Sabtu, 24 Januari 2015

Catatan Kritis Penyiaran

Catatan Kritis Penyiaran

Danang Sangga Buwana  ;   Komisioner KPI Pusat
REPUBLIKA, 23 Januari 2015

                                                                                                                                     


Sepanjang 2014 layar kaca kita masih didominasi dua jenis program tayangan: program hiburan dan politik. Dalam program hiburan muncul berbagai ajang pencarian bakat, musik, komedi, variety show, reality show, film, dan sinetron. Mayoritas program masih berorientasi pada upaya memanjakan pemirsa dengan totalitas hiburan (full entertaining) hingga menegasikan aspek edukasi.

Sebut, misalnya, komedi yang marak pada awal tahun sampai pertengahan 2014 hampir tidak menyisakan pelajaran konstruktif bagi pemirsa, tetapi sekadar gelak tawa. Untuk menciptakan nuansa lucu, beragam cara dilakukan hingga pada tingkat pelecehan nilai kemanusiaan: olok-olok dengan kata-kata melecehkan, permainan (gaming) menyakiti dan membahayakan, bahkan mempersamakan manusia dengan hewan. Demikian halnya sinetron, film, dan variety show yang masih menonjolkan unsur kekerasan, pronografi, kata-kata kasar, dan beragam konstruksi nilai budaya yang membahayakan perilaku anak dan remaja.

Pada saat yang sama, seiring perguliran proses peralihan kepemimpinan nasional lima tahunan pada medio 2014 (pemilu legislatif dan pemilihan presiden), televisi menjadi warna penting dari tahun politik. Berita, talk show, iklan, dan kuis tak lepas dari nuansa politik. Kondisi demikian, mesti dipandang sebagai keniscayaan media dalam konteks driving news values, kebaruan, aktualitas, faktualitas, dan pendidikan politik bagi masyarakat.

Namun, tampak keberpihakan televisi terhadap partai politik tertentu dan figur capres tertentu. Kondisi ini mencederai netralitas lembaga penyiaran. Framing pun tampak di hampir semua televisi kita, baik langsung maupun tak langsung, terang terangan maupun halus. Nihilnya netralitas media dalam blow up dinamika politik telah mencemari frekuensi sebagai hak milik publik.

Tahun 2014 Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) telah melayangkan 178 sanksi kepada 12 televisi berjaringan nasional, baik berupa teguran tertulis pertama dan kedua, penghentian sementara, hingga pengurangan durasi. KPI bahkan mengeluarkan rekomendasi evaluasi pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran (IPP) terhadap dua televisi berjaringan nasional. Sanksi merupakan upaya KPI (sebagaimana amanat UU No 32/2002 tentang Penyiaran) ikut membentengi peradaban bangsa dari infiltrasi buruk tayangan televisi.

KPI mencatat jenis pelanggaran terbanyak meliputi aspek netralitas media, pemanfaatan televisi untuk kepentingan pemilik dan kelompoknya, kekerasan, pornografi, kata-kata kasar, merendahkan martabat manusia, privasi, perlindungan anak dan remaja, dan klasifikasi program siaran. KPI juga merilis program terbanyak yang melanggar selama 2014, antara lain, "Yukk Keep Smile" (Trans TV), "Dahsyat" (RCTI), "Pesbuker" (ANTV), "D’Terong Show" (Indosiar), "Ganteng-Ganteng Serigala" (SCTV), "Oh Ternyata The Merindings" (Trans TV), "Halo Selebriti" (SCTV), "Mata Lelaki" (Trans7), "Masih Dunia Lain" (Trans7), "Kuis Kebangsaan" (RCTI), dan "Kuis Indonesia Cerdas" (Global TV).

Dalam skala mayoritas, harus kita akui sepanjang 2014 dunia penyiaran nasional masih menghasilkan catatan buram. Namun, di tengah buramnya penyiaran kita, muncul harapan dengan hadirnya program Ramadhan berkualitas, di antaranya, "Hafidz Indonesia" (RCTI), "Wisata Ziarah" (MNC TV), "1001 Masjid" (Global TV), "AKSI Junior" (Indosiar), "Mozaik Ramadhan" (Trans TV), "Hafidz Dunia" (Trans7), "Sukses Syariah" (MetroTV), "Jelang Bedug" (TVRI), "Risalah" (Kompas TV), "Buku Harian Muslimah" (RTV), "Hijab Stories Spesial Ramadhan" (TV One), sinetron "Para Pencari Tuhan" (SCTV).

Pertengahan November 2014, KPI menggelar anugerah tahunan untuk program tayangan berkualitas dengan beragam kategori. Anugerah ini diharapkan memberi stimulasi bagi para praktisi televisi untuk meningkatkan program berkualitas, sekaligus mengajak mereka bersama memikirkan kualitas harus disinkronkan dengan keuntungan finansial dan rating / share.

Pascalengsernya Orde Baru hingga kini, praktik ekonomi media semakin larut dalam arus ekonomi pasar, tecermin dari konstruksi kepemilikan media dalam skala nasional. Meski tidak terjadi monopoli, fakta kepemilikan media masih dikuasai kelompok tertentu dalam korporasi. Memang banyak produsen media yang berkompetisi, termasuk televisi lokal, tetapi dalam skala mayoritas hanya didominasi kalangan korporasi tertentu para pemilik televisi nasional (oligopoli).

Kondisi ini sejak proses perizinan berlangsung. Banyaknya pemohon baru televisi analog untuk televisi lokal yang sejatinya dikuasai para pemohon dari televisi swasta nasional. Proses perizinan televisi digital pun demikian. Bahwa kepemilikan multiplexing (mux) adalah kelompok televisi nasional.

Pada aspek lain, masih ada upaya pemusatan kepemilikan di mana satu perusahaan televisi tertentu mengakuisisi perusahaan televisi lain. Modus "jual beli" kepemilikan dengan upaya penguasaan saham 50 persen lebih satu untuk mengontrol manajemen perusahaan dan otoritas konten (program siaran). Modus penguasaan saham ini menjadi alibi untuk menghindari nomenklatur "pemindahtanganan IPP" sebagaimana termaktub pada Pasal 34 UU Penyiaran No 32/2002. Padahal, dengan penguasaan saham 51 persen saja, secara otomatis telah terjadi penguasaan manajemen dan konten sebagai substansi dari pemindahtanganan IPP.

Kita diingatkan pada aksi korporasi PT Indosiar Karya Media (Indosiar) oleh PT Elang Mahkota Tbk/EMTK (SCTV) pada 2011 lalu. Faktanya, pemerintah (Kemenkominfo) membolehkan modus akuisisi melalui penguasaan saham dengan pendasaran UU Perseroan Terbatas No 40/2007. Secara prinsip, KPI yang bersikap berbeda dengan pemerintah memandang bahwa tidak dibenarkan adanya pemusatan kepemilikan oleh perseorangan, holding company, dan akuisisi oleh satu lembaga penyiaran tertentu kepada lembaga penyiaran lain pada satu provinsi yang sama, sebagaimana PP No 50/2005 Pasal 32 Ayat 1 sebagai regulasi organik dari UU NO 32/2002 Pasal 18 Ayat (1) dan Pasal 34.

Legalisasi atas aksi korporasi semacam itu lantas menjadi semacam yurisprudensi kebijakan bagi perusahaan televisi untuk beramai-ramai menguasai saham mayoritas televisi lokal. Modus semacam itu marak terjadi sepanjang 2014 di beberapa televisi lokal oleh televisi berjaringan nasional, terutama televisi nasional baru yang sedang melebarkan sistem jaringannya. Sengkarut persoalan kepemilikan ini mendegradasi prinsip keberagaman kepemilikan (diversity of ownership) dalam UU Penyiaran yang tentu saja berimplikasi langsung terhadap aspek keberagaman isi siaran (diversity of content).

Tahun 2015 semestinya menjadi energi baru bagi peningkatan kualitas penyiaran. Beragam problem krusial sudah sepatutnya dibenahi bersama oleh regulator (pemerintah dan KPI), penyelenggara televisi, dan masyarakat (publik). Utamanya kaitan dengan dinamika perizinan televisi digital, persiapan infrastruktur, dan pola konten yang akan segera diimplementasikan hingga estimasi minimalis pada 2018. Jangan sampai era digitalisasi penyiaran dan konvergensi media justru menjadi titik balik bagi kemerosotan peradaban bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar