Teater
Amatir Indonesia
Radhar Panca Dahana ; Budayawan
|
KOMPAS,
03 Maret 2015
Sering kali selesai dari sebuah diskusi, seminar atau acara
bincang-bincang di televisi, saya merasa getun, kagum, sekaligus sedih. Dalam
ruang di mana perdebatan yang baru saja usai, para pembicara atau
narasumber-bisa pejabat publik, pemimpin partai, anggota parlemen, atau tokoh
masyarakat-beradu pendapat begitu keras, bertikai bahkan hingga emosional;
mengeluarkan kata kasar sampai tingkat "pelecehan". Debat khas
elite kita.
Namun, maaf, jangan Anda terpukau dulu. Semua itu bukanlah
"kejadian" sebenarnya. Sungguh mati, semua itu hanya sandiwara;
teater kata orang-orang kota zaman kini. Sebab setiba di luar, mereka segera
bersalaman dan berpelukan, cipika-cipiki, bahkan tertawa guyon bersama
dan-boleh jadi-lalu ngopi bersama.
Tak perlu pihak yang sensi(tif) tersinggung karena mungkin
sebagian dari ilustrasi di atas mirip dengan apa yang pernah ia lakukan. Bagi
yang tidak pernah sama sekali, syukurlah, karena ilustrasi di atas memang
hanya ilustrasi dari berbagai kejadian yang sering kali oleh sebagian
kalangan kemudian disebutnya sebagai "fenomena".
Apa yang menjadi maksud dari lukisan kenyataan di atas adalah
fakta bahwa negeri ini kerap menampilkan dirinya sebagai panggung pertunjukan
atau teater yang-dalam kategori saya kebetulan sudah lebih dari 35 tahun
bergelut dalam dunia itu-amatir. Model pemanggungan yang dilakukan, mulai
dari pengambilan peran, akting, gestur hingga business act, terlalu mudah
dibaca sebagai kepura-puraan. Dalam istilah lain: artifisial!
Bagi yang bermata tajam, panggung teater amatir ini sering kita
saksikan. Hampir setiap hari, baik dalam bentuk tontonan langsung maupun via
media massa. Banyak kasus yang dikuak, baik oleh lembaga hukum formal maupun
media sosial informal, bagaimana misalnya teater amatir terjadi di kalangan
para penyusun dan pelaksana anggaran, di mana uang rakyat digelembungkan
sedemikian tinggi untuk sebagian besarnya dibagi sesuai dengan porsi tanggung
jawab atau jabatan aktor-aktor amatir yang bermain di dalamnya.
Kita mafhum semua. Kita pun mafhum ketika semua perangkat hukum,
baik yang lunak maupun keras hanya dijadikan properti atau figuran yang dapat
dipermainkan bahkan dimanipulasi secara kasar. Seolah-olah teater itu dapat
menipu mata fisik ataupun batin masyarakat. Seolah-olah waktu dan ruang tak
bertelinga, tak bermata, tak menjadi sejarah yang nyata.
Teater mutakhir kita
Belakangan ini kita kembali menyaksikan panggung teater amatir
dalam skala yang cukup, ah tidak, tetapi sangat besar. Sebab, ia melibatkan
begitu banyak elite atau petinggi negeri ini.
Tak perlu berbasa-basi atau berlagak santun. Kita sama mengerti,
teater amatir besar-besaran yang mengisi hampir semua kepala berita media
massa, sosial, hingga warung kopi kaum pinggiran, berkaitan dengan
kontroversi pelantikan Kepala Polri baru menggantikan yang lama, Jenderal
(Pol) Sutarman.
Saya tidak perlu mengulangi adegan-adegan dari teater amatir
ini, yang hampir semua pelahap berita menghafalnya jauh lebih baik daripada
hafalan isi konstitusi atau kitab agama masing- masing. Sejak awal, kita
sudah tahu teater itu berlangsung saat sebuah nama, dalam hal ini Komjen Budi
Gunawan dinominasikan sebagai calon Kepala Polri baru. Penunjukan nama itu
sebagai calon tunggal oleh Presiden mungkin jadi pintu masuk atau adegan
pertama.
Adegan kedua jadi sedikit menimbulkan ketegangan ketika mendadak
sang calon tunggal dijadikan tersangka oleh KPK. Dramatika seperti
tersutradarai dengan baik karena ketegangan muncul. Namun, keamatiran itu
terjadi begitu banal dan verbal ketika sang "tersangka" malah
direstui atau disetujui secara aklamatif oleh DPR. Ketegangan yang biasanya
jadi bumbu drama tragedi kini menawarkan sedikit komedi (politik) di kalangan
elite, yang notabene menciptakan kerancuan bahkan kehancuran acuan atau
standar normatif, moral, dan etik di masyarakat luas.
Adegan-adegan berikutnya, kita sama jadi saksi bahkan mungkin
pemain figuran dengan bayaran murah atau mungkin gratisan dari teater tingkat
nasional yang membuat giris ini. Hingga akhirnya ia berpuncak pada monolog
dari seorang hakim (yang bagus sekali menjadi ide sebuah drama, seni yang
sesungguhnya), saat mengumumkan sebuah keputusan yang dianggap banyak
kalangan hukum sebagai tak sah, tidak valid, bahkan merusak tatanan hukum itu
sendiri.
Akan tetapi, itu semua terjadi di negeri yang (konon)
menempatkan hukum dalam posisi tertinggi, bahkan di atas hukum adat, hukum
agama, apalagi hukum preman jalanan. Dia terjadi ketika rakyat
ini-katanya-memiliki a new hope dengan Presiden baru yang benar-benar dipilih
oleh hati dan nurani rakyat. Dia terjadi ketika kita sebagai bangsa
membutuhkan kekuatan (persatuan) hebat semua elemen masyarakat menghadapi
ancaman serius dan tantangan kehidupan global di jangka dekat ini.
Namun, semua itu harus kita alami dalam sebuah pertunjukan
teatrikal murahan dalam negara yang kita cintai ini. Kita bertepuk tangan
untuk komedi tragik ala Aristophanes yang (sebenarnya cuma di panggung tapi)
kini berlangsung nyata di depan kita.
"The show must goes on"
Bagaimana pertunjukan ini harus berakhir? Bagaimana sutradara
atau penulis naskah akan menciptakan akhir cerita? Akhir cerita sedih seperti
kebanyakan drama-drama terkenal dari wilayah totaliter, seperti Rusia,
Tiongkok, atau Eropa Timur, di masa lalu, atau akhir cerita yang
membahagiakan bergaya Hollywood? Indonesia, negeri yang dalam takdir dan
nasibnya sudah jadi bagian bukan hanya dalam genetika, melainkan juga
primordialitas kesejarahan kita ini, harus berani menciptakan skenarionya
sendiri, penutup pertunjukannya sendiri.
Tak ada pihak yang lebih pantas melakukan itu, kecuali sutradara
yang tertera dalam poster atau katalog pertunjukan: Presiden Republik
Indonesia. Bukan sutradara-sutradara bayangan, yang hanya mencari nama,
nebeng ngetop, mencari keuntungan dari sukses, atau mengintervensi dengan
skenario kepentingannya sendiri. Bagi sutradara sejati, the show must goes
on, rakyat dan bangsa ini-pertunjukan dan teater profesional yang
sesungguhnya-harus terus berlanjut, harus dipertahankan, apa pun taruhannya.
Bukan hanya gengsi, nama, bahkan jabatan dan nyawa jadi taruhannya. Lebih
baik mati di kalangan, mati dalam kesejatian di atas panggung, ketimbang
meregang nyawa di jalanan sebagai pesakitan moral, konstitusi dan cita-cita
bangsa dan para pendahulunya.
Kita tak perlu lagi disuguhi kepura-puraan manipulatif ini, tak
bisa lagi menerima pembangkangan pada etika, hukum dan kesantunan budaya yang
telah menegakkan negara ini selama 70 tahun. Kita tak bisa menolerir perilaku
segelintir pihak menciptakan "negara dalam negara", negara bohongan
dari komplotan yang mendestruksi negara sejati yang (pernah) kita bela dengan
darah dan nyawa.
Kini bukan kesejatian seorang pemimpin lagi dibutuhkan, bersama
iman, keberanian dan "menjalankan yang benar bukan berpikir benar",
sebagaimana adagium sakti untuk seorang pemimpin besar. Kita tidak hanya
meminta pemimpin yang berani mengatasnamakan dirinya sebagai "pilihan
rakyat" untuk berpihak pada mereka yang telah memilihnya. Namun, kita
juga mendesak dan menuntut agar sang sutradara sesungguhnya menyelamatkan
bangsa dan negara bagi anak cucu pada masa depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar