Mengakhiri
Liberalisasi Pengelolaan Air
W Riawan Tjandra ; Pengajar
Hukum Kenegaraan Fakultas Hukum
dan Pascasarjana Universitas Atma Jaya Yogyakarta
|
KOMPAS,
04 Maret 2015
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013 tertanggal 17 September 2014 telah
membatalkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Menurut
pertimbangan hukum MK dalam putusan ini, pelaksanaan UU SDA telah melanggar
syarat konstitusionalitas (conditionally
constitutional) pemberlakuan UU sebagaimana pernah ditentukan dalam
putusan MK No 058-059-060-063 /PUU-II/2004. Dalam putusan itu ditegaskan,
meskipun permohonan uji materi atas UU SDA sebelumnya pernah ditolak MK tahun
2004, putusan MK tahun 2004 memutuskan bahwa manakala pada kemudian hari pelaksanaan
UU SDA ditafsirkan berbeda dari syarat konstitusional penerapannya
sebagaimana ditentukan dalam putusan MK tahun 2004, MK dapat menguji kembali
UU tersebut.
Dalam putusan MK tahun 2004, MK menegaskan, syarat
pengelolaan SDA oleh pemerintah harus diletakkan di atas fondasi hak
menguasai negara. Beberapa ketentuan dalam UU SDA memang mengundang
kontroversi yang membuka katup liberalisasi pengelolaan air, misalnya dengan
diadopsinya konsep hak guna usaha air. MK sendiri pernah membuat penafsiran
baru atas konsep hak menguasai negara, termasuk dalam hal pengelolaan air.
Dalam putusan MK No 36/PUU-X/2012 ditegaskan bahwa terkait
dengan hak menguasai negara, peringkat pertama harus diletakkan pada
pengelolaan sendiri atas sumber daya alam yang bertujuan meningkatkan APBN
dan dipergunakan untuk meningkatkan ke arah sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. Demokrasi ekonomi Indonesia yang berwatak kolektif tak boleh mengarah
pada konsep demokrasi ekonomi yang individualistik.
Hak guna usaha air dalam UU SDA ternyata telah
dilaksanakan dengan menyubordinasikan hak pakai air dengan memperlihatkan
tata kelola SDA yang mengarah pada sistem ekonomi kapitalis yang
individualistik. Bahkan, di sejumlah tempat, akibat regulasi pelaksanaan atas
UU SDA yang dikeluarkan pemerintah, misalnya dalam PP No 42/2008 tentang
Pengelolaan SDA dan PP No 69/2014 tentang Hak Guna Air, terlihat kasatmata
pengelolaan SDA kian diserahkan pada sistem ekonomi liberal yang memungkinkan
privatisasi pengelolaan air.
Hal inilah yang kemudian menjadi salah satu konsiderasi
bagi MK untuk membatalkan UU SDA guna mengembalikan roh hak menguasai negara
atas air sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 UUD Negara RI 1945.
Kian meningkatnya kebutuhan masyarakat atas air
menyebabkan semakin meningkatnya nilai ekonomi air dibandingkan dengan nilai
dan fungsi sosialnya. Kondisi ini memicu terjadinya konflik kepentingan
antarsektor, antarwilayah, dan antarindividu terkait dengan penggunaan SDA.
Pengelolaan SDA yang terlalu bersandar pada nilai ekonomi air dinilai
cenderung merayakan kepentingan pemilik modal dan melalaikan fungsi sosial
SDA. Akibatnya, UU SDA dinilai gagal dalam memberikan proteksi terhadap
masyarakat ekonomi lemah dengan menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan SDA
yang selaras dengan fungsi sosial, pelestarian lingkungan hidup, dan ekonomi
yang berpihak kepada rakyat kecil.
Menyimpang
Dalam perspektif internasional, pengelolaan SDA setelah
putusan MK tahun 2004 juga dinilai terlalu banyak menyimpang dengan mandat
Pasal 12 Ayat (1) International
Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) yang mewajibkan
setiap negara peserta ICESCR menjamin setiap warga negaranya untuk menikmati
parameter tertinggi dalam pemenuhan hak-hak atas kesehatan secara fisik dan
mental. Air merupakan kebutuhan paling mendasar bagi manusia. Pengelolaan SDA
yang mengabaikan pemenuhan hak- hak warga negara karena terlalu berpihak
kepada pemilik modal akan menyebabkan negara gagal dalam memenuhi kebutuhan
dasar bagi warga negaranya.
Dalam pandangan kovenan internasional tersebut, hak akses
atas air diletakkan sebagai faktor yang menentukan kesehatan yang baik dan
merupakan bagian dari HAM. Sebagai bagian dari hak asasi warga negara, negara
wajib menghormati (to respect) dan
melindungi (to protect) hak warga
negara atas air. Hak penguasaan negara atas air dikatakan masih eksis
bilamana negara yang oleh konstitusi diberikan mandat untuk membuat kebijakan
(beleid) masih memegang kendali
untuk melaksanakan tindakan pengurusan (bestuursdaad),
tindakan pengaturan (regelendaad),
tindakan pengelolaan (beheersdaad),
dan tindakan pengawasan (toezichtshoudendaad).
MK menilai bahwa pasal-pasal yang dimohon uji materi dalam
UU SDA itu merupakan jantungnya UU SDA sehingga MK melalui putusan No
85/PUU-XI/2013 membatalkan berlakunya
UU SDA. Guna mencegah terjadinya kekosongan norma hukum, MK melalui putusan
itu juga memberlakukan kembali UU No 11 Tahun 1974 tentang Pengairan, yang
sebelumnya sudah dicabut berlakunya oleh UU SDA tahun 2004.
Putusan MK ini merupakan putusan yang progresif karena
dapat menghentikan praktik-praktik liberalisasi air secara terencana yang
dilegalisasi oleh berbagai peraturan perundang-undangan pelaksanaan dari UU
SDA. Namun, dengan putusan yang serta-merta memberlakukan kembali UU No
11/1974, bisa timbul penilaian bahwa MK justru menguji materi Pasal 20 UUD
1945 yang pada intinya mengatur kewenangan legislasi DPR dan presiden.
Pemberlakuan (kembali) suatu UU menurut UUD merupakan domain kewenangan
legislasi DPR dan presiden.
Meskipun putusan MK tersebut bermaksud menghentikan
liberalisasi air, di sisi lain, pemberlakuan kembali suatu UU yang sudah
dicabut berlakunya oleh UU yang dibatalkan oleh MK bisa menimbulkan
kontroversi ketatanegaraan. MK bisa dinilai melanggar kaidah ketatanegaraan
dalam prinsip relasi konstitusional antara MK, DPR, dan presiden dengan
menempatkan diri sebagai positive legislator tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar