Politik
Yes, Partai No?
Hajriyanto Y Thohari ; Wakil Ketua MPR Periode 2009-2014
|
REPUBLIKA,
21 Januari 2015
"Mari
kita tinggalkan politik," kata bapak ideologis dari hampir semua gerakan
reformisme Islam di seluruh dunia, Syekh Muhammad Abduh (1849-1905), kepada
sahabat dan gurunya, Jamaluddin al-Afghani (1839-1897), tokoh gerakan
"transnasional" Pan Islamisme.
Berbeda
dengan al-Afghani yang sangat percaya pada kedigdayaan politik sebagai jalur
perjuangan untuk memajukan rakyat dari keterbelakangan dalam segala bidang,
Abduh tak lagi percaya pada politik: dia pesimistis dan apatis politik dapat
membawa umat dan bangsanya keluar dari lumpur keterbelakangan.
Abduh
akhirnya memang meninggalkan politik sebagai metode perjuangan. Bahkan dengan
sinis dan dramatis dia berkata, "A’udzubillahi min ‘l-siyasah wa ma
yata’allaqu biha." "Aku berlindung kepada Allah dari politik dan
apa yang berkaitan dengan politik. Aku juga berlindung dari kata politik,
dari maksud-maksud politik, dari semua huruf yang membentuk kata politik,
dari semua ilusi yang tebersit dari hatiku tentang politik, dari semua orang
yang berbicara dan belajar politik, baik agak gila maupun berakal. Barang
siapa yang berpolitik memimpin sesuatu, maka akan rusak dan terganggulah
sesuatu itu." (Lihat Mahmud ‘Awad, Mutamarridun li Wajhillah, Daru
‘l-Syuruq, Mesir, 1986, halaman 151).
Malah, konon
Abduh beberapa kali mengatakan dalam kuliahnya, "Jika politik masuk ke
dalam sesuatu, maka rusaklah sesuatu itu (idza
dakholat ‘l-siyasah ila syai’in fa wasadat)."
Kata-kata
Abduh hampir dua abad yang lalu itu tentu mempunyai konteks sosiokulturalnya
sendiri, tetapi kini relevan untuk diangkat kembali mengingat perkembangan
dan kecenderungan baru di masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim sekarang
ini. Pertama, saya melihat ada antusiasme politik luar biasa di kalangan
rakyat.
Partisipasi
politik rakyat bukan hanya dalam pemilu, melainkan juga dalam tahap-tahap
penetapan calon presiden atau wakil presiden, anggota legislatif, kepala
daerah, dan pejabat publik lainnya. Rakyat juga berpartisipasi aktif dalam
perumusan dan penetapan kebijakan publik. Politik telah menjadi penjuru yang
hampir-hampir menyedot seluruh energi rakyat. Demikian juga halnya di
kalangan umat Islam dan ulamanya. Dakwah, bidang yang sangat mulia dan
strategis bagi pembinaan kehidupan keagamaan rakyat, terabaikan.
Kedua, di
sisi lain, saya melihat terjadi kecenderungan merosotnya kepercayaan rakyat
pada partai politik. Partai politik, alih-alih menjadi part of the solution,
justru sering kali dipandang sebagai part of the problem. Partai politik
lebih banyak gaduhnya daripada manfaatnya.
Lihat saja,
rakyat menginginkan kabinet sedikit mungkin orang partai politik, bahkan
kalau perlu nirparpol. Rakyat tidak ingin pimpinan MK, KPK, jaksa agung,
komisi-komisi negara, bahkan Wantimpres sekalipun diisi orang-orang parpol.
Secara mafhum mukholafah, rakyat seolah-olah mengatakan, jika para kader
parpol memasuki kementerian atau lembaga negara lainnya—persis seperti kata
Abduh di atas—akan rusaklah kementerian dan lembaga tersebut.
Alhasil,
kader-kader parpol yang digodok habis-habisan di kawah candradimuka
pengaderan parpol tidak bisa dipercaya untuk mengisi pos-pos kementerian
negara. Parpol hanya boleh di DPR saja!
Saking tidak
pedulinya pada parpol sampai-sampai konflik dan perpecahan di kalangan elite
parpol tertentu tidak membuat rakyat prihatin dan cemas. Rakyat alih-alih
hanya menyaksikan perpecahan itu sambil senyum simpul dari kejauhan. Rakyat
alih-alih prihatin, justru sebaliknya mengatakan, "Lihat tuh,
menyelesaikan permasalahannya sendiri saja tidak bisa, bagaimana mungkin
mereka akan menyelesaikan problem bangsa dan negaranya!"
Rakyat
akhirnya memandang parpol sebagai telah hidup di luar galaksi kepedulian
rakyat yang diklaim sebagai orbitnya, sebagai konstituen yang nasib dan masa
depannya diperjuangkan. Parpol sudah mulai kehilangan kepercayaan publik,
bahkan untuk sekadar mengisi jabatan politik yang selama ini menjadi hak
tradisionalnya, seperti menteri sekalipun.
Rakyat
bertanya ragu, "Apakah mereka bisa
benar-benar jujur dan tidak korup dalam mengurus negara, sementara mereka
sendiri tidak mampu membersihkan kepengurusan partainya dari kader-kader yang
korup?" Parpol harus sadar bahwa saat ini de facto dirinya bukan lagi menjadi satu-satunya sumber rekrutmen
kepemimpinan nasional.
Calon
presiden dan wakil presiden yang memenangkan hati rakyat dalam pemilu juga
bukan figur yang datang dari struktur parpol. Bahkan, posisinya sebagai
sumber kepemimpinan setingkat menteri pun parpol mulai dikalahkan oleh
institusi nonpolitik lainnya, seperti universitas dengan mahasiswa berjumlah
di bawah 2.000, BUMN, bahkan CEO perusahaan swasta!
Pahit memang,
sekadar untuk mengisi jabatan politik yang bersifat publik saja kader parpol kalah
akseptabilitas dari kader institusi yang lain seperti itu. Jika kader parpol
kalah dengan kader TNI atau birokrasi pemerintah, ini masih bisa diterima
akal sehat. Sejak lama keduanya memang menjadi sumber rekrutmen kepemimpinan
nasional. Namun, jika parpol kalah dengan sumber daya pemimpin yang digodok
BUMN atau perusahaan swasta untuk mengisi jabatan politik, ini lampu kuning
bagi parpol kita sebagai kawah candradimuka kepemimpinan pemerintahan.
Dalam
kehidupan politik nasional, demokrasi memang berkembang sangat cepat
pascapemilu langsung yang dimulai 2004 dan maraknya media sosial dalam satu
dasawarsa terakhir ini. Adalah sangat menarik rakyat lebih cepat mencapai
kematangan politik dalam era demokrasi deliberatif sekarang ini. Budaya dan
etika politik sportif untuk menerima perbedaan dan kekalahan terasa dapat
dipahami rakyat dan dihayati dengan sangat baik. Ini terasa sekali dalam
Pilpres 2014 kemarin.
Sebaliknya
dalam parpol: perkembangan politik demokrasi alih-alih menjadi semakin
matang, justru kian prosedural dan elektoral belaka. Politik menjadi
semata-mata perburuan jabatan atau kekuasaan yang cenderung menghalalkan
segala cara. Agama yang sarat dengan nilai-nilai kemuliaan, misalnya, di
tangan parpol bukannya menjadi etika yang mendasari kerja politik untuk
kebajikan, melainkan alat dan instrumen legitimasi politik. Konflik dan
perpecahan politik yang semata karena alasan perebutan jabatan menjadi biasa,
bahkan seolah-olah sudah dipandang sebagai bagian integral yang sah dari
politik itu sendiri.
Politik yang
di dalam hakikat dirinya sebenarnya terkandung mekanisme penyelesaian konflik
secara berkeadaban, di tangan parpol justru menghilang. Parpol malah
kehilangan mekanisme diri untuk menyelesaikan konflik dan perpecahan internal
sehingga mencari penyelesaian konflik ke lembaga di luar dirinya, yaitu
pengadilan.
Walhasil,
politik yang digambarkan dalam mitologi Yunani sebagai dewa Janus yang
berwajah dua, wajah konflik dan konsensus, tinggal tersisa wajah konflik
belaka. Kerja politik sebagai kerja kebajikan yang tidak harus selalu diukur
dengan kekuasaan atau jabatan politik cenderung menipis. Politik sebagai
panggilan hidup yang diletakkan di atas adagium nobless oblige (dalam
kedudukan yang mulia ada terkandung kewajiban) semakin bergeser menjadi
politik sebagai instrumen perburuan keagungbinataraan kekuasaan belaka.
Fenomena
kemerosotan parpol ini sangat memprihatinkan. Sebab, parpol di manapun adalah
tulang punggung demokrasi. Sungguh tak terbayangkan sebuah demokrasi tanpa
partai politik. Akan tetapi, apa hendak dikata jika pimpinan parpol alih-alih
prihatin, malah tidak peduli dan membiarkan saja pada kecenderungan baru,
tapi ini nyata. Politik memang tidak akan pernah ditinggalkan rakyat
sebagaimana ajakan Abduh. Selama apa yang disebut negara masih ada, selama
itu pula politik akan tetap memiliki daya tarik dan daya panggil.
Jika tidak
bersungguh-sungguh mewujudkan dirinya sebagai pilar demokrasi, bahkan sama
sekali tidak berwajah dan ber-wijhah (berjiwa) demokrasi, parpol akan semakin
ditinggalkan rakyat. Memimpin parpol memang tidak mudah. Namun, bagaimanapun
parpol tidak boleh—seperti kata ungkapan Jawa--kabotan jeneng, yaitu menjadi
anak yang sakit-sakitan karena keberatan nama. Ingat, parpol adalah pilar
demokrasi! Sungguh berat memang predikat ini. Pantas kalau sakit-sakitan
melulu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar