Mengkaji
Ulang UN 2015
Nanang Martono ; Dosen Sosiologi Pendidikan
Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto
|
SINAR
HARAPAN, 23 Januari 2015
Hingga saat ini, kepastian status UN (Ujian Nasional)
masih menjadi tanda tanya besar. Ketika melihat waktu pelaksanaan UN dari
tahun ke tahun selalu dilaksanakan pada April sampai Mei, mungkinkah UN 2015
disiapkan dalam tempo sangat singkat? Bahkan sempat beredar wacana bahwa
menteri pendidikan dan kebudayaan (mendikbud) akan mendatangkan tim dari luar
negeri untuk menyusun soal UN 2015.
Tidak Memaksa
Bila mendikbud berencana menempatkan UN hanya sebagai alat
pemetaan kualitas pendidikan Tanah Air, solusi pertama adalah meniadakan UN
untuk tahun 2015 ini. Mengapa? Pertama, langkah ini harus dilakukan daripada
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) harus mempertaruhkan
keberhasilan penyelenggaraan UN. Bila tetap dilaksanakan, Kemendikbud harus
menyiapkan berbagai instrumen UN dalam waktu sangat singkat sehingga sangat
rawan kegagalan seperti kasus UN 2013 di era Mendikbud M Nuh.
Alasan kedua adalah ketika masyarakat dihadapkan pada
ketidakpastian status UN dalam beberapa waktu terakhir, ini dapat merugikan
guru dan siswa. Beberapa sekolah bahkan sudah menerapkan jam pelajaran
tambahan dan memadatkan pembelajaran hanya untuk “berjaga-jaga”.
Ini juga akan mengganggu pembelajaran di kelas siswa yang
tidak melaksanakan UN. Mereka masih menanti keputusan yang belum pasti.
Akibatnya, sekolah menjadi tidak fokus dalam melaksanakan pembelajaran.
Ketiga, ketika UN 2015 ditiadakan, Kemendikbud dapat
menggunakan database hasil UN 2014 sebagai bahan pemetaan. Selain itu, data
ini dapat digunakan sebagai dasar penentuan kebijakan di tahun pertama
kepemimpinan Mendikbud Anies Baswedan.
Keempat, tahun tanpa UN ini dapat dimanfaatkan Kemendikbud
untuk merevitalisasi nasib Kurikulum 2013 (K-13) yang juga masih simpang
siur. K-13 adalah prioritas utama dalam upaya memperbaiki nasib pendidikan
nasional. Ketidakpastian penerapan K-13, di sisi lain menyebabkan pembelajaran
di sekolah menjadi tidak fokus.
Selain itu, ini akan berdampak pada UN 2016 ketika siswa
“pemakai K-13” akan mengikuti UN. Sebagaimana kita ketahui, peserta UN 2016
akan terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok siswa yang menggunakan K-13
dan siswa yang masih menggunakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
Untuk itu, jenis soal kedua kelompok tersebut seharusnya juga berbeda.
Terakhir, selain masalah K-13, Kemendikbud masih memiliki
banyak pekerjaan rumah yang berhubungan erat dengan masalah peningkatan
kualitas pendidikan nasional: masalah kualitas guru serta sarana dan
prasarana pendidikan, baik secara kuantitas maupun kualitas; dan beberapa
skala prioritas lainnya.
Efektivitas UN
Kembali mengingat wacana perubahan UN menjadi Evaluasi
Nasional (EN) pada akhir 2014, secara pribadi saya setuju menggunakan istilah
evaluasi. Ketika menggunakan istilah ujian, siswa diposisikan sebagai objek
yang diuji kemampuannya sesuai bidang mata pelajaran yang diujikan.
Meskipun pemerintah berkilah UN juga merupakan bentuk
evaluasi terhadap sistem pembelajaran yang dilakukan di sekolah, tetap saja
siswa “mendapat sanksi” dan menjadi pihak yang “menanggung akibat” manakala
sistem pembelajaran yang diterapkan di sekolah buruk.
Cara pandang “siswa bodoh karena tidak lulus UN” dan
“siswa pintar di saat ia lulus UN” terlalu menyederhanakan realitas.
Pandangan tersebut semestinya diubah menjadi “siswa bodoh atau pintar adalah
produk sistem pembelajaran”. Ini terlepas dari faktor personal: tingkat kecerdasan
serta kondisi sosial ekonomi siswa yang sulit diantisipasi sekolah.
Sementara itu, istilah evaluasi mensyaratkan sebuah upaya
perbaikan sistem. Hal terpenting adalah hasil EN seharusnya tidak
berimplikasi pada keputusan lulus dan tidak lulus. EN harus mampu memberikan
informasi mengenai kelemahan dan kelebihan sistem yang telah diaplikasikan.
Ia memberikan banyak rekomendasi sebagai bahan perencanaan strategis
perbaikan sistem pendidikan secara keseluruhan.
Masalah yang muncul kemudian adalah cukupkah waktu yang
tersedia untuk melakukan perbaikan sistem tersebut? Bila EN dilakukan
tahunan, mampukah Kemendikbud melakukannya dalam waktu singkat? Bila mampu,
langkah strategis apa yang akan dilakukan? Untuk itu, poin utama EN
sebenarnya sama dengan posisi UN ketika digunakan hanya untuk bahan pemetaan.
Menghentikan UN
Solusi kedua adalah Kemendikbud dapat mengambil langkah
radikal, yaitu menghentikan UN (ataupun EN) secara total. Ketika pemerintah
hanya memosisikannya sebagai bahan pemetaan, sebenarnya mereka dapat
menggunakan data nilai rapor.
Meskipun hanya sebagai bahan pemetaan, hasil UN akan tetap
dipandang sebagai indikator keberhasilan sekolah dan pemerintah daerah dalam
mengelola pendidikan. Jadi, rangkaian kecurangan sebagaimana terjadi dalam
UN-UN sebelumnya akan tetap terjadi.
Lebih lanjut, hasil UN secara tidak langsung akan
memengaruhi hasil akreditasi sekolah. Sementara itu, sekolah berkepentingan
dengan akreditasi. Sekolah akan melakukan apa saja demi mendapatkan status
akreditasi yang baik, termasuk “memanipulasi” proses UN. Akreditasi adalah
modal sosial bagi sekolah untuk mendapatkan banyak hal: siswa yang banyak,
kesempatan membuka banyak kelas, dan sebagainya.
Untuk itu, sebagai pengganti penghapusan UN, pemerintah
harus segera memperbaiki seluruh komponen pendidikan secara nasional.
Pemerintah harus menjamin setiap sekolah memiliki standar yang sama sehingga
kualitas output sekolah juga akan sama di setiap daerah.
Dalam jangka
ini dapat menghapus dikotomi “sekolah favorit” dan “sekolah tidak favorit”
dalam pandangan masyarakat umum. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar