Etika
Penunjukan Pejabat Publik
Masdar Hilmy ; Wakil Direktur Pascasarjana UIN Sunan Ampel
|
JAWA
POS, 23 Januari 2015
TINDAKAN Jokowi mengajukan Komjen Pol Budi Gunawan (BG)
sebagai calon tunggal Kapolri menggantikan Jenderal Sutarman menuai banyak
kritik dan tanggapan. Tindakan tersebut dinilai banyak pihak dapat mencederai
rasa keadilan. Namun demikian, tidak banyak yang menilai tindakan Jokowi
sebagai mekanisme pertahanan diri (self-defense
mechanism) untuk menangkal intervensi dan hegemoni politik dari
pihak-pihak tertentu yang dapat menimbulkan konflik kepentingan.
Jika dirunut ke belakang, pencalonan BG sebenarnya tidak
bisa dilepaskan dari cerita sukses Jokowi menjadi RI-1. Sebagaimana
dimaklumi, dalam dunia politik berlaku adagium ’’nothing is free lunch’’
(tidak ada yang gratis dalam dunia politik). Tentu saja naiknya Jokowi tidak
bisa dilepaskan dari dukungan tim suksesnya, termasuk para petinggi parpol.
Dalam konteks inilah, Jokowi berada pada posisi dilematis, antara menerima
dan menolak BG yang konon diaspirasikan salah seorang petinggi parpol.
Dalam konteks ini, mungkin saja Jokowi secara pribadi
tidak berkeinginan mencalonkan BG sebagai Kapolri. Dia bukan tidak tahu sama
sekali rekam jejak BG dengan kepemilikan rekening gendut dan sejumlah
transaksi ilegalnya. Namun, karena tekanan dari berbagai arah, dia tidak
kuasa menolak pilihan yang bukan pilihannya. Dengan kata lain, pencalonan BG
dapat dimaknai sebagai ’’perlawanan elegan’’ terhadap tekanan-tekanan
dimaksud. Dia tahu pilihannya pasti akan menghadapi tembok tebal KPK.
Artinya, dengan sadar Jokowi telah ’’mengorbankan’’ reputasinya demi idkhal
al-surur (baca: menghibur) pihak-pihak yang berkepentingan.
Alhasil, Jokowi telah mengambil langkah tepat untuk
menyelamatkan wibawa hukum dengan menunda pelantikan BG sebagai Kapolri.
Namun demikian, Jokowi masih membutuhkan satu langkah lagi untuk melakukan
penyelamatan sempurna: membatalkan pencalonan BG untuk kemudian memilih dan
melantik Kapolri definitif yang tidak tersangkut kasus hukum.
Pencalonan BG menegaskan bahwa politik tidak pernah bebas
dari tarik-menarik kepentingan dan intervensi ’’tangan-tangan tak tampak’’
(invisible hands). Para penyokong Jokowi di parpol merasa telah
’’berinvestasi’’ atas kemenangan Jokowi sebagai RI-1 dan sekaranglah saatnya
mereka menagih janji atas jasa-jasa yang telah ditanamkan. Salah satu cara
paling populer untuk menagih janji adalah ’’meminta’’ posisi tertentu di
struktur pemerintahan seperti posisi menteri atau posisi di lembaga-lembaga
negara lainnya.
Pada susunan Kabinet Kerja, misalnya, PDIP sebagai parpol
pengusung Jokowi merasa kecewa karena hanya mendapatkan jatah empat menteri,
sama dengan PKB dan Nasdem (Jawa Pos, 27 Oktober 2014). Menurut salah seorang
anggota Fraksi PDIP di DPR, Tubagus Hasanudin, sebagai parpol pemenang pemilu
PDIP mestinya memperoleh lebih banyak jatah menteri ketimbang dua parpol
tersebut. Berdasar perolehan suara DPR pada Pemilu Legislatif 2014, PDIP
meraih 109 kursi, sementara PKB ’’hanya’’ meraih 47 kursi dan Nasdem 32
kursi. Kekecewaan semacam ini bisa saja menstimulasi sejumlah elite PDIP
untuk mengintervensi presiden dalam penunjukan pejabat publik.
Intervensi parpol dalam penunjukan pejabat publik
mengindikasikan belum dewasanya elite parpol kita. Jabatan publik masih
dimaknai sebagai bagi-bagi kekuasaan yang sebanding dengan perolehan suara di
DPR. Mestinya parpol menyadari bahwa era sudah berbeda. Konsekuensinya,
jabatan publik merupakan amanah yang harus ditunaikan secara bertanggung
jawab dan akuntabel, bukan untuk dibagi-bagi. Pemahaman semacam ini penting
bagi elite parpol mengingat posisi Kapolri bukan jabatan yang pertama dan
terakhir, tetapi akan ada banyak jabatan publik lain yang proses pemilihannya
melalui hak prerogatif presiden.
Dalam konteks inilah perubahan paradigmatik dalam melihat
entitas politik menjadi sine qua non bagi para elite politik kita. Politik
bukan lagi medan untuk meraih kekuasaan, tetapi ’’the authoritative
allocation of values’’ (David Easton, 1953: 129). Artinya, politik tiada lain
adalah sarana menebarkan nilai-nilai adiluhung kepada masyarakat luas melalui
pos-pos yang ada di struktur pemerintahan atau kenegaraan. Yang dimaksud
dengan nilai-nilai adiluhung adalah keadilan, kejujuran, kesederajatan,
persamaan hak, penghargaan terhadap sesama manusia, toleransi, dan
semacamnya.
Dengan memahami posisi Jokowi dalam mencalonkan BG, bukan
berarti tindakan tersebut dapat dibenarkan secara etika politik. Sebelum
Jokowi menempuh proses-proses pengajuan nama, harus ada mekanisme pra pencalonan
yang dapat memverifikasi tingkat kelayakan nama tersebut. Artinya, pengajuan
BG sebagai calon tunggal Kapolri merupakan tindakan politik yang tidak etis.
Mestinya, sebelum mengusulkan BG, Jokowi mengambil langkah serupa ketika
menyusun anggota Kabinet Kerja dengan mengklarifikasi rekam jejak BG kepada
KPK dan PPATK. Tetapi, langkah itu tidak dilakukan Jokowi. Buntutnya,
muncullah kritik dan kontroversi.
Demi memenuhi prinsip-prinsip etis, presiden semestinya
perlu mempertimbangkan tiga klaster kriteria dalam setiap penunjukan pejabat
publik; (1) integritas; (2) kompetensi, dan (3) loyalitas. Prinsip integritas
meliputi analisis yang serius dan mendalam terhadap rekam jejak seorang calon
pejabat; apakah ditemukan unsur-unsur pelanggaran hukum selama yang
bersangkutan menempati posisi sebelumnya. Ini menjadi prinsip fundamental
yang dapat mengalahkan prinsip kedua, kompetensi, karena keberlangsungan
hidup institusi yang dipimpinnya terletak sepenuhnya di pundak sang calon.
Jika dalam analisis presiden ditemukan unsur-unsur yang
melawan hukum, presiden dapat segera mengambil tindakan tegas berupa
pembatalan atau pencoretan sebelum pencalonan. Yang patut disayangkan, Jokowi
bukan tidak tahu sama sekali rekam jejak BG. Tetapi, mengapa dia bersikeras mencalonkannya
jika yang muncul adalah kontroversi dan kritik?
Hanya ketika seorang calon pejabat publik lolos uji
integritas, presiden bisa masuk ke klaster kedua, kompetensi. Pada poin ini,
presiden dapat memeriksa kecakapan seorang calon pejabat publik dalam
melaksanakan tugas-tugas kelembagaannya dengan melihat rekam kinerja dan
prestasi yang dia punya. Artinya, kegagalan dan kekurangan yang terekam dalam
pengalaman masa lalu dapat menggugurkan seorang calon pejabat publik.
Baru ketika
dua klaster dapat dilalui seorang calon pejabat publik dengan baik,
selanjutnya dia diuji sejauh mana tingkat loyalitasnya terhadap negara,
Pancasila, dan UUD 1945. Dalam konteks ini, loyalitas harus dimaknai sebagai
loyal terhadap institusi, bukan pada orang perorang. Kondisi semacam ini
memungkinkan seorang pejabat publik untuk tidak menaati pimpinan jika
terdapat rasionalitas yang dibenarkan undang-undang dan peraturan yang
berlaku. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar