Jokowi
di Simpang Jalan
Putu Setia ; Pengarang, Wartawan Senior Tempo
|
KORAN TEMPO,
21 Januari 2015
Tidak ada
makan siang yang gratis. Ini ungkapan populer di Barat. Kalau di sini, yang
populer sekarang adalah "tak ada
kandidat presiden yang gratis".
Siapa yang
disindir? Tentu Joko Widodo, presiden ketujuh negeri ini. Ia menjadi calon
presiden dalam pemilu pada tahun lalu karena ditunjuk oleh Ketua Umum PDI
Perjuangan Megawati Soekarnoputri. Padahal Jokowi-begitu nama presiden ini
disingkat-bukan kader yang menjadi pengurus pusat PDIP. Bahkan, ia belum
pernah menjadi anggota DPR. Ia menelikung sejumlah kader partai, termasuk
Megawati sendiri. Kongres PDIP sudah menetapkan bahwa calon presiden hanya
bisa keluar dari saku Megawati, dan banyak orang menduga ia sendirilah yang
bakal maju. Ternyata Mega menyerahkan prospek tersebut kepada Jokowi.
Memang betul
Jokowi berhasil merangkul banyak relawan. Tanpa dukungan relawan, sulit
Jokowi menang. Namun, tanpa tiket dari partai politik, tak ada orang sehebat
apa pun di negeri ini yang bisa menjadi calon presiden. Sebab, calon presiden
independen tak dibolehkan undang-undang.
Jokowi memang
beruntung. Namun tidak ada yang gratis. Ia harus membayarnya. Bukan hanya
kepada PDI Perjuangan, tapi juga kepada partai politik yang berkoalisi dengan
PDIP. Dengan cara apa Jokowi membayar? Sudah pasti dengan barter jabatan,
baik suka maupun tak suka, diakui maupun tidak.
Jadi,
sesungguhnya Jokowi tak bisa berjalan secara independen. Hak prerogatif
presiden hanya ada dalam kata-kata formal. Cara Jokowi menunjuk menteri jelas
merupakan upaya membayar utang. Puan Maharani, anak Megawati, menjadi salah
satu menteri koordinator. Tentu sulit dibantah bahwa sejatinya Jokowi memang
"tak bisa membantah". Repotnya lagi, Jokowi tak punya basis di
partai mana pun. Ia juga harus membayar utang kepada partai-partai koalisi.
Tong kosong berbunyi nyaring kalau Jokowi mengatakan menteri yang ia angkat
jauh dari urusan transaksional, apalagi tanpa syarat.
Sepanjang
orang yang diangkat tak tercela, publik masih bisa bertenggang rasa sambil
berharap mudah-mudahan kinerjanya baik. Namun tidak demikian ketika Jokowi
mengajukan calon Kepala Polri ke DPR. Komisaris Jenderal Budi Gunawan sudah
diketahui secara umum punya kasus rekening gendut. Budi Gunawan adalah mantan
ajudan Megawati, dan tak seujung kuku pun orang bisa percaya bahwa ia bukan
titipan Megawati. Hal ini bisa dilihat dari ngototnya Megawati dan
kader-kader PDI Perjuangan membela Budi Gunawan, bahkan ketika Budi sudah
dinyatakan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dan Jokowi membatalkan pelantikannya, meski DPR tetap
setuju.
Jokowi berada
di simpang jalan. Melantik Budi Gunawan berarti menghina korps polisi.
Seorang Kapolri aktif kelak akan mengenakan baju oranye KPK. Relawan Jokowi
pun pasti meradang. Jika Budi tidak dilantik, Jokowi bakal terus digoyang
DPR, baik oleh koalisi PDIP yang mendukungnya maupun koalisi Gerindra yang
beroposisi. Sebagai jawaban atas dua pilihan sulit itu, Jokowi menunjuk Wakil
Kapolri sebagai pelaksana tugas Kapolri, padahal Kapolri-nya tidak ada.
Bagaimana mungkin pejabat yang belum dilantik tiba-tiba "dianggap
bermasalah" sehingga harus digantikan oleh pelaksana tugas?
Ke mana
menteri-menteri politik dan hukum Jokowi? Tak ada tanda-tanda mereka
menyarankan agar Jokowi menarik pencalonan Budi Gunawan begitu KPK memberikan
status tersangka. Para menteri itu terjebak dalam pilihan membela partai atau
menyelamatkan Jokowi. Dengan kondisi ini, Jokowi lebih baik mulai menata
basis politik yang riil. Sulit memang, tapi boleh dicoba dengan kesabaran. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar