Revisi
UU Ketenagakerjaan
M Hadi Shubhan ; Pengajar
Hukum Perburuhan dan Filsafat Hukum
pada Program Doktor Fakultas Hukum Universitas Airlangga
|
KOMPAS,
04 Maret 2015
Cukup mengejutkan, dari 12 rancangan undang-undang yang
diajukan pemerintah dalam Program Legislasi Nasional 2015, salah satunya
adalah usulan RUU Ketenagakerjaan.
RUU Ketenagakerjaan ini dimaksudkan akan mengubah dan
mungkin mengganti UU Ketenagakerjaan yang saat ini sedang berlaku, yaitu UU
No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Usulan perubahan dan/atau penggantian RUU
Ketenagakerjaan ini jelas mengingkari Nawa Cita Presiden Joko Widodo dan
kampanye visi misi mengenai kerja layak, upah layak, dan hidup layak.
Perlindungan yang rasional
Ada beberapa alasan mengapa usulan RUU Ketenagakerjaan
tersebut mengingkari Nawa Cita dan visi kerja layak, upah layak, dan hidup
layak. Pertama, UU Ketenagakerjaan yang saat ini berlaku tak layak diganti
karena sudah memberikan perlindungan yang rasional terhadap pekerja/buruh dan
tidak mematikan dunia usaha. Penggantian UU No 13/2003 tentu akan sangat
merugikan pekerja/buruh karena sasarannya adalah pemaksimalan hak-hak
pengusaha dan peminimalan hak-hak pekerja/buruh.
Beberapa konsep yang ada dalam UU No 13/2003 memberikan
perlindungan kepada pekerja dan karena itu dicoba diminimalkan kaum
pengusaha. Sebutlah seperti pengaturan mengenai upah minimum, pengaturan
mengenai prosedur dan pesangon pemutusan hubungan kerja (PHK), pengaturan
mengenai batasan pekerja kontrak (PKWT), dan pengaturan mengenai penempatan
tenaga kerja asing.
Dalam UU Ketenagakerjaan diatur mengenai penetapan upah
minimum yang didasarkan pada kebutuhan hidup layak. Pengusaha selama ini
berkeinginan agar upah pekerja/buruh diserahkan pada mekanisme pasar. Jika
penetapan upah minimum dihilangkan dari UU, pengusaha akan membayar buruh
sesukanya dan buruh tak berdaya selain menerima karena keterpaksaan.
Pengaturan mengenai prosedur PHK dalam UU Ketenagakerjaan
juga diatur ketat dan berbelit dengan maksud agar mempersulit PHK terhadap
pekerja/buruh. Dalam UU No 13/2003 ditentukan bahwa untuk melakukan PHK harus
dengan alasan yang dibenarkan dalam UU, dan alasan-alasan yang ditentukan
sangat limitatif.
Demikian juga mengenai tahapan-tahapan PHK yang berjenjang
panjang, mulai dari bipartit, mediasi, pengadilan hubungan industrial (PHI),
dan sampai kasasi ke MA. Dalam UU No 13/2003 ditentukan jumlah kompensasi PHK
bagi pekerja/buruh yang terdiri dari uang pesangon, uang penghargaan masa
kerja, dan/atau uang penggantian hak. Jumlah kompensasi PHK dalam UU
Ketenagakerjaan ini termasuk tertinggi dari UU Ketenagakerjaan yang pernah
ada.
Pengaturan mengenai buruh kontrak juga sangat dibatasi
oleh UU Ketenagakerjaan. Hanya empat jenis pekerjaan yang boleh menggunakan
buruh kontrak, yakni pekerjaan sementara, tidak terlalu lama, musiman, dan
produk baru. Di luar empat pekerjaan itu, UU No 13/2003 melarang secara
tegas. Pengusaha dalam praktik terselubungnya mempekerjakan banyak buruh
kontrak untuk semua pekerjaan. Dengan mempekerjakan buruh kontrak, mereka
akan bisa dengan mudah memutus buruh kontrak tersebut dan tanpa kewajiban
membayar pesangon.
Mengenai penggunaan tenaga kerja asing (TKA) juga diatur
secara ketat dalam UU Ketenagakerjaan. Tidak semua pekerjaan dapat
menggunakan TKA, tetapi hanya pekerjaan atau jabatan tertentu, serta tidak
bersifat permanen, tetapi hanya untuk waktu tertentu saja. Filosofi
penggunaan TKA untuk jabatan tertentu agar tidak semua jabatan dapat diisi
oleh TKA, apalagi untuk jabatan bidang personalia tentu tidak nyaman jika
diisi orang asing.
Pembatasan waktu juga dimaksudkan agar tidak ada
ketergantungan terhadap TKA serta adanya transfer pengetahuan kepada tenaga
lokal melalui pendampingan. Penggunaan TKA juga diharuskan memberikan
kompensasi kepada negara sebagai pendapatan negara.
UU Pengupahan lebih mendesak
Alasan kedua adalah justru bukan revisi UU Ketenagakerjaan
yang merupakan prioritas, melainkan RUU lain dalam lingkup ketenagakerjaan
yang justru dibutuhkan, seperti RUU Sistem Pengupahan dan RUU TKI. UU No
13/2003 sudah cukup baik dan bahkan sudah diperbaiki beberapa kali melalui
putusan Mahkamah Konstitusi dalam uji materi. Setidaknya lebih dari enam
putusan MK yang menganulir beberapa pasal dalam UU Ketenagakerjaan dan
memperbaiki beberapa pasal lainnya.
RUU Sistem Pengupahan seharusnya jadi prioritas utama
pemerintahan Jokowi, sebagaimana naskah visi misi yang diserahkan ke KPU pada
waktu pencapresan dulu. Selain sudah merupakan janji Presiden Jokowi, RUU
Sistem Pengupahan juga secara filosofis diperlukan sebagai upaya untuk menata
sistem pengupahan secara nasional. Jika sistem pengupahan secara nasional
sudah stabil, hubungan industrial akan menjadi kondusif dan harmonis.
Permasalahan yang ada terutama berkaitan dengan pengupahan buruh akan dapat
diselesaikan dengan baik, dan hal ini akan menciptakan iklim investasi yang
kondusif.
Sejalan dengan pemikiran filosofis di atas, pembentukan UU
tentang Sistem Pengupahan dan Perlindungan Upah juga diperlukan dalam rangka
mengontrol pemerintah dalam melaksanakan urusan pengupahan pekerja/buruh.
Kontrol terhadap pemerintah tersebut adalah adanya bentuk transparansi
kelembagaan, prosedur penetapan upah minimum, pengawasan pelaksanaan
pengupahan, dan penegakan hukum dalam kaitan dengan ketentuan upah pekerja/buruh
Pembentukan UU tentang Sistem Pengupahan dan Perlindungan
Upah pekerja/ buruh pada dasarnya tidak hanya bermakna filosofis dan politik,
tetapi juga memiliki makna sosiologis. Terciptanya sistem pengupahan yang
baik, maka akan menyejahterakan pekerja/buruh. Dengan pekerja/buruh
sejahtera, tingkat produktivitasnya akan meningkat. Terjadinya keresahan
sosial akibat sering terjadinya perselisihan tentang upah dapat diminimalkan.
Ada hal menarik yang ditawarkan pemerintah berkaitan
dengan revisi UU Ketenagakerjaan, yaitu akan dihapuskannya sistem outsourcing
(alih daya) dari hukum ketenagakerjaan. Tawaran tersebut menarik, tetapi
hanya merupakan jebakan untuk mengambil "tiket" revisi RUU
Ketenagakerjaan. Dikatakan menarik karena bisa saja benar sistem alih daya
akan dihapus dari hukum ketenagakerjaan, tetapi-dengan tiket revisi
tersebut-justru hak-hak buruh yang lebih fundamental, seperti upah minimum,
pesangon PHK, dan pembatasan buruh kontrak, akan ikut dihapus. Potensi ke
arah itu sangat besar mengingat, meskipun sangat pro-rakyat, termasuk di
dalamnya pro-buruh, Presiden Jokowi dikepung oleh taipan-taipan dan
saudagar-saudagar yang tentunya tidak akan memaksimalkan kesejahteraan buruh.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar