Rabu, 24 September 2014

Melestarikan Kebudayaan

Melestarikan Kebudayaan

Mustafa Ismail ;   Pegiat Kebudayaan
KORAN TEMPO, 22 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Ada sebuah kalimat menarik yang saya lupa siapa yang mengucapkannya. Isinya: ketika Anda mencari sebuah buku dan tidak menemukannya, Andalah yang harus menuliskan. Saya suka kalimat itu. 

Saya pernah kalang-kabut mencari buku, yakni tentang PMTOH--sebuah seni tutur tradisi Aceh yang dipopulerkan oleh Teungku Adnan--untuk referensi tugas akhir kuliah pascasarjana beberapa tahun lalu. Tak ada buku yang secara khusus membahas tentang kesenian ini sekaligus senimannya, kecuali beberapa esai yang saya temukan di Internet dan buku kumpulan esai seni.  

Ada informasi bahwa beberapa mahasiswa pernah menulis tugas akhir tentang topik itu, tapi tidak terlacak mahasiswa mana. Saya juga menemui salah seorang putra Teungku Adnan Pmtoh di Banda Aceh, tapi ia juga tidak memiliki buku tentang kesenian yang dipopulerkan ayahnya. Beberapa kawan seniman asal Aceh, baik yang tinggal di Aceh maupun di luar Aceh, juga tidak memilikinya.  

Pada kondisi inilah kalimat di atas begitu menohok: sayalah yang harus menulis buku itu. Sebab, jika sumber-sumber yang bisa menjelaskan tentang kesenian itu telah tiada, makin sulit bagi siapa pun untuk mencatatnya, apalagi mempelajarinya. Maka, kesenian itu pun terancam hanya menjadi sejarah tanpa catatan. Kalaupun ada yang menulis tugas akhir studi, mungkin hasilnya teronggok di perpustakaan kampus.

Ini hanya salah satu kasus. Persoalan ini bisa terjadi di daerah mana pun. Buku-buku yang mencatat kebudayaan lokal tidak mudah diperoleh. Boleh jadi ada yang mencatat dan menulis secara mendalam tentang karya-karya budaya itu, namun entah di mana  buku-buku dan referensi itu berada. Saya juga pernah melakukan riset tentang budaya provinsi lain menemukan fakta yang sama: tak mudah menemukan buku-bukunya. 

Beberapa informasi tersedia di Internet, tapi sering tak ada sumber rujukannya. Dengan demikian, secara akademis, tulisan-tulisan itu tidak bisa dikutip kecuali sekadar memperkaya informasi. Tulisan-tulisan pendek di Internet atau media sering tidak dihadirkan dalam kerangka mendokumentasikan karya budaya sebagai referensi ilmiah, yang mensyaratkan kelengkapan, kedalaman, akurasi, pengujian informasi dan data, hingga metodologi yang benar. Catatan-catatan itu lebih sebagai penglihatan sepintas yang hanya memotret permukaan.  

Dan sering kali seseorang "memotret" sebuah kekayaan budaya sekadar mengabarkan. Ia lebih sebagai catatan subyektif. Tapi bukan berarti tulisan-tulisan pendek itu tidak berguna. Ia tetap memberikan sumbangan dalam dunia keaksaraan, sekaligus kebudayaan. Tulisan-tulisan itu tetap penting untuk memajukan budaya Nusantara. 

Namun yang lebih penting adalah pencatatan kekayaan budaya lokal yang dilakukan secara sungguh-sungguh, dengan metodologi yang bisa dipertanggungjawabkan. Dalam konteks ini, pemerintah--lewat instansi bidang kebudayaan dari tingkat kementerian hingga dinas-dinas di daerah--bisa berperan lebih nyata. Misalnya dengan membiayai riset-riset budaya dan menerbitkan hasil riset itu secara luas sehingga mudah diakses siapa saja. Begitu pula lembaga-lembaga dan komunitas kesenian, yang selama ini lebih sibuk dengan pertunjukan, juga bisa mulai memikirkan bagaimana menulis kesenian itu.   

Pencatatan dan penulisan adalah salah satu cara melestarikan dan mempromosikan kebudayaan.
 ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar