Minggu, 25 Januari 2015

Mengkaji Ulang UN 2015

Mengkaji Ulang UN 2015

Nanang Martono  ;   Dosen Sosiologi Pendidikan
Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto
SINAR HARAPAN, 23 Januari 2015

                                                                                                                                     


Hingga saat ini, kepastian status UN (Ujian Nasional) masih menjadi tanda tanya besar. Ketika melihat waktu pelaksanaan UN dari tahun ke tahun selalu dilaksanakan pada April sampai Mei, mungkinkah UN 2015 disiapkan dalam tempo sangat singkat? Bahkan sempat beredar wacana bahwa menteri pendidikan dan kebudayaan (mendikbud) akan mendatangkan tim dari luar negeri untuk menyusun soal UN 2015.

Tidak Memaksa

Bila mendikbud berencana menempatkan UN hanya sebagai alat pemetaan kualitas pendidikan Tanah Air, solusi pertama adalah meniadakan UN untuk tahun 2015 ini. Mengapa? Pertama, langkah ini harus dilakukan daripada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) harus mempertaruhkan keberhasilan penyelenggaraan UN. Bila tetap dilaksanakan, Kemendikbud harus menyiapkan berbagai instrumen UN dalam waktu sangat singkat sehingga sangat rawan kegagalan seperti kasus UN 2013 di era Mendikbud M Nuh.

Alasan kedua adalah ketika masyarakat dihadapkan pada ketidakpastian status UN dalam beberapa waktu terakhir, ini dapat merugikan guru dan siswa. Beberapa sekolah bahkan sudah menerapkan jam pelajaran tambahan dan memadatkan pembelajaran hanya untuk “berjaga-jaga”.

Ini juga akan mengganggu pembelajaran di kelas siswa yang tidak melaksanakan UN. Mereka masih menanti keputusan yang belum pasti. Akibatnya, sekolah menjadi tidak fokus dalam melaksanakan pembelajaran.

Ketiga, ketika UN 2015 ditiadakan, Kemendikbud dapat menggunakan database hasil UN 2014 sebagai bahan pemetaan. Selain itu, data ini dapat digunakan sebagai dasar penentuan kebijakan di tahun pertama kepemimpinan Mendikbud Anies Baswedan.

Keempat, tahun tanpa UN ini dapat dimanfaatkan Kemendikbud untuk merevitalisasi nasib Kurikulum 2013 (K-13) yang juga masih simpang siur. K-13 adalah prioritas utama dalam upaya memperbaiki nasib pendidikan nasional. Ketidakpastian penerapan K-13, di sisi lain menyebabkan pembelajaran di sekolah menjadi tidak fokus.

Selain itu, ini akan berdampak pada UN 2016 ketika siswa “pemakai K-13” akan mengikuti UN. Sebagaimana kita ketahui, peserta UN 2016 akan terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok siswa yang menggunakan K-13 dan siswa yang masih menggunakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Untuk itu, jenis soal kedua kelompok tersebut seharusnya juga berbeda.

Terakhir, selain masalah K-13, Kemendikbud masih memiliki banyak pekerjaan rumah yang berhubungan erat dengan masalah peningkatan kualitas pendidikan nasional: masalah kualitas guru serta sarana dan prasarana pendidikan, baik secara kuantitas maupun kualitas; dan beberapa skala prioritas lainnya.

Efektivitas UN

Kembali mengingat wacana perubahan UN menjadi Evaluasi Nasional (EN) pada akhir 2014, secara pribadi saya setuju menggunakan istilah evaluasi. Ketika menggunakan istilah ujian, siswa diposisikan sebagai objek yang diuji kemampuannya sesuai bidang mata pelajaran yang diujikan.

Meskipun pemerintah berkilah UN juga merupakan bentuk evaluasi terhadap sistem pembelajaran yang dilakukan di sekolah, tetap saja siswa “mendapat sanksi” dan menjadi pihak yang “menanggung akibat” manakala sistem pembelajaran yang diterapkan di sekolah buruk.

Cara pandang “siswa bodoh karena tidak lulus UN” dan “siswa pintar di saat ia lulus UN” terlalu menyederhanakan realitas. Pandangan tersebut semestinya diubah menjadi “siswa bodoh atau pintar adalah produk sistem pembelajaran”. Ini terlepas dari faktor personal: tingkat kecerdasan serta kondisi sosial ekonomi siswa yang sulit diantisipasi sekolah.

Sementara itu, istilah evaluasi mensyaratkan sebuah upaya perbaikan sistem. Hal terpenting adalah hasil EN seharusnya tidak berimplikasi pada keputusan lulus dan tidak lulus. EN harus mampu memberikan informasi mengenai kelemahan dan kelebihan sistem yang telah diaplikasikan. Ia memberikan banyak rekomendasi sebagai bahan perencanaan strategis perbaikan sistem pendidikan secara keseluruhan.

Masalah yang muncul kemudian adalah cukupkah waktu yang tersedia untuk melakukan perbaikan sistem tersebut? Bila EN dilakukan tahunan, mampukah Kemendikbud melakukannya dalam waktu singkat? Bila mampu, langkah strategis apa yang akan dilakukan? Untuk itu, poin utama EN sebenarnya sama dengan posisi UN ketika digunakan hanya untuk bahan pemetaan.

Menghentikan UN

Solusi kedua adalah Kemendikbud dapat mengambil langkah radikal, yaitu menghentikan UN (ataupun EN) secara total. Ketika pemerintah hanya memosisikannya sebagai bahan pemetaan, sebenarnya mereka dapat menggunakan data nilai rapor.

Meskipun hanya sebagai bahan pemetaan, hasil UN akan tetap dipandang sebagai indikator keberhasilan sekolah dan pemerintah daerah dalam mengelola pendidikan. Jadi, rangkaian kecurangan sebagaimana terjadi dalam UN-UN sebelumnya akan tetap terjadi.

Lebih lanjut, hasil UN secara tidak langsung akan memengaruhi hasil akreditasi sekolah. Sementara itu, sekolah berkepentingan dengan akreditasi. Sekolah akan melakukan apa saja demi mendapatkan status akreditasi yang baik, termasuk “memanipulasi” proses UN. Akreditasi adalah modal sosial bagi sekolah untuk mendapatkan banyak hal: siswa yang banyak, kesempatan membuka banyak kelas, dan sebagainya.

Untuk itu, sebagai pengganti penghapusan UN, pemerintah harus segera memperbaiki seluruh komponen pendidikan secara nasional. Pemerintah harus menjamin setiap sekolah memiliki standar yang sama sehingga kualitas output sekolah juga akan sama di setiap daerah.

Dalam jangka ini dapat menghapus dikotomi “sekolah favorit” dan “sekolah tidak favorit” dalam pandangan masyarakat umum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar