Catatan
Kritis Penyiaran
Danang Sangga Buwana ; Komisioner KPI Pusat
|
REPUBLIKA,
23 Januari 2015
Sepanjang 2014 layar kaca kita masih didominasi dua jenis
program tayangan: program hiburan dan politik. Dalam program hiburan muncul
berbagai ajang pencarian bakat, musik, komedi, variety show, reality show, film, dan sinetron. Mayoritas program
masih berorientasi pada upaya memanjakan pemirsa dengan totalitas hiburan (full entertaining) hingga menegasikan
aspek edukasi.
Sebut, misalnya, komedi yang marak pada awal tahun sampai
pertengahan 2014 hampir tidak menyisakan pelajaran konstruktif bagi pemirsa,
tetapi sekadar gelak tawa. Untuk menciptakan nuansa lucu, beragam cara
dilakukan hingga pada tingkat pelecehan nilai kemanusiaan: olok-olok dengan
kata-kata melecehkan, permainan (gaming)
menyakiti dan membahayakan, bahkan mempersamakan manusia dengan hewan.
Demikian halnya sinetron, film, dan variety
show yang masih menonjolkan unsur kekerasan, pronografi, kata-kata kasar,
dan beragam konstruksi nilai budaya yang membahayakan perilaku anak dan
remaja.
Pada saat yang sama, seiring perguliran proses peralihan
kepemimpinan nasional lima tahunan pada medio 2014 (pemilu legislatif dan
pemilihan presiden), televisi menjadi warna penting dari tahun politik.
Berita, talk show, iklan, dan kuis tak lepas dari nuansa politik. Kondisi
demikian, mesti dipandang sebagai keniscayaan media dalam konteks driving
news values, kebaruan, aktualitas, faktualitas, dan pendidikan politik bagi
masyarakat.
Namun, tampak keberpihakan televisi terhadap partai
politik tertentu dan figur capres tertentu. Kondisi ini mencederai netralitas
lembaga penyiaran. Framing pun tampak di hampir semua televisi kita, baik
langsung maupun tak langsung, terang terangan maupun halus. Nihilnya
netralitas media dalam blow up dinamika politik telah mencemari frekuensi
sebagai hak milik publik.
Tahun 2014 Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) telah
melayangkan 178 sanksi kepada 12 televisi berjaringan nasional, baik berupa
teguran tertulis pertama dan kedua, penghentian sementara, hingga pengurangan
durasi. KPI bahkan mengeluarkan rekomendasi evaluasi pencabutan izin
penyelenggaraan penyiaran (IPP) terhadap dua televisi berjaringan nasional.
Sanksi merupakan upaya KPI (sebagaimana amanat UU No 32/2002 tentang
Penyiaran) ikut membentengi peradaban bangsa dari infiltrasi buruk tayangan
televisi.
KPI mencatat jenis pelanggaran terbanyak meliputi aspek
netralitas media, pemanfaatan televisi untuk kepentingan pemilik dan
kelompoknya, kekerasan, pornografi, kata-kata kasar, merendahkan martabat
manusia, privasi, perlindungan anak dan remaja, dan klasifikasi program siaran.
KPI juga merilis program terbanyak yang melanggar selama 2014, antara lain,
"Yukk Keep Smile" (Trans TV), "Dahsyat" (RCTI),
"Pesbuker" (ANTV), "D’Terong Show" (Indosiar),
"Ganteng-Ganteng Serigala" (SCTV), "Oh Ternyata The
Merindings" (Trans TV), "Halo Selebriti" (SCTV), "Mata
Lelaki" (Trans7), "Masih Dunia Lain" (Trans7), "Kuis
Kebangsaan" (RCTI), dan "Kuis Indonesia Cerdas" (Global TV).
Dalam skala mayoritas, harus kita akui sepanjang 2014
dunia penyiaran nasional masih menghasilkan catatan buram. Namun, di tengah
buramnya penyiaran kita, muncul harapan dengan hadirnya program Ramadhan
berkualitas, di antaranya, "Hafidz Indonesia" (RCTI), "Wisata
Ziarah" (MNC TV), "1001 Masjid" (Global TV), "AKSI
Junior" (Indosiar), "Mozaik Ramadhan" (Trans TV), "Hafidz
Dunia" (Trans7), "Sukses Syariah" (MetroTV), "Jelang
Bedug" (TVRI), "Risalah" (Kompas TV), "Buku Harian
Muslimah" (RTV), "Hijab Stories Spesial Ramadhan" (TV One),
sinetron "Para Pencari Tuhan" (SCTV).
Pertengahan November 2014, KPI menggelar anugerah tahunan
untuk program tayangan berkualitas dengan beragam kategori. Anugerah ini
diharapkan memberi stimulasi bagi para praktisi televisi untuk meningkatkan
program berkualitas, sekaligus mengajak mereka bersama memikirkan kualitas
harus disinkronkan dengan keuntungan finansial dan rating / share.
Pascalengsernya Orde Baru hingga kini, praktik ekonomi
media semakin larut dalam arus ekonomi pasar, tecermin dari konstruksi
kepemilikan media dalam skala nasional. Meski tidak terjadi monopoli, fakta
kepemilikan media masih dikuasai kelompok tertentu dalam korporasi. Memang
banyak produsen media yang berkompetisi, termasuk televisi lokal, tetapi
dalam skala mayoritas hanya didominasi kalangan korporasi tertentu para
pemilik televisi nasional (oligopoli).
Kondisi ini sejak proses perizinan berlangsung. Banyaknya
pemohon baru televisi analog untuk televisi lokal yang sejatinya dikuasai
para pemohon dari televisi swasta nasional. Proses perizinan televisi digital
pun demikian. Bahwa kepemilikan multiplexing (mux) adalah kelompok televisi
nasional.
Pada aspek lain, masih ada upaya pemusatan kepemilikan di
mana satu perusahaan televisi tertentu mengakuisisi perusahaan televisi lain.
Modus "jual beli" kepemilikan dengan upaya penguasaan saham 50
persen lebih satu untuk mengontrol manajemen perusahaan dan otoritas konten
(program siaran). Modus penguasaan saham ini menjadi alibi untuk menghindari
nomenklatur "pemindahtanganan IPP" sebagaimana termaktub pada Pasal
34 UU Penyiaran No 32/2002. Padahal, dengan penguasaan saham 51 persen saja,
secara otomatis telah terjadi penguasaan manajemen dan konten sebagai
substansi dari pemindahtanganan IPP.
Kita diingatkan pada aksi korporasi PT Indosiar Karya
Media (Indosiar) oleh PT Elang Mahkota Tbk/EMTK (SCTV) pada 2011 lalu. Faktanya,
pemerintah (Kemenkominfo) membolehkan modus akuisisi melalui penguasaan saham
dengan pendasaran UU Perseroan Terbatas No 40/2007. Secara prinsip, KPI yang
bersikap berbeda dengan pemerintah memandang bahwa tidak dibenarkan adanya
pemusatan kepemilikan oleh perseorangan, holding company, dan akuisisi oleh
satu lembaga penyiaran tertentu kepada lembaga penyiaran lain pada satu
provinsi yang sama, sebagaimana PP No 50/2005 Pasal 32 Ayat 1 sebagai
regulasi organik dari UU NO 32/2002 Pasal 18 Ayat (1) dan Pasal 34.
Legalisasi atas aksi korporasi semacam itu lantas menjadi
semacam yurisprudensi kebijakan bagi perusahaan televisi untuk beramai-ramai
menguasai saham mayoritas televisi lokal. Modus semacam itu marak terjadi
sepanjang 2014 di beberapa televisi lokal oleh televisi berjaringan nasional,
terutama televisi nasional baru yang sedang melebarkan sistem jaringannya.
Sengkarut persoalan kepemilikan ini mendegradasi prinsip keberagaman
kepemilikan (diversity of ownership)
dalam UU Penyiaran yang tentu saja berimplikasi langsung terhadap aspek
keberagaman isi siaran (diversity of content).
Tahun 2015
semestinya menjadi energi baru bagi peningkatan kualitas penyiaran. Beragam
problem krusial sudah sepatutnya dibenahi bersama oleh regulator (pemerintah
dan KPI), penyelenggara televisi, dan masyarakat (publik). Utamanya kaitan
dengan dinamika perizinan televisi digital, persiapan infrastruktur, dan pola
konten yang akan segera diimplementasikan hingga estimasi minimalis pada
2018. Jangan sampai era digitalisasi penyiaran dan konvergensi media justru
menjadi titik balik bagi kemerosotan peradaban bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar