Bola
Panas APBD Jakarta
Yuna Farhan ; Mahasiswa PhD Kajian
Indonesia, University of Sydney
|
KOMPAS,
03 Maret 2015
Untuk pertama kalinya dalam sejarah, pembahasan anggaran
berujung pada hak angket terjadi di DKI Jakarta. Gubernur DKI Jakarta Basuki
Tjahaja Purnama tetap bergeming menolak kompromi dengan legislatif daerah.
Bukan hanya nasib sembilan juta warga Jakarta yang
pembangunannya bergantung pada penetapan APBD 2015. Kebuntuan (deadlock) persetujuan anggaran ini
juga dapat bergulir menjadi bola panas lengsernya orang nomor satu di DKI
Jakarta dari kursi gubernur DKI Jakarta.
Sesuai dengan undang-undang, dengan tidak adanya persetujuan
antara eksekutif dan legislatif dalam menetapkan anggaran, berimbas pada
kerugian besar yang akan dialami warga Jakarta. Pembangunan Ibu Kota akan
terhambat karena pemda hanya bisa mengeluarkan anggaran keperluan bulanan
yang besarnya paling tinggi sebesar angka APBD sebelumnya.
Sebenarnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah
Daerah mencoba mengatasi berbagai keterlambatan yang dialami banyak daerah
selama ini. Dalam UU ini, jika sampai dengan tahun anggaran berjalan anggaran
belum ditetapkan, baik kepala daerah maupun DPRD dikenai sanksi berupa tidak
dibayarkannya hak-hak keuangannya. Namun, tampaknya, bagi kalangan parlemen
di Ibu Kota, sanksi tidak digaji bukanlah momok.
Dana siluman
Jika ditarik ke belakang, molornya penetapan anggaran ini tak
terlepas dari masa transisi pergantian anggota legislatif pada pemilu lalu.
Berdasarkan catatan Kompas (28/2), eksekutif telah mengajukan kebijakan umum
anggaran (KUA) sebagai dasar RAPBD kepada anggota DPRD periode sebelumnya
sesuai dengan peraturan perundang-undangan atau Juni 2014. Namun, belum
sempat dibahas, terjadi pergantian anggota DPRD. KUA baru pun diajukan
kembali oleh pihak eksekutif kepada DPRD periode baru. Karena Dewan harus
mempersiapkan internal organisasinya, RAPBD baru ditetapkan pada akhir
Januari.
Terkuak kabar, DPRD ternyata masih membahas RAPBD setelah
paripurna penetapan. Pembahasan setelah paripurna jelas merupakan tindakan
ilegal, ruang gelap yang dapat menjadi tumbuh suburnya para rente anggaran.
Setelah paripurna penetapan anggaran, publik dan media sudah tidak memantau
lagi, dengan anggapan paripurna merupakan akhir dari proses penetapan
anggaran. Dari titik inilah muncul "dana siluman" usulan Dewan Rp
8,8 triliun. Pasalnya, Dewan tak mau kalah dan tetap mengusulkan RAPBD
menurut versi pembahasan mereka.
Dalam konteks fungsi anggaran, memang UU No 17/2003 tentang
Keuangan Negara menjamin fungsi anggaran Dewan untuk mengusulkan perubahan
anggaran dari sisi pendapatan dan belanja sepanjang tidak mengakibatkan
defisit. Namun, kerangka hukum belum mengatur secara tegas, sejauh mana
diskresi fungsi anggaran Dewan dalam mengusulkan perubahan anggaran.
Sebenarnya Dewan memiliki mekanisme jaring aspirasi sebagai
dasar untuk memastikan aspirasi konstituennya yang disampaikan dalam
mekanisme musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) diakomodasi dalam
anggaran. Akan tetapi, Dewan yang saat ini baru bertugas belum terlibat pada
saat pelaksanaan musrenbang yang merupakan dasar dalam penyusunan anggaran.
Jadi, bisa dikatakan, Dewan saat ini tidak memiliki kapasitas dalam
mengusulkan kegiatan dalam anggaran. Peran Dewan ini seharusnya lebih
memfokuskan fungsi anggarannya untuk mengkritisi efektivitas alokasi
anggaran.
Namun, apa yang dilakukan Dewan dengan mengusulkan RAPBD
versinya sendiri jelas mengangkangi akal sehat publik. Fungsi anggaran Dewan
tidak bisa digunakan untuk mengeksekusi anggaran. Terlebih lagi "dana
siluman" ini sudah ada sejak APBD 2014. Dari hasil investigasi berbagai
media terungkap, penyedia pengadaan perangkat uninterruptible power supply
(UPS) ke sejumlah sekolah banyak yang tidak memiliki kapasitas. Ini menunjukkan,
"dana siluman" yang muncul dari Dewan bukan digunakan untuk
kepentingan aspirasi konstituennya, melainkan mencari rente dari usulan
anggaran tersebut.
Sangat mungkin "dana siluman" itu telah
dikapling-kapling oleh anggota Dewan dengan menyodorkan perusahaan tertentu
yang bersedia memberikan kompensasi uang untuk pengadaan barang ataupun
perusahaan rekanan yang memiliki keterkaitan dengan anggota Dewan tersebut.
Praktik ini sebenarnya lazim terjadi di banyak daerah. Bahkan,
kasus-kasus korupsi anggaran yang melibatkan anggota DPR dalam pembahasan
anggaran mengonfirmasi terjadinya praktik ini. Tak mengherankan pembahasan
anggaran yang seharusnya menjadi ajang kontestasi politik terpenting setelah
pemilu selalu berjalan mulus dengan berbagai kompromi dibelakangnya. Bentuk
kompromi bermacam-macam, mulai dari jatah dana aspirasi, titipan "dana
siluman", sampai bentuk suap.
Sejatinya, melalui pembahasan anggaran, publik dapat melihat
sejauh mana arah keberpihakan partai-partai politik di legislatif dan
eksekutif dalam memenuhi kesejahteraan rakyat. Praktiknya, pembahasan
anggaran tak ubahnya ritual tahunan antar-elite berkuasa dalam membagi-bagi
kue anggaran. Praktik ini dapat dilihat sebagai bentuk kartel politik dalam
anggaran. Semua partai politik, baik pemenang pemilu maupun yang kalah,
bersama-sama membajak kue anggaran untuk kepentingannya.
Dalam konteks DKI Jakarta, langkah Basuki saat ini perlu dilihat
sebagai upayanya melawan kartel politik dalam anggaran. Upaya melawan kartel
politik anggaran bukanlah hal gampang. Upaya transparansi yang dilakukan
Pemprov DKI Jakarta dengan menampilkan data APBD yang telah ditetapkan dalam
dua tahun terakhir dengan cukup terperinci dalam situs web tidaklah cukup.
Menurut International Budget Partnership, setidaknya terdapat
tujuh dokumen kunci anggaran yang harus dipublikasikan, seperti rancangan
anggaran, anggaran yang ditetapkan, citizen budget atau versi anggaran yang
mudah dipahami warga, laporan rutin realisasi anggaran, laporan tengah
semester anggaran, laporan realisasi akhir tahun anggaran, dan laporan audit
anggaran.
Memang, Pemprov DKI Jakarta juga telah memublikasi RAPBD 2015
versi Pemprov dengan menggunakan e-budgeting dan versi DPRD. Namun, hal itu
baru dilakukan setelah terjadinya perseteruan. Tentu hal ini bisa menjadi
langkah tepat untuk meraih dukungan publik melalui membandingkan versi yang
asli dengan yang memasukkan dana siluman.
Fungsi anggaran Dewan
Ke depan, inisiatif e-budgeting perlu diperkuat, tidak hanya
dalam konteks memudahkan kerja Pemprov DKI Jakarta, tetapi juga membuka akses
keterlibatan warga Jakarta dan fungsi anggaran DPRD itu sendiri. E-budgeting
seharusnya juga dapat menampilkan asal-usul suatu kegiatan dalam APBD. Jadi,
publik juga bisa menelusuri pada tahapan mana terjadinya perubahan atau
proses naik-turunnya anggaran, apakah terjadi saat penyusunan anggaran di
eksekutif atau pembahasan anggaran di legislatif.
Dewan juga akan lebih mudah memastikan apakah suatu kegiatan di
APBD merupakan usulan kebutuhan dari masyarakatnya atau bukan. Jadi, fungsi
anggaran Dewan bisa lebih diarahkan untuk menjamin hasil-hasil musrenbang
daerah pemilihannya diakomodasi dalam anggaran. Fungsi anggaran Dewan dalam
mengusulkan perubahan anggaran menjadi lebih akuntabel sepanjang perubahan
tersebut terekam dan dapat ditelusuri alasannya. Publik pun akan dapat
menilai, mana Dewan yang betul-betul memperjuangkan aspirasi warganya dan
perlu didukung dalam pembahasan anggaran dan Dewan yang mengusulkan
"dana siluman".
Partisipasi warga juga perlu ditingkatkan dengan mengembangkan
aplikasi-aplikasi e-participation yang membuka ruang partisipasi warga, baik
untuk terlibat dalam proses perencanaan penganggaran maupun dalam pengawasan
pelaksanaannya. Dengan infrastruktur teknologi informasi sekelas Ibu Kota,
peluang ini cukup terbuka untuk dilakukan.
Keberanian Basuki melawan kartel politik anggaran dengan risiko
dilengserkan patut didukung. Namun, upaya perlawanan ini tidak cukup
dilakukan secara sporadis. Langkah komprehensif keterbukaan anggaran dan
pelibatan warga bisa menjadi momentum, tidak hanya perbaikan bagi Jakarta,
tetapi juga barometer bagi daerah lainnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar