Inikah
Akhir Cerita KPK…
Tri Agung Kristanto ; Wartawan
Kompas
|
KOMPAS,
04 Maret 2015
"Kami, KPK, terima kalah,
tetapi tidak berarti harus menyerah. Masih banyak kasus di tangan kami, masih
ada 36 kasus yang harus diselesaikan."
Itulah pernyataan yang disampaikan Pelaksana Tugas Ketua
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Taufiequrachman Ruki saat jumpa pers
bersama pimpinan KPK lainnya di Jakarta, Senin (2/3). Turut hadir dalam jumpa
pers itu, Jaksa Agung HM Prasetyo, Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal
Badrodin Haiti, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Tedjo Edhy
Purdijatno, serta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly (Kompas,
3/3).
Pernyataan Ruki itu menyentak. KPK kalah? Hari Senin pula,
pernyataan Ketua KPK periode 2003-2007-yang diminta kembali memimpin KPK oleh
Presiden Joko Widodo (Jokowi) setelah lembaga anti rasuah tersebut mengalami
kekosongan jabatan tiga pimpinannya-itu menimbulkan reaksi di media sosial
dan masyarakat. Pernyataan terkait pelimpahan penanganan kasus Komisaris
Jenderal Budi Gunawan kepada Kejaksaan Agung itu langsung menimbulkan sikap
pro dan kontra. Aktivis anti korupsi yang selama ini giat mendukung upaya
pemberantasan korupsi oleh KPK umumnya tak dapat menerima langkah pimpinan KPK
tersebut.
Reaksi keras datang dari sebagian besar karyawan KPK
dengan menggelar unjuk rasa, yang juga dihadiri oleh Ruki dan Pelaksana Tugas
Wakil Ketua KPK Indriyanto Seno Adji. Karyawan KPK pun menolak pelimpahan
perkara Budi Gunawan ke Kejaksaan Agung. Pimpinan KPK diminta mengajukan
upaya hukum luar biasa, peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA)
terhadap putusan praperadilan dari hakim tunggal Sarpin Rizaldi di Pengadilan
Negeri (PN) Jakarta Selatan, yang menyatakan penetapan tersangka terhadap Budi
Gunawan oleh KPK adalah tidak sah. Pimpinan KPK pun diminta menjelaskan
secara terbuka tentang strategi pemberantasan korupsinya. Pimpinan KPK saat
ini, termasuk tiga pelaksana tugas, bertugas hingga Desember mendatang.
Wakil Ketua KPK Zulkarnain pun mengakui, pelimpahan
perkara Budi Gunawan ke Kejaksaan Agung bukan hanya kekalahan KPK, melainkan
juga kekalahan semua pihak. Budi Gunawan, calon kepala Polri yang akhirnya
dibatalkan oleh Presiden Jokowi, dinyatakan oleh KPK sebagai tersangka kasus
penerimaan gratifikasi, yang merupakan bagian dari korupsi.
Namun, penetapan tersangka itu dibatalkan oleh hakim
Sarpin pada Februari lalu. KPK dinilai tak tepat melaksanakan kewenangannya.
Budi Gunawan disebut bukan penegak hukum dan bukan penyelenggara negara yang
dapat dikenai ketentuan Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
(KKN).
Pelemahan KPK
Sejak KPK menetapkan Budi Gunawan menjadi tersangka, kala
itu diumumkan oleh Ketua KPK Abraham Samad dan Wakil Ketua KPK Bambang
Widjojanto pada 13 Januari 2015, gelombang reaksi yang dianggap sebagai upaya
pelemahan terhadap KPK terus bergulung.
Bambang ditangkap, walau kemudian dibebaskan, terkait
dugaan merekayasa keterangan palsu terkait perkara sengketa Pemilihan Umum
Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, di
Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2010. Abraham ditetapkan sebagai tersangka
untuk pemalsuan dokumen terkait kependudukan Feriyani Lim tahun 2007. Abraham
juga dibidik terkait dugaan pelanggaran UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK,
terutama Pasal 36, sebab melakukan pertemuan dengan tersangka atau pihak lain
yang diduga langsung atau tidak langsung terkait kasus korupsi.
Dengan dua pimpinan KPK sebagai tersangka, serta Busyro
Muqoddas sudah berakhir masa tugasnya, pimpinan KPK pun tinggal dua orang,
yakni Zulkarnain dan Adnan Pandu Praja. Keduanya pun dilaporkan ke Badan
Reserse Kriminal Polri oleh sejumlah pihak. Seperti Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono tahun 2009, saat pimpinan KPK tinggal dua orang, Presiden Jokowi
juga mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk
mengisi kekosongan pimpinan KPK dengan tiga pelaksana tugas. Bedanya,
Yudhoyono saat itu menegaskan, perkara yang diduga melibatkan pimpinan KPK
Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah tak perlu dilanjutkan ke pengadilan
(Kompas, 23/11/2009).
Bahkan, sewaktu penyidik KPK Novel Baswedan ditersangkakan
oleh kepolisian pada 2012, Yudhoyono kembali "membela" KPK, dengan
menyatakan penanganan kasus itu tidak tepat. Saat ini, Novel pun kembali
dibidik kepolisian terkait kasus dugaan penganiayaan saat bertugas di Polres
Bengkulu pada 2004. Namun, sampai hari ini, Presiden Jokowi hanya meminta KPK
dan Polri harus menjalankan hukum sesuai aturan sehingga tidak menimbulkan
gesekan (Kompas, 23/1). Bambang dan Abraham pun dinonaktifkan, tanpa
berbicara tentang perkara yang saat ini ditangani kepolisian yang
dipersepsikan oleh berbagai kalangan sebagai upaya pelemahan terhadap KPK.
Justru setelah KPK melimpahkan kasus Budi Gunawan kepada
Kejaksaan Agung dan kemungkinan dilimpahkan ke Polri kembali, Badrodin Haiti
memastikan penyelidikan kasus Zulkarnain terkait dugaan penerimaan suap saat
masih menjadi jaksa di Jawa Timur tahun 2008 ataupun kasus Adnan terkait
dugaan pemalsuan surat notaris dan penghilangan saham ditunda (Kompas, 4/3).
Kenyataan ini membuka penafsiran, penundaan perkara dua pimpinan KPK itu
dibarter dengan penyerahan KPK dalam kasus Budi Gunawan.
Tentu penafsiran itu belum tentu benar. Namun, dengan
sikap pimpinan KPK yang mengaku kalah, posisi KPK pun dirasakan kian melemah
di hadapan penegak hukum yang lain, terutama Polri. Padahal, saat ini Komisi
Yudisial (KY) dan MA tengah menyelidiki dugaan penyimpangan hukum yang
dilakukan hakim Sarpin saat memutuskan gugatan praperadilan Budi Gunawan.
Sikap KPK menyerahkan kasus Budi Gunawan kepada Kejaksaan Agung pun tidak
sejalan, bahkan bisa diartikan melawan UU No 30/2002.
Sesuai UU No 30/2002, KPK dibentuk sebagai jawaban dari
rendahnya kepercayaan rakyat kepada kepolisian dan kejaksaan dalam
pemberantasan korupsi. KPK pun berwenang mengambil alih penanganan kasus
korupsi yang ditangani kepolisian atau kejaksaan serta mengoordinasikan
penanganan kasus korupsi. Tidak ada kewenangan atau tanggung jawab KPK untuk
melimpahkan perkara korupsi yang sedang ditanganinya. KPK bisa melimpahkan
perkara ke kejaksaan atau Polri jika perkara itu nyata-nyata bukan tidak
pidana korupsi atau terkait tindak pidana korupsi.
Setelah hakim Sarpin memutuskan perkara praperadilan dari
Budi Gunawan, posisi KPK kian lemah. Sebenarnya, jika tak ingin mengajukan
PK, pimpinan KPK bisa saja tidak melimpahkan perkara Budi Gunawan ke
kejaksaan karena putusan praperadilan tak mengharuskan perkara itu diteruskan
dan ditangani penegak hukum yang lain.
Dengan putusan itu, Budi Gunawan bukan tersangka lagi. Ia
orang bebas. KPK bisa saja memperbaiki penyidikannya, memperkuat bukti, dan
menetapkan kembali Budi Gunawan sebagai tersangka. Atau, pimpinan KPK saat
ini membiarkan saja perkara itu. UU KPK menegaskan, lembaga anti rasuah itu
tak boleh menghentikan penyidikan atau menerbitkan surat perintah penghentian
penyidikan (SP3). Dalam kasus Budi Gunawan, pengadilanlah yang tidak
membenarkan perkara itu dilanjutkan saat itu. Putusan praperadilan bukanlah
putusan akhir terkait pokok perkara atau memutus benar-salah seorang
tersangka/terdakwa, melainkan hanya berkaitan dengan tata cara atau hukum
acara.
Dalam berbagai kesempatan, Wakil Presiden M Jusuf Kalla
mengingatkan, KPK bisa keropos atau hancur bukan oleh orang lain, melainkan
dari dalam dirinya sendiri. Tentu saja peringatan ini bukan ditujukan kepada
Ruki dan pimpinan KPK saat ini. Meskipun aktivis anti korupsi dan karyawan
KPK yang berunjuk rasa sejak awal mempertanyakan penunjukan Ruki sebagai
pelaksana tugas pimpinan KPK.
Tantangan yang dihadapi KPK saat ini berbeda dengan
situasi yang dihadapinya saat memimpin KPK pertama kali, dengan mengutamakan
pembangunan institusi dan sistem. KPK saat ini membutuhkan lebih dari sekadar
kemampuan berkomunikasi yang baik antara pimpinan dan penegak hukum yang
lain, tetapi juga ketegasan dan keberpihakan dari pemimpin negara.
Sikap politik yang tegas, berpihak kepada upaya
pemberantasan korupsi yang nyata, saat ini jauh lebih dibutuhkan daripada
sekadar permintaan agar antarpenegak hukum tidak saling gesekan atau janji di
atas selembar kertas. Kriminalisasi terhadap pimpinan (nonaktif) dan karyawan
KPK bisa dihentikan sementara karena menimbulkan rasa ketidakadilan dalam
masyarakat. Presiden adalah pengendali kepolisian dan kejaksaan sehingga
sikap politiknya yang menolak negara lemah dalam pemberantasan korupsi,
dengan mewujudkan penegak hukum yang bebas dari KKN, harus terlihat pada
institusi penegak hukum itu.
Saat ini, KPK berada di titik nadir. Untuk kali pertama,
setelah 13 tahun terbentuk, komisi yang sempat menjadi tempat berguru
berbagai negara dalam pemberantasan korupsi serta selalu dibanggakan oleh
penyelenggara negara sebagai kebijakan yang benar untuk memerangi korupsi di
negeri ini mengaku kalah. Kalah memang bukan berarti menyerah atau salah.
Namun, kalah berarti mengakui keunggulan pihak lain. Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) mengartikan pula, mengakui keunggulan lawan. Padahal, UU No
30/2002 menyebutkan, KPK adalah lembaga unggul (superbody) dalam pemberantasan korupsi, "mengatasi"
keterbatasan kepolisian dan kejaksaan.
Jika lembaga super itu sudah mengaku kalah, apalah
artinya? Dalam berbagai komik tentang superhero, misalnya mengenai Batman,
Superman, Gundala, Godam, atau Spiderman, ketika mereka tak hadir, karena
berbagai alasan, kejahatan pun merajalela. Superhero pun manusia. Mereka
pernah salah atau kalah, tetapi harapan masyarakat dan pemerintah yang ingin
wilayahnya bersih dari orang jahat mampu "menghidupkan" superhero
itu dan kebaikan akan menang.
Dalam kondisi saat ini, walau sejumlah kalangan menilai
KPK sudah mati serta mengirimkan karangan bunga dukacita, tidaklah mudah
untuk membunuh KPK, seperti mematikan komisi anti korupsi lain yang pernah
dibentuk oleh pemerintah sejak masa Orde Lama hingga masa pemerintahan KH
Abdurrahman Wahid. Berbagai komisi, badan, atau tim itu mati sebab ketiadaan
dukungan politik dari pemimpin negara dan penyelenggara lainnya. Kondisi yang
sama juga terjadi pada komisi anti rasuah di negara lain, seperti di Korea
Selatan dan Kenya.
KPK dibentuk berdasarkan UU sehingga pembubarannya pun
harus melalui UU atau perppu. Secara tidak langsung pula, KPK juga dibentuk
berdasarkan Ketetapan Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang
Bersih dan Bebas dari KKN. Paling mungkin adalah melumpuhkan KPK. Lembaga ini
tidak disegani lagi, bahkan dilecehkan oleh lembaga lain atau penyelenggara
negara.
Dan, kondisi itulah yang kini berangsur-angsur terjadi
pada KPK. Dukungan terhadap KPK serta upaya pemberantasan korupsi yang
diutarakan Presiden, politisi, atau penyelenggara negara yang lain terasa
seperti hanya sandiwara. Kondisi KPK pun bisa seperti yang digambarkan Glenn
Fredly, dalam lagunya yang berjudul "Akhir
Cerita Cinta". "Sandiwarakah
selama ini, setelah sekian lama kita telah bersama. Inikah akhir cerita
cinta, yang slalu aku banggakan di depan mereka. Entah di mana kusembunyikan
rasa malu...." ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar