Kamis, 22 Januari 2015

Politik Yes, Partai No?

Politik Yes, Partai No?

Hajriyanto Y Thohari  ;   Wakil Ketua MPR Periode 2009-2014
REPUBLIKA, 21 Januari 2015

                                                                                                                       


"Mari kita tinggalkan politik," kata bapak ideologis dari hampir semua gerakan reformisme Islam di seluruh dunia, Syekh Muhammad Abduh (1849-1905), kepada sahabat dan gurunya, Jamaluddin al-Afghani (1839-1897), tokoh gerakan "transnasional" Pan Islamisme.

Berbeda dengan al-Afghani yang sangat percaya pada kedigdayaan politik sebagai jalur perjuangan untuk memajukan rakyat dari keterbelakangan dalam segala bidang, Abduh tak lagi percaya pada politik: dia pesimistis dan apatis politik dapat membawa umat dan bangsanya keluar dari lumpur keterbelakangan.

Abduh akhirnya memang meninggalkan politik sebagai metode perjuangan. Bahkan dengan sinis dan dramatis dia berkata, "A’udzubillahi min ‘l-siyasah wa ma yata’allaqu biha." "Aku berlindung kepada Allah dari politik dan apa yang berkaitan dengan politik. Aku juga berlindung dari kata politik, dari maksud-maksud politik, dari semua huruf yang membentuk kata politik, dari semua ilusi yang tebersit dari hatiku tentang politik, dari semua orang yang berbicara dan belajar politik, baik agak gila maupun berakal. Barang siapa yang berpolitik memimpin sesuatu, maka akan rusak dan terganggulah sesuatu itu." (Lihat Mahmud ‘Awad, Mutamarridun li Wajhillah, Daru ‘l-Syuruq, Mesir, 1986, halaman 151).

Malah, konon Abduh beberapa kali mengatakan dalam kuliahnya, "Jika politik masuk ke dalam sesuatu, maka rusaklah sesuatu itu (idza dakholat ‘l-siyasah ila syai’in fa wasadat)."

Kata-kata Abduh hampir dua abad yang lalu itu tentu mempunyai konteks sosiokulturalnya sendiri, tetapi kini relevan untuk diangkat kembali mengingat perkembangan dan kecenderungan baru di masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim sekarang ini. Pertama, saya melihat ada antusiasme politik luar biasa di kalangan rakyat.

Partisipasi politik rakyat bukan hanya dalam pemilu, melainkan juga dalam tahap-tahap penetapan calon presiden atau wakil presiden, anggota legislatif, kepala daerah, dan pejabat publik lainnya. Rakyat juga berpartisipasi aktif dalam perumusan dan penetapan kebijakan publik. Politik telah menjadi penjuru yang hampir-hampir menyedot seluruh energi rakyat. Demikian juga halnya di kalangan umat Islam dan ulamanya. Dakwah, bidang yang sangat mulia dan strategis bagi pembinaan kehidupan keagamaan rakyat, terabaikan.

Kedua, di sisi lain, saya melihat terjadi kecenderungan merosotnya kepercayaan rakyat pada partai politik. Partai politik, alih-alih menjadi part of the solution, justru sering kali dipandang sebagai part of the problem. Partai politik lebih banyak gaduhnya daripada manfaatnya.

Lihat saja, rakyat menginginkan kabinet sedikit mungkin orang partai politik, bahkan kalau perlu nirparpol. Rakyat tidak ingin pimpinan MK, KPK, jaksa agung, komisi-komisi negara, bahkan Wantimpres sekalipun diisi orang-orang parpol. Secara mafhum mukholafah, rakyat seolah-olah mengatakan, jika para kader parpol memasuki kementerian atau lembaga negara lainnya—persis seperti kata Abduh di atas—akan rusaklah kementerian dan lembaga tersebut.

Alhasil, kader-kader parpol yang digodok habis-habisan di kawah candradimuka pengaderan parpol tidak bisa dipercaya untuk mengisi pos-pos kementerian negara. Parpol hanya boleh di DPR saja!

Saking tidak pedulinya pada parpol sampai-sampai konflik dan perpecahan di kalangan elite parpol tertentu tidak membuat rakyat prihatin dan cemas. Rakyat alih-alih hanya menyaksikan perpecahan itu sambil senyum simpul dari kejauhan. Rakyat alih-alih prihatin, justru sebaliknya mengatakan, "Lihat tuh, menyelesaikan permasalahannya sendiri saja tidak bisa, bagaimana mungkin mereka akan menyelesaikan problem bangsa dan negaranya!"

Rakyat akhirnya memandang parpol sebagai telah hidup di luar galaksi kepedulian rakyat yang diklaim sebagai orbitnya, sebagai konstituen yang nasib dan masa depannya diperjuangkan. Parpol sudah mulai kehilangan kepercayaan publik, bahkan untuk sekadar mengisi jabatan politik yang selama ini menjadi hak tradisionalnya, seperti menteri sekalipun.

Rakyat bertanya ragu, "Apakah mereka bisa benar-benar jujur dan tidak korup dalam mengurus negara, sementara mereka sendiri tidak mampu membersihkan kepengurusan partainya dari kader-kader yang korup?" Parpol harus sadar bahwa saat ini de facto dirinya bukan lagi menjadi satu-satunya sumber rekrutmen kepemimpinan nasional.

Calon presiden dan wakil presiden yang memenangkan hati rakyat dalam pemilu juga bukan figur yang datang dari struktur parpol. Bahkan, posisinya sebagai sumber kepemimpinan setingkat menteri pun parpol mulai dikalahkan oleh institusi nonpolitik lainnya, seperti universitas dengan mahasiswa berjumlah di bawah 2.000, BUMN, bahkan CEO perusahaan swasta!

Pahit memang, sekadar untuk mengisi jabatan politik yang bersifat publik saja kader parpol kalah akseptabilitas dari kader institusi yang lain seperti itu. Jika kader parpol kalah dengan kader TNI atau birokrasi pemerintah, ini masih bisa diterima akal sehat. Sejak lama keduanya memang menjadi sumber rekrutmen kepemimpinan nasional. Namun, jika parpol kalah dengan sumber daya pemimpin yang digodok BUMN atau perusahaan swasta untuk mengisi jabatan politik, ini lampu kuning bagi parpol kita sebagai kawah candradimuka kepemimpinan pemerintahan.

Dalam kehidupan politik nasional, demokrasi memang berkembang sangat cepat pascapemilu langsung yang dimulai 2004 dan maraknya media sosial dalam satu dasawarsa terakhir ini. Adalah sangat menarik rakyat lebih cepat mencapai kematangan politik dalam era demokrasi deliberatif sekarang ini. Budaya dan etika politik sportif untuk menerima perbedaan dan kekalahan terasa dapat dipahami rakyat dan dihayati dengan sangat baik. Ini terasa sekali dalam Pilpres 2014 kemarin.

Sebaliknya dalam parpol: perkembangan politik demokrasi alih-alih menjadi semakin matang, justru kian prosedural dan elektoral belaka. Politik menjadi semata-mata perburuan jabatan atau kekuasaan yang cenderung menghalalkan segala cara. Agama yang sarat dengan nilai-nilai kemuliaan, misalnya, di tangan parpol bukannya menjadi etika yang mendasari kerja politik untuk kebajikan, melainkan alat dan instrumen legitimasi politik. Konflik dan perpecahan politik yang semata karena alasan perebutan jabatan menjadi biasa, bahkan seolah-olah sudah dipandang sebagai bagian integral yang sah dari politik itu sendiri.

Politik yang di dalam hakikat dirinya sebenarnya terkandung mekanisme penyelesaian konflik secara berkeadaban, di tangan parpol justru menghilang. Parpol malah kehilangan mekanisme diri untuk menyelesaikan konflik dan perpecahan internal sehingga mencari penyelesaian konflik ke lembaga di luar dirinya, yaitu pengadilan.

Walhasil, politik yang digambarkan dalam mitologi Yunani sebagai dewa Janus yang berwajah dua, wajah konflik dan konsensus, tinggal tersisa wajah konflik belaka. Kerja politik sebagai kerja kebajikan yang tidak harus selalu diukur dengan kekuasaan atau jabatan politik cenderung menipis. Politik sebagai panggilan hidup yang diletakkan di atas adagium nobless oblige (dalam kedudukan yang mulia ada terkandung kewajiban) semakin bergeser menjadi politik sebagai instrumen perburuan keagungbinataraan kekuasaan belaka.

Fenomena kemerosotan parpol ini sangat memprihatinkan. Sebab, parpol di manapun adalah tulang punggung demokrasi. Sungguh tak terbayangkan sebuah demokrasi tanpa partai politik. Akan tetapi, apa hendak dikata jika pimpinan parpol alih-alih prihatin, malah tidak peduli dan membiarkan saja pada kecenderungan baru, tapi ini nyata. Politik memang tidak akan pernah ditinggalkan rakyat sebagaimana ajakan Abduh. Selama apa yang disebut negara masih ada, selama itu pula politik akan tetap memiliki daya tarik dan daya panggil.

Jika tidak bersungguh-sungguh mewujudkan dirinya sebagai pilar demokrasi, bahkan sama sekali tidak berwajah dan ber-wijhah (berjiwa) demokrasi, parpol akan semakin ditinggalkan rakyat. Memimpin parpol memang tidak mudah. Namun, bagaimanapun parpol tidak boleh—seperti kata ungkapan Jawa--kabotan jeneng, yaitu menjadi anak yang sakit-sakitan karena keberatan nama. Ingat, parpol adalah pilar demokrasi! Sungguh berat memang predikat ini. Pantas kalau sakit-sakitan melulu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar