Keselamatan
dan Keamanan
Pengguna
Jasa Transportasi
Chappy Hakim ; Mantan
Kepala Staf TNI AU
|
KOMPAS,
04 Maret 2015
Beberapa waktu lalu Indonesia dihebohkan dengan penundaan
penerbangan maskapai Lion Air yang berlangsung puluhan jam hingga lebih dari
tiga hari.
Inilah kejadian penundaan penerbangan terparah sepanjang
sejarah penerbangan dunia. Setelah berbagai macam alasan kurang masuk akal
yang dikemukakan, akhirnya pihak Lion Air mengakui bahwa ada kelemahan manajemen, terutama di
Bandara Soekarno-Hatta.
Kejadian ini tidaklah terjadi sekonyong-sekonyong. Penundaan berkepanjangan merupakan hasil
dari tumpukan begitu banyak dan lama kelemahan kinerja manajemen yang
dibiarkan tanpa koreksi. Akibatnya fatal ketika tumpukan masalah mencapai puncaknya.
Inilah peristiwa yang dengan gamblang menunjukkan bahwa
mekanisme pengawasan internal di Lion Air sama sekali tidak berjalan. Hasil
dari berlarut-larutnya kelemahan yang tidak segera diselesaikan dan inilah
wujud dari rendahnya tanggung jawab Lion Air terhadap pengguna jasa angkutan
udara.
Bekerja amatiran
Dengan menjual tiket murah, tidaklah berarti bahwa Lion
Air boleh bekerja seenaknya. Tidak
itu saja, kejadian ini juga telah mencerminkan bahwa maskapai penerbangan
Lion Air patut dipertanyakan sebagai satu perusahaan yang profesional di
bidangnya. Kesan maskapai ini bekerja "amatiran" muncul dari
langkah yang diambil saat terjadi keributan yang nyaris menjadi anarki di
bandara.
Tak ada petugas Lion Air yang dapat menjelaskan kepada calon
penumpang tentang apa sebenarnya yang terjadi sehingga mengakibatkan
penundaan berkepanjangan. Kesan amatiran dari pengelola maskapai makin kuat
melihat cara mereka memutuskan pemberian ganti rugi kepada para calon
penumpang dengan menggunakan dana pinjaman dari Angkasa Pura 2.
Maskapai ini juga dikenal lama sebagai maskapai yang
sering dikeluhkan para pelanggan tentang penundaan penerbangan dan juga
kehilangan barang di bagasi penumpang.
Mendalami kelemahan manajemen sebenarnya sangat mudah
diketahui dari beberapa faktor dominan yang terjadi. Misalnya, dari berapa
rasio jumlah pilot terhadap jumlah pesawat terbang yang dimiliki, serta
metode antrean jadwal pilot untuk terbang, cadangan, atau istirahat. Juga
bisa dilihat dari metode dalam menyusun antrean pesawat yang akan digunakan
untuk terbang disejajarkan dengan antrean pesawat terbang yang harus masuk
siklus pemeliharaan.
Kedua hal itu, jika dihadapkan dengan divisi pemasaran
yang bertugas mencari penumpang akan memunculkan kesimpulan apakah penerbangan
dapat dilaksanakan tepat waktu atau tidak. Pengelolaan hal itu tidak hanya
lemah, tetapi juga tidak harmonis dalam pengoperasian pesawat.
Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi selama
bertahun-tahun? Menjadi logis jika banyak pihak menilai bahwa maskapai Lion
Air memang memperoleh perlakuan "istimewa" dari pihak regulator,
dalam hal ini Kementerian Perhubungan.
Tuduhan itu dijawab Direktur Umum Lion Air dalam sebuah
wawancara dengan salah satu stasiun televisi baru-baru ini. Ia mengatakan,
"Saya sampaikan kepada rekan-rekan di Asosiasi Maskapai Penerbangan
Indonesia, INACA (Indonesian National Air Carrier Association), bahwa anda
semua tidak boleh iri kepada Lion Air yang terlihat jauh lebih mudah
memperoleh izin dari Kementerian Perhubungan karena dalam urusan izin-izin
ini saya sendiri turun tangan untuk mengurusnya."
Perlakuan istimewa
Dengan jawaban ini, dapat dipahami bahwa manajemen Lion
Air, khususnya dalam hal perizinan terkait dengan Kementerian Perhubungan,
tidak menjalani mekanisme standar yang berlaku dan dilaksanakan maskapai
penerbangan umumnya.
Sesuatu yang sangat tidak lazim bisa saja dilihat sebagai
satu terobosan out of the box dari
pihak manajemen, tetapi sekaligus dapat pula dilihat sebagai tidak adanya
delegation of authority atau
pendelegasian wewenang sebagaimana layaknya prinsip-prinsip manajemen umum.
Bahkan, karena tiket Lion Air dapat dijual dengan harga murah, jurus tersebut
bisa dilihat sebagai metode "penghematan" tenaga manusia.
Namun, dengan titik tinjau yang lebih fokus lagi, orang
akan sampai pada kesimpulan bahwa di Kementerian Perhubungan ternyata
izin-izin mudah sekali diperoleh apabila yang mengurus adalah direktur
maskapai. Tentu saja semua asumsi itu
masih harus dibuktikan tim pencari fakta yang independen dan terbuka.
Apa pun penyebab kejadian penundaan penerbangan yang parah
berhari-hari itu, yang jelas telah sangat merugikan harkat dan martabat
pemerintah di mata dunia penerbangan internasional. Di tengah upaya
pemerintah meyakinkan semua pihak bahwa Kementerian Perhubungan sebagai
pemegang otoritas penerbangan nasional tengah bekerja keras untuk dapat
keluar dari kategori 2 penilaian Badan Penerbangan Federal (FAA), terjadi
peristiwa yang sangat memalukan ini. Penilaian FAA merujuk pada regulasi Organisasi
Penerbangan Sipil Internasional (ICAO), bahwa Indonesia belum mampu memenuhi
persyaratan keamanan dan keselamatan penerbangan internasional.
Di tengah-tengah pernyataan yang baru saja dikeluarkan
pimpinan Perum Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia
(LPPNPI) bahwa Indonesia sudah dapat menyelesaikan temuan ICAO, lebih dari 90
persen, terjadilah penundaan "ugal-ugalan" yang mencemarkan dunia
penerbangan Indonesia.
Komitmen dipertanyakan
Dengan kejadian yang memalukan itu, sangat masuk akal
kalau otoritas penerbangan dunia mempertanyakan kembali sampai di mana
"konsistensi" dan terutama
"komitmen" Indonesia dalam menangani faktor keselamatan dan
keamanan penerbangan sipil.
Pertanyaan ini diikuti pertanyaan lanjutan yang sangat
berkait dengan komitmen Indonesia, yaitu "sanksi" apa yang akan
dijatuhkan Kementerian Perhubungan sebagai regulator terhadap Lion Air yang
telah menelantarkan ribuan penumpang selama berhari-hari.
Ini suatu pertaruhan yang tidak sederhana karena akan
sangat menentukan kredibilitas dan kehormatan Indonesia dalam
menyelenggarakan transportasi udara nasional, sebagai bagian integral dari
sistem transportasi global dan mengacu pada aturan keselamatan penerbangan
sipil internasional.
Dalam dunia penerbangan dibutuhkan disiplin tinggi yang
tanpa kompromi, pengawasan ketat yang terus-menerus, dan hukuman efek-jera
apabila sampai terjadi pelanggaran.
Sanggupkah kita menjawab aneka pertanyaan itu dan
sekaligus menyelesaikan pekerjaan rumah yang menumpuk di depan mata ini? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar