Solusi
Pengendalian Subsidi BBM
Sunarsip ;
Ekonom The Indonesia
Economic Intelligence (IEI)
|
REPUBLIKA,
01 September 2014
Menjelang
berakhirnya pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan
dimulainya era pemerintahan presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi), masalah
subsidi bahan bakar minyak (BBM) kini menjadi isu yang paling mendapat
perhatian. Ini wajar karena BBM bersubsidi masih menjadi
"komoditas" strategis yang dibutuhkan masyarakat.
Sayangnya,
sebagian besar penikmat BBM bersubsidi adalah mereka yang berada dalam
kelompok kelas menengah ke atas. Sehingga wajar bila muncul gagasan agar
harga BBM bersubsidi ini dinaikkan.
Namun,
kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi juga harus dilakukan pada saat (timing) yang tepat. Kita memiliki
pengalaman yang kurang baik pada saat menaikkan harga BBM bersubsidi.
Contohnya pada 2013, di saat pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi pada
Juni, yaitu ketika tekanan inflasi sedang tinggi. Akibatnya, kebijakan
kenaikan harga BBM ini mendorong kenaikan inflasi secara masif. Pada 2013,
inflasi kita tergolong tinggi, yaitu 8,38 persen.
Pertanyaannya,
apakah bila harga BBM bersubsidi dinaikkan saat ini merupakan waktu yang tepat?
Untuk menjawabnya, mari kita lihat perkembangan berikut. Pertama, saat ini
inflasi kita masih relatif rendah, sampai dengan Juli 2014 baru mencapai 2,94
persen. Bila harga BBM bersubsidi dinaikkan pada kisaran yang tepat,
dampaknya terhadap inflasi tahunan masih dalam jangkauan.
Namun,
kita juga punya pengalaman buruk dengan kenaikan harga BBM ini. Pada 2005,
situasi inflasi sebelum kenaikan harga BBM juga relatif aman, yaitu 6,24
persen. Begitu harga BBM naik hingga 80 persen pada 1 Oktober 2005, inflasi Oktober langsung menjadi 8,70 persen dan
inflasi tahunan 17,11 persen.
Kedua,
terdapat faktor eksternal yang perlu dipertimbangkan bila pemerintah
menaikkan harga BBM. Saya melihat tantangan eksternal saat ini hampir sama
dengan situasi pada 2008. Krisis ekonomi di Amerika Serikat dan berimbas ke
krisis global saat itu menyebabkan harga minyak mentah sangat tinggi. Tidak
hanya harga minyak, harga komoditas pangan juga sangat tinggi.
Sektor
keuangan kita turut terkoreksi dan rentan gejolak. Nilai tukar rupiah sempat
tembus di kisaran Rp 12 ribu per dolar AS. Akibatnya, kenaikan harga BBM saat
itu mengerek laju inflasi pada level yang tinggi, inflasi 2008 sebesar 11,06
persen. Padahal, inflasi sebelum kenaikan harga BBM pada Mei 2008 baru
sebesar 5,35 persen.
Situasi
yang hampir sama juga terjadi pada saat ini. Saat ini, situasi pasar
finansial kita juga cukup rentan terhadap gejolak eksternal. Nilai tukar
rupiah saat ini berada di kisaran Rp 17.700-an.
Kita
juga menghadapi kemungkinan dampak kebijakan tapering dan pengakhiran
kebijakan quantitative easing di AS. AS diperkirakan menaikan tingkat suku
bunga acuannya dan ini berpotensi menimbulkan krisis likuiditas bagi
Indonesia, sama persis dengan 2008.
Padahal,
saat ini saja bank-bank sudah kesulitan likuiditas terlihat dari tingginya
loan to deposit ratio (LDR) yang di atas 90 persen. Konsekuensinya, kurs
rupiah terancam semakin melemah dan inflasi karena faktor eksternal (imported inflation) akan meningkat.
Dengan
pertimbangan di atas, tampaknya pilihan yang sangat sulit bagi pemerintah
(baik pemerintahan SBY maupun Jokowi) untuk menaikkan harga BBM di sisa akhir
2014. Kenaikan harga BBM mungkin bisa dilakukan, tapi besarannya tidak bisa
tinggi.
Oleh
karenanya, dalam jangka dekat ini pemerintah harus mengefektifkan
langkah-langkah pengurangan subsidi BBM di luar kenaikan harga BBM
bersubsidi. Apa itu?
Pertama,
saya berpendapat, kebijakan yang paling realistis saat ini dengan mempercepat
program konversi ke gas, tidak terbatas pada minyak tanah ke LPG, termasuk
pula konversi BBM untuk transportasi. Data menunjukkan, sekitar 60 persen BBM
bersubsidi berasal dari BBM jenis Premium, selebihnya 34 persen Solar dan
enam persen minyak tanah.
Bila
dilihat dari penggunanya, hampir 90 persen pengguna BBM bersubsidi adalah
transportasi darat. Yang paling mengejutkan, penikmat BBM bersubsidi ternyata
sekitar 50 persen pemilik mobil pribadi, dan motor sekitar 40 persen.
Sedangkan, kendaraan umum tidak lebih dari lima persen.
Dengan
komposisi tersebut, bila konversi BBM ke bahan bakar gas (BBG) untuk
transportasi khususnya kendaraan roda empat dilakukan intensif, dampak
pengurangan beban subsidi BBM akan cukup signifikan. Penggunaan compressed
natural gas (CNG) untuk mobil merupakan pilihan yang atraktif untuk mengurangi
beban subsidi energi. Penggunaan CNG telah sukses dipraktikkan di sejumlah
kota di Asia, seperti New Delhi, Mumbai, dan Bangkok.
Untuk
menyukseskan konversi ke BBG ini memerlukan pendekatan yang terintegrasi
dengan menggabungkan beberapa elemen, seperti (i) insentif ekonomi bagi
konsumen, produsen, dan penjual serta harga yang optimal sebagai kompensasi
kepada konsumen atas biaya investasi yang dikeluarkannya untuk mengubah
komponen kendaraannya setidaknya selama 12 bulan; (ii) produsen dan supplier
mendapatkan tingkat pengembalian yang cukup atas investasinya; (iii) penjual
memperoleh margin keuntungan yang cukup; (iv) dukungan regulasi yang
mewajibkan (mandatory) adanya
perubahan (switch) ke CNG untuk alat-alat transportasi; dan (v) menyiapkan infrastruktur
penting untuk memungkinkan pemasangan converter
kits dapat dilakukan serta pembangunan SPBG pada lokasi yang mudah
dijangkau konsumen.
Kedua,
pemerintah perlu segera menerapkan instrumen lindung nilai (hedging), baik hedging valuta asing maupun harga minyak dan BBM untuk
kepentingan pengadaan BBM bersubsidi. Indonesia semestinya telah menjadikan oil hedging sebagai kebutuhan sejak
lama. Ini mengingat, berdasarkan fakta empiris, realisasi harga minyak (ICP)
hampir selalu lebih tinggi dibandingkan asumsi di APBN. Perkembangan nilai
tukar rupiah kita juga cenderung melemah.
Kebijakan
oil heding tidak hanya penting bagi APBN, juga bagi perekonomian keseluruhan.
Pertamina (selaku pelaksana PSO BBM bersubsidi) memiliki kebutuhan dolar AS
terbesar di Indonesia. Untuk memenuhi kebutuhan BBM bersubsidi di dalam
negeri yang terus meningkat, Pertamina harus melakukan impor minyak dan BBM.
Kondisi ini akan berakibat meningkatnya kebutuhan valas Pertamina dan
berpotensi menaikkan harga dolar AS. Karenanya, jika kebijakan oil hedging
(khususnya untuk BBM bersubsidi) dilakukan pemerintah akan turut menjaga
volatilitas kurs rupiah.
Saya
berpendapat bahwa kebijakan yang tepat juga harus dilakukan pada waktu yang
tepat pula. Kebijakan kenaikan harga BBM bersubsidi adalah hal yang tepat.
Namun, mengingat situasi saat ini yang kurang mendukung bila dilakukan
kenaikan harga BBM secara signifikan, maka untuk mengurangi beban subsidi
energi, mengefektifkan langkah-langkah di luar kenaikan harga BBM yang sudah
tersedia, menjadi pilihan yang paling rasional. Dan ini menjadi tanggung
jawab pemerintah saat ini (SBY) dan nanti (Jokowi). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar