adiknya
yang memakan mengatakan, rasanya seperti nasi basi dan teksturnya aneh.
Setelah makan, dia mual-mual, pusing, dan ingin buang air terus sampai harus
dibawa ke rumah sakit.
Aparat
yang dilapori mengirimkan sampelnya ke Sucofindo. Hasilnya? Beras itu memang
dicampur dengan bahan baku plastik. Sebetulnya tidak sulit mengungkap kasus
itu. Tinggal merunut ke belakang saja. Sayangnya, hingga saya tulis,
dalangnya belum ketemu.
Pupuk sampai Baku Akik
Belum
lagi terungkap, kini sudah ada kasus baru. Kali ini pupuk. Beredar di
Cianjur, Jawa Barat, dibuat dari batu zeolit. Mestinya pupuk berguna untuk
menyuburkan tanaman. Tapi, ini sebaliknya. Jika ditaburkan, tanaman
mengering.
Kalau
pupuk asli Rp 2.000 per kilogram, yang palsu ini harganya hanya Rp 800 per
kilogram. Mungkin perbedaan harga inilah yang mengundang kecurigaan.
Berbeda
dengan kasus beras palsu, untuk kasus ini tampak polisi lebih sigap. Polda
Jawa Barat sudah menangkap para pelakunya dan menyita barang bukti sebanyak
23 ton.
Batu
akik juga jadi korban pemalsuan. Salah satunya batu akik kalimaya. Batu ini
punya banyak warna. Persis pelangi. Harganya bisa Rp 250 juta, sementara yang
palsu tentu jauh lebih murah. Meski yang asli batunya lebih keras, awam
kesulitan membedakan keduanya.
Masih
ada lagi kasus pemalsuan yang tak pernah surut di negara kita: uang. Belum
lama ini Bareskrim Polri berhasil mengungkap sindikat pemalsu uang yang
nilainya mencapai Rp 16 triliun. Dengan hanya bermodal Rp 30 juta, para
pelaku mengaku sudah bisa membeli berbagai peralatan pemalsu uang.
Canggihnya,
mereka sudah sadar dengan kedatangan era Masyarakat Ekonomi ASEAN pada akhir
2015. Itu sebabnya, mereka memalsukan dolar Singapura, euro, ringgit
Malaysia, dolar Brunei, dan sebagainya. Kalau bisa menjual 10 persen atau Rp
1,6 triliun saja, kata mereka, itu sudah bagus.
Kok Tidak Jelek
Mengapa
begitu banyak barang palsu beredar di negeri ini? Lihat saja, sepanjang 2012
sampai April 2013, Kementerian Perdagangan sibuk mengusut 726 kasus barang
palsu.
Komedian
beken Mitch Hedberg pernah menyindir begini: ”Pohon plastik di rumah saya
mati karena saya tidak berpura-pura menyiramnya.” Anda paham kan artinya?
Celakanya,
di sini masih banyak orang yang (maaf) suka hidup dalam kepura-puraan.
Pura-pura bisa menghidupkan ”pohon plastik” yang mati tadi dengan
berpura-pura merawatnya. Lagi-lagi kepalsuan yang dibungkus dengan
kepura-puraan. Maksud saya, kalau belum kaya, ya sudah jangan membeli yang
belum pantas dipakai. Itu lebih baik, bukan?
Bayangkan,
politisi dan artis beken saja, meski mobilnya mewah, toh pelat nomornya
bodong. Bahkan, sewaktu saya bertanya kepada teman-teman dari Ditjen Pajak,
mereka pun kewalahan melacaknya. Maklum, surat-suratnya tak pakai nama
sendiri. Demikian juga kepemilikan rumah mewah dan apartemen. Padahal, dalam
wawancara di TV, saya melihat mereka pakai cincin bermata berlian yang
berkilauan. Walau baru saja dilantik dan rasanya kemarin waktu kampanye
terlihat benar kualitas bahan pakaiannya.
Cobalah
tengok setiap kali kampanye pemilu. Anda bisa melihat betapa senangnya para
pemimpin ketika orasinya dihadiri puluhan ribu pengunjung. Padahal, mereka
tahu persis massa itu datang karena dibayar.
Kita
juga suka memamerkan kepalsuan. Tengoklah sinetron di TV kita. Juga tengok
aneka pemecahan rekor dan penghargaan. Jangan lupa, semua itu ada tarifnya.
Saya saja sering dapat surat ucapan selamat sebagai penerima penghargaan pria
berbusana terbaik. Tapi, hehehe, itu tadi, ada tarifnya. Suka geli saya
membaca CV orang beken yang mau memasukkan penghargaan palsu tadi dalam
CV-nya.
Tapi,
yang paling menyakitkan adalah praktik pemalsuan di dunia pendidikan. Belum
lama ini membaca berita ada Lembaga Manajemen Internasional Indonesia (LMII)
di Jakarta yang mengaku sebagai cabang dari University of Berkeley, Michigan,
Amerika Serikat (AS). Buat masyarakat awam, nama ini memang agak mirip dengan
universitas terkemuka di AS, University of California, Berkeley.
LMII
sudah beroperasi sejak 1993 dan pemerintah baru bertindak sekarang.
Bayangkan, kantornya hanya 4 x 6 meter. Ijazah yang dikeluarkannya tentu saja
bodong.
Pemakai
gelar palsu bukan hanya masyarakat rendahan. Di Riau ada wakil bupati yang
dituding mengantongi ijazah palsu. Juga sejumlah anggota DPRD di Sumbawa
Barat. Dan dulu banyak jenderal pakai gelar MBA, bahkan doktor bodong. Sewaktu
menjadi pansel KPK dulu, saya paling gigih mencoret nama mereka karena ini
cermin integritas.
Namun,
dalam kehidupan, ada saja hal baik yang dilakukan untuk peradaban. IPB,
misalnya, membuat beras sintetis dari singkong, sagu, jagung, dan umbi-umbian
untuk para penderita diabetes.
Kata
pentolan band Aerosmith Steven Tyler, ”Fake
it until you make it.” Itulah yang pernah dilakukan Jepang, Taiwan,
Korea, dan kini Tiongkok. Mereka memalsu barang-barang buatan AS dan
menjualnya dengan harga lebih murah. Kalau sudah kaya, mereka baru tobat dan
dapat keahlian. Tapi, di sini, perilaku konsumtif yang membuat barang bodong
laku, ini konyol sekali. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar